Pandangan Islam Terhadap Ketatanegaraan

Oleh :
Dinar Meidiana
Pandangan Islam Tentang Ketatanegaraan
Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, MH. (kanan), saat menyampaikan kajian dalam Kajian Tematik 2 LPP AIK UMJ di Masjid At Taqwa, Jumat (22/03/2024). (Foto : Dok. LPPAIK-UMJ)

Keistimewaan Islam terletak pada Al-Qur’an yang menjadi pedoman dan panduan bagi manusia dalam menjalankan kehidupan. Tidak hanya yang berkaitan dengan hubungan manusia secara individu dengan Allah Swt., tapi juga hubungan antar manusia termasuk perkara kenegaraan.

Baca juga : Dosen FKK UMJ Berikan Tips Jaga Kesehatan Selama Ramadan

Hal itu diusung dalam Kajian Tematik 2 yang digelar oleh Lembaga Pengkajian dan Penerapan Al Islam Kemuhammadiyahan (LPP AIK) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) di Masjid At-Taqwa, Jumat (22/03/2024), dengan tema “Pandangan Islam Tentang Ketatanegaraan,” bersama Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, MH., dosen Fakultas Hukum (FH) UMJ.

Pemikir Islam seperti Al Farabi dan Ibnu Khaldun berpandangan bahwa ketatanegaraan itu tidak penting, tetapi bagaimana pelaksanaan amanah dan kuasa itu digunakan untuk kemaslahatan umat. “Ketatanegaraan itu memiliki tujuan kemaslahatan. Tidak ada bentuk baku ketatanegataan islami, itu sifatnya konsep yang juga dalam praktiknya berubah-ubah,” pungkas Ibnu.

Dalam kajian Islam, para ulama memahami ketatanegaraan sebagai fiqih siyasah. Banyak pemikir Islam yang mengkaji fiqih siyasah dengan pendekatan yang berbeda, dalam pemikiran Bani Abbasiyah mmisalnya, fiqih siyasah masuk pada filsafat politik.

Hubungannya dengan penyelenggaraan negara, Ibnu memperkenalkan para jamaah yang merupakan civitas akademika UMJ pada tiga kategori hukum yang dikenal dalam agama Islam yaitu syariat dan sunnah rasul, serta hukum yang bersumber pada ulil amri.

“Baik Al-Qur’an maupun sunnah Rasul, tidak mengajarkan secara spesifik bentuk ketatanegaraan seperti apa yang perlu dijalankan. Ini dipahami dalam dunia Islam untuk menjelaskan bahwa ada sebuah ilmu hukum, bersifaT tidak absolut melainkan relatif untuk menjalankan sebuah negara,” kata Ibnu.

Lebih lanjut, Ibnu menjelaskan dua bagian fiqih siyasah. Pertama, siyasah syariah yaitu pembentukan norma agama dan norma etika yang menjadi dasar bagi norma ketatanegaraan. itu dijelaskannya, adalah hukum yang bermakna mengikat yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis.

Kedua, siyasah wadiyah yaitu bentuk pemikiran kemaslahatan yang bersumber murni dari pemikiran manusia. Jadi produk ijtihad dari manusia menentukan kehendak kemaslahatan yang baik bagi negara.

Melalui QS. An-Nisa ayat 135, Ibnu menyampaikan relevansinya dala konteks ini ialah penyelenggaraan negara bertanggung jawab dalam menyusun hukum. Begitu pula rakyat bertanggung jawab memilih penyelenggaraan negara agar hukum yang disusun tidak tercampur antara yang haq (benar) dan batil.

Itu disampaikannya karena melihat realitas hukum dan tata negara diselenggarakan bukan atas dasar kebenaran melainkan sudah tercampur dengan yang batil. Ia sebagai akademisi dan dosen kerap kali diselimuti rasa resah saat mengajar.

Banyak produk hukum yang tidak berpihak pada kemaslahatan umat, oleh karenanya Ibnu mengingatkan para jamaah pada QS. An-Nisa ayat 135 itu. Menurut Ibnu, tercampurnya antara haq (benar) dan batil dikarenakan adanya dikotomi dalam hal norma hukum.

Dijelaskan Ibnu, terdapat pemecahan dalam norma hukum negara menjadi tiga hal yaitu wajib, mubah, dan haram. Ketiga hal itu yang dikenal dengan penegakan hukum. Sementara yang dipahami sebagai norma etika yaitu sunnah, boleh, dan makruh (dianjurkan tidak dilakukan). Dalam berbagai kondisi, etika juga memuat yang haram dilakukan.

“Kita mengalami dikotomi. Dalam konteks Islam memuat lima hal norma dan etika yaitu halal, haram, mubah, sunnah, dan makruh. Sehingga dalam menyusun suatu norma, hukum seharusnya memandang nilai-nilai etika yang masuk di dalamnya,” katanya.  

Dalam sejarah Islam, naik turunnya kejayaan Islam berdampak juga pada perang pemikiran. Terjadinya kolonialisasi Eropa dan Barat berdampak pada penyebarluasan produk pemikiran termasuk dalam hal ketatanegaraan.

“Barat memperkenalkan sistem presidensil, pemisahan kekuasaan, peradilan dalam konteks Mahkamah Konstitusi, hingga pada akhirnya pemahaman-pemahaman yang timbul melahirkan 3 jenis relasi agama dan negara yaitu integralisme, substantifisme dan sekulerisme,” kata Ibnu.

Dalam memahami relasi tersebut, Ibnu menjelaskan bahwa Muhammadiyah telah memiliki rumusan darul ahdi wassyahadah dan pada Muktamar 2018 menafsirkan 10 butir makna Pancasila yang berkaitan dengan Risalah Islam Berkemajuan.

Editor : Budiman

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/