Gerakan Muhammadiyah yang pada awal kelahirannya berlandaskan teologi Al-Maun, perlu dikaji ulang terkait dengan relevansinya dengan keadaan saat ini sehingga dapat merumuskan strategi untuk menghadapi persoalan kemanusiaan universal melalui dakwah kultural Muhammadiyah.
Baca juga : Din Syamsuddin: Dakwah Kultural Itu Memperkuat Landasan Budaya Masyarakat
Pernyataan itu disampaikan oleh Bendahara Umum PP Muhammadiyah Prof. Hilman Latief, MA., dalam salah satu sesi Pengkajian Ramadan PP Muhammadiyah 1445 H di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir MA Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rabu (20/03/2024).
Pada materi yang membahas tentang “Dakwah Kemanusiaan Universal: Aksentuasi Dakwah Kultural di Akar Rumput” itu, Hilman mengawali penjelasannya dengan pemikiran Mohammad Iqbal, seorang pemikir Islam dari Pakistan yang juga banyak mempengaruhi pemikiran Buya Syafii Maarif.
“Pada intinya Muhammad Iqbal ingin berbicara bahwa visi dunia, tidak bisa lepas dari visi alam semesta,” katanya. Dari kesimpulan itu, ia mengingatkan kembali pada konsep kemanusiaan universal yang dirumuskan dalam Tanfidz Muhammadiyah 2022.
Muhammadiyah menggariskan kemanusiaan universal pada empat hal yaitu membangun tata dunia yang damai berkeadilan, regulasi dampak perubahan iklim, mengatasi kesenjangan antar negara, dan menguatnya xenophobia.
Pada masa generasi awal, dakwah kultural Muhammadiyah yang kaitannya dengan kemanusiaan dilakukan melalui gerakan Al-Maun. Akan tetapi, Hilman melakukan perenungan kembali terkait relevansinya dengan persoalan kemanusiaan saat ini.
Kemudian ia menemukan ayat lain selain dari surat Al-Maun tersebut yaitu QS. Al-Balad yang menurutnya cukup relevan dan dapat dijadikan basis dakwah kemanusiaan universal. Dalam surat itu terdapat ayat yang menjelaskan tentang jalan terjal atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut al-‘aqobah.
“Al-‘aqobah itu didefinisikan dalam beberapa tafsir sebagai jalan terjal kemanusiaan. Ini jalan seperti di neraka, medan yang panas dan terjal. Poinnya adalah sulit untuk dilalui,” tutur Hilman. Ia melanjutkan, beberapa gambaran yang dijelaskan pada ayat dalam Al-Balad itu ialah di antaranya membebaskan budak dari perbudakan, dan memberi makan saat krisis pangan.
Kedua hal itu dilihat sangat relevan dengan apa yang terjadi saat ini, Hilman memberi contoh krisis kemanusiaan di Palestina. Selain itu juga kondisi Indonesia yang menjadi negara dengan indeks kelaparan tertinggi di kawasan Asia Tenggara setelah Timor Leste.
Masih dalam surat Al-Balad, ia melanjutkan, bahwa siapa yang bisa melewati jalan terjal itu maka termasuk pada kelompok kanan. Ia kemudian kembali mengajak peserta berpikir apakah dakwah kultural Muhammadiyah cukup untuk menjadi strategi mendaki jalan terjal kemanusiaan universal itu.
Menurutnya, perlu dilakukan beberapa hal yaitu menjadikan MSDGs (Muhammadiyah Sustainable Development Goals) sebagai paradigma, memiliki kesiapan sumber daya, kekuatan jaringan dan diplomasi, menentukan prioritas gerakan kemanusiaan, memproyeksikan gerakan filantropi di masa depan, spiritualitas dan gerakan kemanusiaan masa depan, serta menggunakan fikih-fikih baru seperti fikih kemanusiaan, fikih filantropi, dan lain-lain.
Konseptualisasi kemanusiaan universal itu, dibuktikan dengan penjelasan dari Rahmawati, Ph.D., tentang aksi-aksi kemanusiaan Muhammadiyah melalui MDMC (Muhammadiyah Disaster and Management Center). Muhammadiyah menjadi salah satu ormas yang bergerak hingga ke tingkat global.
Menurut Rahma, tidak banyak banyak keorganisasian yang merespons secara luar biasa krisis kemanusiaan, misalnya memandikan jenazah dalam konteks pandemi COVID-19. Pandemi itu pula yang disebut Rahma salah satu yang mengajarkan masyarakat dunia bahwa kemanusiaan universal itu diperlukan.
“Mengapa lokal itu penting? Urusan kemanusiaan itu berada pada tingkatan lokal Muhammadiyah. Keberadaan Muhamamdiyah Aisyiyah sangat krusial. Jadi dari lokal untuk dunia. Dengan strategi pelokalan, pengalaman lokal Muhammadiyah jadi pengalaman global,” kata Rahma.
Meskipun begitu, kemanusiaan universal menghadapi banyak tantangan mulai dari pendanaan, kelembagaan, dan kapasitas.
Editor : Dian Fauzalia