Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. KH. Abdul Mu’ti, M.Ed., menyampaikan beberapa catatan penting dalam acara Silaturrahim Idulfitri 1444 H Keluarga Besar Muhammadiyah yang diselenggarakan di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Rabu (03/05/2023).
Dalam catatan pertamanya Abdul Mu’ti, yang juga Ketua Badan Pembina Harian Universitas Muhammadiyah Jakarta, menyoroti beberapa kejadian yang dialami warga Muhammadiyah dalam menyambut idulfitri dimana muncul ketegangan yang cukup tinggi terkait perdebatan metode penentuan idulfitri. Padahal apa yang dilakukan warga Muhammadiyah adalah menegakkan amaliyah sesuai dengan manhaj Muhammadiyah.
Dalam hal ini Mu’ti melihat ada upaya rezimentasi paham agama. Fenomena rezimentasi agama juga merupakan bagian dari isu yang dibahas dalam Muktamar Muhammadiyah. Melalui fenomena tersebut, Mu’ti menyebut bahwa terlihat ada upaya sistematis agar suatu paham agama diformalkan. Salah satunya adalah penetapan idulfitri dengan menggunakan ru’yatul hilal.
“Menurut saya persoalan awal Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah adalah wilayah ibadah mahdhah. Pemerintah tidak punya kewenangan sampai menyangkut ibadah mahdhah itu. Kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara negara adalah menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu,” tegas Mu’ti.
Oleh karena itu Mu’ti menyebutkan bahwa negara tidak seharusnya menjadikan keputusan penetapan idulfitri oleh pemerintah menjadi sebuah keputusan politik. Ini mengakibatkan adanya penghakiman bahwa yang tidak ikut keputusan pemerintah karena memiliki pandangan sendiri sebagai warga negara yang tidak patuh pada negara.
Perdebatan perbedaan metode dalam menentukan tanggal puasa, idulfitri, dan iduladha akan selalu terjadi setiap tahun. Maka dari itu Mu’ti menghimbau agar warga Muhammadiyah tidak fokus pada perdebatan tersebut karena akan menguras energi.
Menurutnya penting bagi Muhammadiyah melakukan upaya penguatan kajian historis dan manhaj Muhammadiyah di internal maupun ruang publik. “Ini bukan soal Muhammadiyah itu ngeyel dan ingin berbeda. Muhammadiyah tidak ingin menjadi kelompok yang indifferent (yang penting berbeda). Tapi ini persoalan manhaj yang menyangkut keyakinan dan bagaimana Muhammadiyah konsisten menghormati perbedaan,” tegasnya.
“Sejak kapan ilmu hanya dibatasi oleh teropong? Kalau ilmunya teropong, matematika itu tidak ilmiah. Pada sisi inilah sebenarnya konsolidasi pemikiran dan konsolidasi para intelektual Muhammadiyah itu perlu diperkuat agar kita dapat menuangkannya di ruang publik, menjadi diskursus, menjadi kajian, dan bagian bagaimana kita mewacanakan sebuah isu di ruang publik,” jelasnya lebih lanjut.
Dalam catatan lain, Abdul Mu’ti menyampaikan apresiasi pada pihak yang telah memberikan fasilitas bagi masyarakat selama periode idulfitri. “Kami menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah, Kementerian Perhubungan, Kepolisian, juga Pak Menko PMK dan seluruh jajaran yang memfasilitasi seluruh pemudik sehingga mudik lancar, aman, nyaman,” ungkap Mu’ti.
Terakhir, Mu’ti mengungkapkan harapannya agar umat Muslim dapat kembali dengan semangat baru sebagai makhluk Allah SWT yang mulia dan bersih dari dosa, serta senantiasa berusaha tidak mengulangi kesalahan di masa lampau.
Acara silaturrahim kemudian dilanjutkan dengan tausyiah idulfitri oleh Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Dr. H. Suparto, M.Ag. Dalam acara tersebut hadir jajaran pengurus PP Muhammadiyah, pengurus PP Aisyiyah, Menko PMK Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.AP., pengurus organisasi otonom dan lembaga, serta warga persyarikatan Muhammadiyah di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Acara yang ditayangkan secara langsung di saluran TV Muhammadiyah dan kanal youtube TVMu ini dihadiri pula seluruh Wakil Rektor, Kepala Kantor Sekretariat Universitas, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Editor : Tria Patrianti