Ma’mun Murod: Perubahan Piagam Jakarta Bukan Soal ‘Kalah Menang’ Kelompok Islam

Oleh :
Tim Reporter
pengukuhan guru besar prof mamun murod
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun Murod, M.Si., saat menyampaikan orasi ilmiah di di Aula KH. A Azhar Basyir Gedung Cendekia, Kamis (09/11/2023). (Foto : KSU/Alvin Lazuardy)

Perubahan Piagam Jakarta tak bisa dilihat sebagai persoalan ‘kalah menang’, tapi lebih karena adanya kesadaran kebangsaan dari kelompok Islam. Kalau semata ‘kalah menang’, kelompok Islam tentu akan bertahan dengan Piagam Jakarta karena diputuskan lewat sidang BPUPK. Hal ini dikatakan oleh Guru Besar Bidang Ilmu Politik Prof. Dr. Ma’mun Murod, M,Si. saat menyampaikan orasi ilmiahnya dalam Pengukuhan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) di Aula KH.A. Azhar Basyir, UMJ, Kamis (09/11/2023).

Baca juga : Rektor UMJ Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Politik

Orasi ilmiah yang berjudul Dialektika Islam dan Pancasila di Indonesia: Dari Ideologisasi Menuju Aktualisasi. Ma’mun menyampaikan dinamika yang terjadi dalam kelompok nasionalis dan kelompok Islam mengenai pembentukan UUD NRI Tahun 1945 dari Risalah BPUPK hingga menghasilkan kesepakatan bersama di Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945.

Menurutnya, hal-hal penting terkait Islam dicoret dari naskah aslinya. Hasil ‘kompromi baru’ telah mengubah secara fundamental isi Piagam Jakarta. Perubahan yang pertama yaitu kata mukadimah diganti pembukaan. Kedua, dalam pembukaan anak kalimat: ‘Berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diubah menjadi ‘Berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Perubahan lainnya yaitu pada Pasal 6 ayat (1), ‘Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam’, kata-kata ‘dan beragama Islam’ dicoret. Perubahan terakhir, terhadap Pasal 29 ayat (1) yang berubah menjadi ‘Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa’, sebagai pengganti ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta.

Lebih lanjut, kukuhnya Pancasila bisa dilihat pula pada dua hal. Pertama, perdebatan dasar negara yang sebenarnya telah berakhir pada 18 Agustus 1945. Kedua, konsesus 18 Agustus 1945 yang secara substantif tidak mengurangi arti perjuangan kelompok Islam yang mencoba menghadirkan dasar negara Islam.

“Kalau menggunakan pendekatan fikih: ma la yudraku kulluha la yutraka kulluhu, apa yang tak dapat diraih semuanya, yang sedikit jangan ditinggalkan. Kelompok Islam sebenarnya hanya menurunkan sedikit derajat perjuangan untuk menggapai kompromi dan konsensus yang elegan,” ujar Ma’mun.

Ma’mun juga menyampaikan mengenai komitmen Muhammadiyah dan Negara, serta komitmen Muhammadiyah terhadap Pancasila. Menurutnya, Muhammadiyah melalui Muktamar Makassar 2015 telah menegaskan komitmennya terhadap Pancasila yaitu dar al-ahdi wa al-syahadat dan Muhammadiyah juga akan terus mengawal negara dalam menghadapi tantangan kebangsaan.

Ma’mun juga mengingatkan mengenai tantangan Pancasila. Pertama, aktualisasi nilai-nilai Pancasila seperti kebijakan negara, perilaku elite global, dan perilaku masyarakat. Kedua, kehadiran Pancasila yang hanya dihadirkan pada ruang dan momen tertentu. Ketiga, Pancasila dijadikan alat pemecah belah misalnya polarisasi masyarakat dan dibenturkan dengan Islam. Keempat, gagal memahami dan mengamalkan esensi Pancasila dalam kehidupan berpolitik.

Dengan dikukuhkannya Ma’mun menjadi Guru Besar, saat ini UMJ memiliki total 20 Guru Besar. Dalam agenda Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Guru Besar tersebut turut hadir Wakil Ketua DPR Muhamimin Iskandar, Wakil Ketua MPR Nur Hidayat Wahid, Anggota DPR Hasto Kristiyanto, Jazilul Fawaid, Anggota MK Arsul Sani, Wali Kota Tangerang Selatan Drs. Benyamin Davnie, Ustaz Adi Hidayat, tokoh penting lainnya serta sivitas akademika UMJ.

Tim Reporter : Nadiva Rahma, Qithfirul Fahmi,

Editor : Tria Patrianti