Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah: “Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan”

Oleh :
Dinar Meidiana
Rektor UMJ, Dr. Ma’mun Murod, M.Si., (kiri) menyerahakan plakat universitas kepada Prof. Dr. Jimly Ash-Shiddiqe pada Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah pada Selasa (16/3/22)

Universitas Muhammadiyah Jakarta adalah satu dari 12 Perguruan Tinggi Muhammadiyah seluruh Indonesia yang ditunjuk untuk menyelenggarakan seminar pra muktamar. Bertajuk Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia, seminar yang diselenggarakan pada Rabu (16/03/22), di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMJ secara hybrid.

Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr. Ma’mun Murod, M.Si., menjelaskan dalam sambutan pembukaan seminar bahwa tema yang diusung kali ini merupakan tema yang sangat kontekstual dengan Indonesia kekinian. Merekontruksi berarti konstruksi saat ini dinilai sudah gagal, maka harus ada pembangunan kembali sistem yang ada di indonesia saat ini. Rektor UMJ juga berharap banyak masukan tawaran rekonstruksi sistem dan rangkaian pra muktamar harus menjadi buku.

Resmi dibuka oleh Prof. Abdul Mu’ti, M.Ed., selaku Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Dalam sambutannya, Abdul Mu’ti, menjelaskan bahwa seminar ini sebagai bagian dari upaya bagaimana mendapatkan masukan dan gagasan besar dalam rangka penyusunan muktamar dan kepentingan lebih luas yaitu memberikan sumbangan bagi keindonesiaan dan keumatan. Muhammadiyah melihat adanya gejala pada sistem ketatanegaraan. Muhammadiyah menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang konsen terhadap isu tersebut dan menjadikan Amal Usaha Muhammadiyah sebagai strategik partner dakwah.

Berkaitan dengan tema seminar, Prof. Dr. Jimly Ash-Shiddiqe menyinggung wacana penundaan pemilu. Jimly mengatakan bahwa bernegara adalah kegiatan dalam membuat keputusan bukan wacana yang hanya retorika yang mendisrupsi. Harusnya kita mengambil jarak lebih jauh untuk melihat secara keseluruhan dan melakukan evaluasi. Menurutnya perlu ada rekonstruksi ketatanegaraan. Pelembagaan politik di negara ini harus dimodernisasi. Sekarang budayanya masih feodal, tergantung pada figure. Maka yang harus dilakukan adalah penguatan sistem leadership bukan figure.

Dipandu oleh Dr. Lusi Andriyani, M.Si., selaku moderator seminar sesi pertama diawali dengan narasumber pertama, Titi Anggraini, SH., MH, membahas Konstitusi dan Problematika Sistem Pemerintah Presidensial. Dalam pemaparannya, Titi Anggraini menjelaskan tentang naiknya indeks demokrasi Indonesia yang diluncurkan The Economics, menurutnya ada kontradiksi dari factor yang menyebabkan kenaikan indeks. Selain itu, Titi juga menjelaskan bagaimana sistem presidensial membawa penyakit bagi stabilitas politik Indonesia. Pada akhir pemaparan, Titi berpendapat bahwa Muhammadiyah memiliki peran yang sangat strategis untuk menjadi bagian dari kontrol.

Kedua, Dr. Endang Sulastri, M.Si, pernah menjabat sebagai komisioner KPU menjelaskan tentang Menata Ulang Lembaga Tambahan (State Auxiliary Bodies): Kedudukan, Fungsi, dan Optimalisasi. Dalam pemaparannya, Endang Sulastri banyak memberikan contoh lembaga tambahan yang perlu dipertanyakan kembali keefektifannya. Menurutnya, kita perlu melakukan penataan ulang dan merekonstruksi ulang lembaga tambahan dengan mengembalikan kepada UUD. Lembaga tambahan tidak boleh lepas dari konstitusi. Pada akhir pemaparan, Endang juga memberikan statement tegas bahwa selama ini kita tidak efektif dan efisiendalam membentuk lembaga-lembaga negara tambahan.

Tema diskusi ketiga bertajuk Menata Ulang Design Otonomi Daerah: Kewenangan, Kesejahteraan, dan Good Governance disampaikan oleh Prof. Syarif Hidayat yang mengawali pemaparannya dengan menunjukan adanya silang kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang seharusnya tidak terjadi pada negara kesatuan yang menerapkan desentralisasi. Revitalisasi konsep dan kebijakan desentralisasi menurutnya dapat dijadikan solusi untuk persoalan tersebut.

Sesi pertama ditutup oleh pemaparan dari Dr. Phil. Ridho Al-Hamdi, MA tentang Menata Ulang Sistem Pemilu: Partisipasi, Meritoktasi, dan Representasi. Ridho Al-Hamdi mengevaluasi pelaksanaan pemilu 1999 sampai dengan 2024 sekaligus membandingkan sistem pemilu terbuka dan tertutup. Menurutnya sistem terbuka lebih relevan dengan Indonesia, karena partisipasi pemilih cenderung lebih tinggi. Ada keterlibatan masyarakat di dalamnya. Sistem terbuka juga lebih relevan untuk model representasi dengan segala kekurangannya. Kedua aspek tersebut terkait dengan konsep meritokrasi. Namun keduanya berdampak pada perilaku politik uang. (KSU/Dinar)

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/