Siti Walidah Sebagai Suluh Kartini Indonesia

(Ilustrasi : KSU/Fachrul Rozi)

Tak banyak orang yang mengenal Siti Walidah bahkan mengenangnya, mungkin namanya harum di lingkungan Muhammadiyah, Aisyiah, Akademisi, dan Sejarahwan tetapi terdengar asing di lingkungan masyarakat secara umum. Perempuan yang sering dipanggil Nyai Walidah itu adalah pendobrak pertama, perintis suluh peradaban emansipasi wanita di tengah sosio-kultur masyarakat yang masih memandang sebelah mata perempuan.

Dalam satu ungkapan pepatah Jawa yang menggambarkan seorang perempuan zaman dahulu adalah “Swargo Nunut, Neroko Katut” artinya adalah seorang perempuan itu harus taat, tunduk, dan patuh terhadap suaminya. Karena jika seorang suami masuk surga maka istrinya juga akan masuk surga, jika suami masuk neraka maka istrinya juga akan ikut. Sepintas mungkin pepatah Jawa ini ingin menggambarkan suatu kondisi yang ideal bagaimana seorang istri mempunyai kewajiban untuk mentaati suaminya, tapi dalam konstruk sosialnya, wanita selalu diletakkan pada kelas kedua di bawah laki-laki, harus nurut tanpa menuntut jika ada haknya yang tidak diberikan oleh suami.

Kehidupan perempuan Kauman di tempat tinggalnya dahulu tidak diperkenankan untuk melakukan banyak aktivitas di luar seperti kaum lelaki, mereka hanya boleh untuk melakukan aktivitas di dalam rumah saja, masalah pendidikan untuk perempuanpun sangat dibatasi sampai-sampai tidak boleh untuk mengenyam pendidikan di luar kampung tersebut. Dengan begitu, Siti Walidah bersama suaminya KH. Ahmad Dahlan seorang tokoh pendiri dari Muhammadiyah itupun mulai memiliki keinginan untuk menggagas kesetaraan peran perempuan melalui permasalahan yang paling mendasar yaitu pendidikan.

Bentuk gagasan itu mulai direalisasikan sedikit demi sedikit, Siti Walidah memulai dengan pendidikan melalui instrumen pengajian yang diperuntukkan untuk perempuan-perempuan Kauman, surah Al-Qur’an yang diajarkan pertama kali adalah surah Al-Maun. Spirit teologi Al-Maun ini mulai ditafsirkan secara arti dan implementasi, kemiskinan yang terpampang jelas di depan mata dan di lingkungan Kauman ketika itu mulai harus diperhatikan secara nyata, yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, dan yang pintar memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan. Sehingga spirit teologi Al-Maun ini dapat membangun kesetaraan yang nyata untuk menolong sesama.

Tahun 1914, terbentuklah suatu perkumpulan perempuan yang berfokus pada pendidikan bernama Sopo Tresno yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Organisasi Aisyiah. Perkumpulan Sopo Tresno ini mengumpulkan dan mengajarkan para kaum perempuan baik tua dan muda untuk mengaji Al-Qur’an bersama dan belajar tentang agama. Biasanya, pengajian ini dilaksanakan setelah ashar, maka sering juga disebut pengajian Wal-Ashri dan tersedia juga pengajian yang diperuntukkan untuk kaum buruh batik setelah mereka menyelesaikan pekerjaannya yaitu Maghribi School, karena pengajian tersebut dilakukan setelah sholat Maghrib.

Memperjuangkan kesetaraan dan rasa adil untuk perempuan selalu digagas secara narasi dan aksi oleh Siti Walidah, mulai dari memberikan pencerahan pendidikan dan keagamaan, menolong anak-anak yatim piatu, serta menanamkan terhadap perempuan sifat nasionalisme kebangsaan dalam upaya mengambil peran pergerakan nasional. Catatan keberhasilan itu terukir dalam upayanya, yaitu: 1. Terselenggaranya fasilitas asrama putri di berbagai daerah di Indonesia dalam upaya memberikan pendidikan yang layak bagi perempuan; 2. Mengadakan pengajian keperempuanan bagi muslimah di seluruh daerah Indonesia; 3. Menggagas pemberantasan buta huruf bagi kaum lansia; 4. Menolong anak yatim piatu untuk mendapatkan pendidikan dan kasih sayang.

Jalan yang ia tempuh tentulah tidak mudah, keteguhan hatinya dalam mempelopori gerakan-gerakan ini dan mengangkat martabat perempuan dahulu merupakan akar dari buah manis yang hari ini dinikmati oleh perempuan-perempuan Indonesia. Dahulu, ia kerap diancam, di antaranya yang terkenal adalah ketika ia menemani perjalanan da’wah KH. Ahmad Dahlan ke Banyuwangi, orang bilang jika mereka datang kembali maka KH. Ahmad Dahlan akan dibunuh dan Siti Walidah akan diperbudak. Tetapi jalannya tidak terhenti, semangatnya tidak luntur, keyakinan sudah bulat dan tekadnya sudah kuat seperti baja. Itulah perjuangan seorang perempuan pelopor melawan ketertindasan perempuan yang hari ini menghasilkan perlindungan terhadap perempuan melalui perundang-undangan, cara pandang yang mulai berubah, perhatian atas keterwakilan perempuan di segala sektor, pemerataan pendidikan, dan lainnya.

Kini, Aisyiyah yang ia gagas adalah salah satu bukti autentik dan real yang bisa kita nikmati, dalam bidang pendidikan contohnya ada banyak puluhan sekolah sampai universitas Aisyiah berkembang pesat tersebar di seluruh Indonesia dan dari segi kemanusiaan juga bisa kita saksikan bersama bahwa rumah sakit dan yayasan atau panti asuhan yatim-piatu Aisyiah juga hadir di tengah kita. Semuanya dalam rangka menjawab tantangan zaman dan membongkar konstruk sosial yang mendiskriminasi atau membatasi ruang lingkup gerak serta peran perempuan dan pengamalan nyata dari bait Al-Qur’an tentang teologi Al-Maun yang mengajarkan kita untuk saling tolong menolong dalam satu bingkai kemanusiaan yang nyata.

“Saya titipkan kepada kalian Muhammadiyah dan Aisyiah, sebagaimana almarhum (KH. Ahmad Dahlan) menitipkannya kepada kalian” itulah pesan terakhir sang suluh kartini, pejuang kesetaraan hak perempuan, Siti Walidah. Sosoknya memang sudah tidak ada, tapi semangat perjuangannya terus membara, namanya akan dikenang selamanya sebagai tokoh pembaharu di Indonesia, kita sebagai penerusnya melanjutkan semangat juangnya yang begitu luar biasa, masih banyak persoalan perempuan yang harus dituntaskan secara kolektif.

Tepat pada tanggal 31 Mei 1946 Siti Walidah wafat dan pada tanggal 22 September 1971, almarhumah Siti Walidah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan dari Presiden Republik Indonesia, Nomor 042/TK/1971. Anugerah itu diberikan karena pengabdian dan kontribusi terbaik Siti Walidah dalam bidang pendidikan, terkhusus kepada perempuan Indonesia dan perjuangannya dalam berbagai macam pergerakan nasional.

Secara pemikiran dan pergerakan maka Raden Ayu Kartini atau Raden Adjeng Kartini dan Siti Walidah merupakan dua perempuan hebat yang berani menembus zamannya, pemikiran dan pergerakannya diperuntukkan untuk kemajuan perempuan Indonesia, mereka memiliki cita-cita besar yang sama yaitu dimulai dari membuat sekolah pendidikan bagi perempuan Indonesia, surat-surat RA Kartini sangat terkenal di Negeri Belanda, sampai hari ini kita tidak pernah lupa dan lepas dari semangatnya yang dituliskan kedalam buku dengan judul “Habislah gelap, terbitlah terang”. Begitupun dengan Siti Walidah dengan Organisasi Aisyiahnya yang hingga hari ini ini membentuk peradaban baru perempuan Indonesia. Jadilah kita Kartini-kartini baru dalam memperjuangkan keadilan, karena keadilan tidak tumbuh dalam kenyamanan, justru ia tumbuh dalam proses penderitaan yang akhirnya membuahkan kesejahteraan dan keadilan.

(Tulisan ini adalah Pemenang Juara III Lomba Menulis Opini & Feature dengan tema Kartini yang diselenggarakan oleh UMJ)

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/