Semenjak wafatnya ‘Babe’ Ridwan Saidi beberapa waktu silam, sosok yang bisa bercerita panjang dan detail mengenai sejarah berbagai anomali di Pemilu Indonesia semakin sulit didapatkan. Mungkin Babe Ridwan layaknya menjadi salah anggota suku Mohicans terakhir yang selamat dari ganasnya perang tentara Inggris melawan penghuni asli benua Amerika, suku Indian, pada tahun 1757 di Kanada.
Semua itu karena hingga sebelum Pemilu tahun 2024, dia terjun langsung sebagai salah satu aktor politiknya. Beberapa hari sebelum wafat Babe Ridwan pun sempat bercerita dengan sangat detail mengenai apa saja yang pernah terjadi pada ajang semua politik di pemilu Indonesia itu.
Ridwan adalah sumber sejarah otoritatif. Ini karena pengalaman hidupnya yang lengkap dalam kancah politik. Dia adalah mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), pengurus partai, juru kampanye, anggota parlemen, hingga seorang inisiator yang berusaha membangkitkan kembali Partai Masyumi.
Babe Ridwan ketika bercerita soal Pemilu Indonesia, dia pasti memulai dari keadaan di awal 1950-an, di mana sekelompok anak muda yang menjadi kader PKI, Aidit DKK, mengambil partai itu dari kalangan generasi tua. Kala itu PKI yang sudah mati suri dibangkitakan kembali oleh keputusan Presiden Soekarno karena akan segera berlangsung Pemilu 1955. Ridwan mengatakan pengambilan PKI tersebut dilakukan sekitar tahun 1952. Atau, tiga tahun sebelum Pemilu 1955.
‘’Aiditlah yang memimpin organisasi partai PKI pada awal 1950-an itu. Ini dilakukan setelah PKI dinyatakan pemerintah kembali bisa berdiri usai tahun 1948 dinyatakan terlarang akibat mereka melakukan pemberontakan di Madiun. PKI saat itu juga langsung terpuruk, bahkan ketua partainya Musso ditembak mati di Madiun. PKI itulah oleh Aidit bersama kader muda sebayanya dihidupkan kembali,’’ kata Ridwan Saidi saat itu.
******
Dan benar, akibat kepiawaian Aidit PKI pada tahun 1955 mendapat sukses besar. Mereka bertengkar di papan atas partai di Indonesia. Posisinya berada di empat besar, di belakang partai PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Bahkan, pada pemilihan PKI mampu menggeser partai yang kala itu diisi kaum terdidik, Partai Sosialis Indonesia (PNI), pimpinan mantan perdana menteri Sutan Syahrir yang hanya mendapat suara dalam suara porsi kecil saja.
‘’Untuk Jakarta misalnya, PKI punya suara signifikan. Suara mereka didapat dari para kaum miskin kota yang menggelandang atau tinggal di Indonesia. Mereka dijadikan penduduk resmi Jakarta oleh para kader PKI. Saya tahu betul itu karena saya selaku warga Betawi yang tinggal di kawasan Pejompongan Jakarta Pusat tahu persis tak ada warga Betawi yang memilih PKI. Mereka yang memilih partai itu warga tak beridentitas resmi yang datang dari luar Jakarta menjelang Pemilu diberi status sebagai penduduk Jakarta,’’ kata Ridwan.
Lalu apa anomali berikutnya di Pemilu 1955? Menurut Ridwan Saidi jawabnya ada dua, yakni anomali yang positif dan yang negatif. Anomali yang positif misalnya meski pertarungan politik sangat keras rakyat tak terlalu terpancing dalam emosi yang menggila. Padahal pidato para tokoh partai kala itu sangat keras saling menyerang satu sama yang lain.
Ini misalnya, sewaktu berkampanye di Jawa Timur DN Aidit sempat akan dikeroyok dengan diturunkan secara paksa oleh sekelompok massa yang tidak terima atas ujaran pidatonya.
Kala itu, ungkap Ridwan, Aidit berkampanye pada sebuah alun-alun di sebuah kota kabupaten di Jawa Timur. Di atas podium dia mengatakan: Bila dibandingkan, kalau disebut lebih Islami maka PKI lebih Islami dari partai Masyumi. Kontan saja para pendukung Masyumi yang juga menyaksikan kampanye itu menggeruduk Aidit yang lagi pidato di atas podium.
‘’Hampir saja Aidit babak belur dipukuli oleh kader Partai Masyumi. Untung saja ada kader Masyumi yang menyelamatkan dia lalu mengevakuasinya ke Surabaya,’’ katanya.
****
Perilaku yang sama juga terjadi di Jakarta ketika Aidit berkampanye di Lapangan Banteng. Dari atas mimbar kampanya yang menggunakan pengeras suara bermerek TOA, Aidit menyebut: “Bila Masyumi menang, maka nama Lapangan Banteng akan diganti menjadi Lapangan Onta!”
Pada hari berikutnya, pidato ejekan Aidit kepada Masyumi di Lapangan Banteng itu dibalas oleh juru kampanye utama Partai Masyumi, KH Isha Anshary. Dalam pidatonya dia mengatakan: ‘kalau PKI menang Pemilu nantinya lapangan Banteng akan diganti namanya menjadi Lapangan Lenin,’’ ujar Ridwan sembari terkekeh seraya mengatakan kala itu dia merasa ‘demen’ dengan isi pidato elit partai dalam kampanye yang pasti bernas menandakan ketinggian pencapaian tingkat intelektualitasnya.
Anomali yang lain pada pemilu 1955 adalah pilihan bentuk hiburan diajang kampanye. Masing-masing partai punya cirinya sendiri.’’Yang paling kontras tentu saja gaya hiburan dipanggung kampanye antara PKI dan Masyumi. PKI berkampanye dengan diiringi band musik keroncong dan bahkan main rebana segala. PNI berkampanye dengan diiringi hiburan dari band lagu Melayu. Saya yang kala itu masih sangat muda suka melihat ajang kampanye dari kedua partai itu,’’ kata Ridwan menandaskan.
Kemudian apa anomali yang lain dari Pemilu 1955 sampai Pemilu hingga zaman reformasi (Pemilu 2019, pemilu terakhir yang diikutinya sebelum dia wafat,red). Babe Ridwan mengatakan: Emang, beda Pemilu 1955 dengan pemilu berikutnya adalah Pemilu ‘nyang’ 1955 baru tahu siape pemenangnya setelah coblosan. Pada ajang pemilu sesudah itu sebelum coblosan kite bisa ‘tau’ siapa pemenangnya… ha ha ha ha,’’ kata Ridwan Saidi sembari tertawa kekeh-kekeh.
Dan tampaknya pada Pemilu 2024 siapa yang jadi pemenangnya pun sudah bisa diketahui sebelum coblosan dilakukan. Maka benar kata orang Prancis: Sejarah itu ternyata selalu berulang!
Wallahu’alam