Pernyataan Ustaz Adi Hidayat (UAH) terkait musik mendapatkan respons cukup ramai di media sosial—mulai yang biasa-biasa saja hingga yang mengarah terhadap takfiri. Lantas, terjadilah sahut-menyahut antara para pendukung, baik yang pro terhadap pandangan UAH ataupun yang kontra. Sehingga jagat media sosial menjadi ramai akan pandangan dua kubu yang saling mempertahankan pendapat.
Bahkan, sahut-menyahut antara kubu pro dan kontra hingga hari ini masih ramai di media sosial. Lebih dari itu, ada yang mengarah terhadap tantangan untuk debat terbuka. Walaupun UAH telah memberikan klarifikasi melalui vidio singkat—khususnya kepada pihak yang hingga mengkafirkan, bahwa dirinya tak begitu mempermasalahkan hal tersebut.
Perbedaan Pandangan Masalah Furu’iyah
Terkait masalah musik, para ulama telah memberikan pandangan yang berbeda-beda. Tentu saja, perbedaan pandangan dan pendapat harus kita sikapi sebagai rahmat dari Allah Swt. Sehingga hal tersebut akan mengarah terhadap sikap kedewasaan kita dalam menjalankan ajaran Islam. Sehingga Islam sebagai sebuah agama akan mampu menampilkan wajah rahmatan lil alamien untuk semua makhluk-Nya.
Terlebih, teks (al-Qur’an dan al-Hadist) yang terbatas dan tak akan mungkin bertambah, harus berhadapan dengan konteks (kejadian/peristiwa baru) di kemudian hari yang pastinya akan terus berkembang. Pastinya, dibutuhkan istimbath (pengambilan kesimpulan) yang komprehensif dan memberikan kemaslahatan untuk kehidupan umat manusia.
Tentu, dengan tidak melanggar prinsip-prinsip syariah dalam maqashid al-syariah. Sehingga keberadaan Islam akan tetap mengacu terhadap norma-norma yang menjadi rujukan utama (al-Qur’an dan al-Hadist) dengan mengedepankan dinamisasi terhadap konteks yang terus berkembang ke depannya.
Maka dari itu, pemahaman pemuka Agama Islam—mulai dari ustadz, kyai, guru ngaji, akademisi, dan orang-orang yang menjadi tempat bertanya Islam, harus memiliki keilmuan dan pemahaman mumpuni terkait Islam. Sehingga siapapun yang bertanya terkait keislaman, akan dijawab dengan jawaban bahwa Islam yang memang telah berinteraksi dengan dunia kekinian.
Bila hal tersebut bisa dilakukan, maka keislaman yang ada di masyarakat tidak akan nampak kaku dan pastinya akan bisa berdialog dengan konteks kekinian (ke-mordern-an) yang pastinya akan tumbuh dan terus berkembang. Terlebih masalah furui’iyah yang memang para ulama dahulu memiliki perbedaan pandangan. Tentu, perbedaan pandangan tersebut tidak boleh ditarik kesimpulan terhadap ranah yang sifatnya utama, yaitu teologis-tauhid.
Dengan demikian, banyaknya pandangan terkait furu’iyah harus dipahami sebagai indahnya keberagaman syariat Islam yang diturunkan oleh Allah Swt. Sehingga semakin beragam pandangan terkait furu’iyah, akan semakin menjadikan Islam sebagai agama yang indah dan menawan. Pada akhirnya, rahmat dan keberkahan Allah Swt akan turun kepada umat Islam.
Untuk menjadikan umat Islam memiliki pemahaman terkait indahnya keberagaman syariat Islam—khususnya terkait perbedaan furu’iyah, dibutuhkan kecerdasan tingkat tinggi di kalangan umat Islam. HOTS (higher order thingking skills) merupakan salah satu cara berfikir yang dapat digunakan, agar umat Islam memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dalam memahami ajaran keislaman. Sehingga teks (al-Qur’an dan al-Hadist) yang terbatas akan mampu hidup berdampingan dengan konteks yang akan terus berkembang di masa yang akan datang.
HOTS dan Umat Islam
Umat Islam harus semakin cerdas dalam memahami ajaran Islam. Karena Islam yang turun 571 M lalu di tanah Arab melalui kelahiran Nabi Muhammad Saw, bisa dipastikan akan bertemu dengan berbagai peradaban dalam konteks yang berbeda-beda di berbagai belahan dunia. Integrasi Islam dengan konteks yang berbeda-beda, tentu akan melahirkan wajah Islam yang sesuai dengan konteks Islam itu berada.
- Amin Abdullah (2021: 2-3) mengungkapkan bahwa masyarakat muslim yang hidup saat sekarang ini dimanapun mereka berada adalah warga dunia (global citizenship)—untuk tidak mengatakan hanya terbatas sebagai warga lokal (local citizenship). Tentu, dalam perjumpaan antara local dan global citizenship akan ada pergumulan dan pergulatan identitas pada pencarian sintesis baru. Hal tersebut sebagai upaya untuk dapat memayungi dan menjadi jangkar spritualitas bagi mereka yang hidup di dunia baru dalam arus pusaran perubahan sosial era global.
Dengan demikian, HOTS sebagai salah satu keterampilan berfikir tingkat tinggi yang biasa digunakan dalam model pembelajaran, dapat digunakan untuk menghasilkan sintesis baru keberislaman di era global. Sehingga Islam yang turun untuk local citizenship di kalangan bangsa Arab pada tahun 571 M, tetap dinamis menghadapi konteks global citizenship. Karena, melalui HOTS, akan banyak kebaruan nilai keislaman yang akan tetap dan terus relevan terhadap perkembangan zaman.
Hal tersebut sebagai upaya untuk membuktikan bahwa Islam sebagai sebuah agama yang syarat dengan nilai-nilai mampu bertahan dan berdialog dengan kebudayaan setempat. Kemudian, nilai-nilai keislaman bukan hanya menjadi nilai yang berada di menara gading, akan tetapi hidup beriringan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada akhirnya, keberadaan Islam menjadikan masyarakat memiliki kesadaran bahwa keadilan dan kesejahteraan merupakan hak seluruh umat manusia.
Islam dan Peningkatan Kelas Muslim
Keberadaan HOTS sebagai upaya untuk menghasilkan sintesis baru terkait Islam masa kini, harus mampu mendorong masyarakat muslim memiliki kesadaran bahwa religiusitas bukan hanya bermakna ibadah mahdoh (ibadah langsung) seperti sholat. Akan tetapi, juga menghasilkan pemikiran bahwa ibadah ghairu mahdoh (tidak langsung) seperti penguasaan faktor-faktor produksi, penguatan ekonomi dan bisnis, politik, dan lain sebagainya, sebagai bagian dari religiusitas masyarakat muslim.
Kesadaran seperti itu, sebagai upaya agar masyarakat muslim memiliki ghairah besar untuk memiliki kekuatan di tengah-tengah hegemoni kapitalisme. Sehingga masyarakat muslim tidak hanya menjadi pasar bagi produsen yang kebanyakan non-muslim, akan tetapi juga mampu menjadi produsen dalam hal menghasilkan berbagai macam produk ataupun jasa.
Ghairah besar bagi masyarakat muslim sebagai upaya, agar masyarakat muslim tidak terus-menerus menjadi dhuafa. Hal tersebut, sebagaimana diungkap oleh Kuntowijoyo (2018: 42) bahwa sebenarnya, walaupun secara numerik umat Islam menjadi umat mayoritas, tetapi kebanyakan adalah dhuafa. Bila kita cermati, konteks dhuafa bagi masyarakat muslim, hampir di segala dimensi kehidupan masyarakat muslim, mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, HOTS sebagai salah satu cara berfikir tingkat tinggi, diharapkan mampu menghasilkan sintesis baru keberislaman di era modern seperti sekarang ini. Sehingga sintesis baru dari Islam yang dihasilkan melalui cara berfikir dengan mengguankan HOTS, akan menghasilkan wajah Islam yang membawa masyarakatnya menjadi lebih sejahtera.
Kembali lagi terhadap riuh atas tanggapan pernyataan UAH di media sosial. Bila masyarakat muslim telah terbiasa dengan model HOTS dalam mengintegrasikan nilai keislaman di masa kini, tentu hal-hal yang bersifat furu’iyah tidak akan menjadi masalah yang signifikan. Karena, hal tersebut hanya akan membuang-buang energi masyarakat muslim yang tak akan memberikan dampak terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat muslim. Sebaiknya, energi umat Islam harus mulai kita fokuskan terhadap, bagaimana meningkatkan kelas masyarakat muslim Indonesia menjadi kelas menengah atas secara merata.