Warung Madura, Kopi Starling, dan Keberpihakan terhadap Ekonomi Kerakyatan

Warung Madura-01
(Ilustrasi : KSU/ FIldzah Nur Fadhilah)

Baru-baru ini bangsa Indonesia dikejutkan oleh salah satu pernyataan petinggi Kementerian Koperasi dan UKM bahwa Warung Madura harus menghormati untuk tidak buka 24 Jam. Pernyataan tersebut mendapatkan respons dari berbagai pihak yang kesemuanya mengarah terhadap penolakan akan pernyataan tersebut. Sehingga ada revisian pernyataan langsung dari orang nomor satu di Kementerian Koperasi dan UKM bahwa tak ada larangan buka 24 jam untuk Warung Madura.

Bila dilihat secara sepintas, larangan untuk tidak buka 24 jam bagi Warung Madura nampak cukup lucu. Terlebih, kelucuan tersebut dikeluarkan oleh salah satu kementerian yang memang memiliki otoritas untuk mengurusi UKM (Usaha Kecil dan Menengah) di Indonesia. Harusnya, adanya Warung Madura yang buka 24 jam menjadi catatan buruk bagi Kementerian Koperasi dan UKM. Dimana, kementerian tersebut tak bisa memproteksi para pelaku UKM dari serangan minimarket, hypermarket, supermarket, department store, dan lain sebagainya—yang saat ini bisa membuka dimana pun tempatnya dan kapanpun waktunya, disebabkan mereka memiliki sumber daya melimpah.

Meluruskan Logika Buka 24 Jam

Harusnya, Kementerian Koperasi dan UKM memiliki logika waras terhadap apa yang dilakukan oleh Warung Madura dengan buka 24 jam. Logika warasnya ialah, karena masifnya minimarket, hypermarket, supermarket, department store, dan lain sebagainya—yang bisa buka dimana pun dan dan kapan pun, maka Warung Madura menunggu sisa-sisa konsumen setelah mereka tutup.

Setelah tutup di malam hari ataupun dini hari, di situlah Warung Madura mendapatkan keberkahan konsumen. Satu dua konsumen yang butuh akan sesuatu untuk dikonsumsi, di Warung Madura mereka bisa dapatkan. Bahkan, hanya sekadar butuh rokok satu batang dan kopi seduh satu cup, Warung Madura menjadi solusi yang tepat.

Tentu, bila Warung Madura dilarang buka 24 jam, sama saja akan membunuh usaha mereka. Karena, mereka tidak akan bisa mendapatkan sisa-sisa konsumen yang telah membeli di minimarket, hypermarket, supermarket, department store, dan lain sebagainya. Bila Warung Madura tidak mendapatkan konsumen, mereka akan gulung tikar.

Maka logika yang harusnya dibangun oleh Kementerian Koperasi dan UKM ialah bagaimana melindungi Warung Madura terhadap masifnya ekspansi minimarket, hypermarket, supermarket, department store, terkait tempat. Bila hal tersebut tidak diatur dengan pengaturan yang ketat, lambat laun bukan hanya Warung Madura yang akan gulung tikar, semua pelaku UKM akan rontok perlahan-lahan disebabkan pemerintah kurang berpihak terhadap pelaku UKM di Indonesia.   


Warung Madura, Kopi Starling, dan Perlawanan

Dari peristiwa tersebut, setidaknya ada tiga hal yang dapat kita pahami bersama. Pertama, perlawanan ekonomi kerakyatan terhadap korporasi. Keberadaan Warung Madura yang buka 24 jam merupakan salah satu contoh bagaimana ekonomi kerakyatan berhadapan dengan sebuah korporasi. Tentu saja, namanya korporasi akan bisa berbuat apapun untuk menekan ekonomi rakyat. Karena, mereka memiliki segala bentuk sumber daya—mulai dari sumber daya keuangan, sumber daya manusia, sumber daya kedekatan dengan penguasa, dan lain sebagainya.   

Selain Warung Madura, contoh perlawanan sengit lainnya ialah Kopi Starling (Starbucks Keliling) yaitu para penjaja kopi keliling. Penjual Kopi Starling hari ini harus berhadapan dengan bisnis besar lainnya yang sama-sama menjual kopi. Hal yang tak kalah menariknya, dari kalangan mereka juga hari ini menjajakan kopinya berkeliling seperti Kopi Starling.

Terkait perlawanan ekonomi kerakyatan dari kalangan orang Madura, sangat menarik bila coba dikaitkan dengan pandangan Huub De Jonge (2011: 58) bahwa perlawanan selalu menunjukkan pola yang sama: pemberontakan penduduk yang sering disertai kekerasan penduduk, diikuti perundingan dengan pihak pemerintah atau lewat prosedur pengadilan. Perlawanan yang dimaksud Huub De Jonge tersebut ialah perlawanan masyarakat Madura dalam rangka mempertahankan kepemilikan lahan garam rakyat. 

Bila kita lihat terhadap larangan Warung Madura buka 24 jam, tentu pandangan Huub De Jonge tersebut tak sampai kepada pemberontakan hingga prosedur pengadilan. Akan tetapi, baru sebatas runding-merunding, disebabkan banyaknya tekanan para pihak di media sosial yang berkeberatan atas pernyataan salah satu pimpinan di Kementerian Koperasi dan UKM. Maka dari itu, bila ada kesewenang-wenangan untuk di masa mendatang, melawan adalah hal yang utama.

Kedua, menambah pajak. Warung Madura dan Kopi Starling merupakan dua usaha yang secara terang-terangan berhadapan dengan bisnis korporasi. Kedua pelaku usaha tersebut pelakunya sama-sama Orang Madura. Perlawanan masyarakat Madura melalui Warung Madura dan Kopi Starling yang kebanyakan bertebaran di JABODETABEK dan mungkin di beberapa kota lainnya di Indonesia, sangat menarik bila dikaitkan terhadap disertasi miliki Prof. Kuntowijoyo yang dipertahankan di Universitas Columbia pada tahun 1980 dan telah dibukukan.

Kuntowijoyo (2017: 226) mengungkapkan bahwa aktivitas perdagangan bagi masyarakat Madura membentuk suatu hubungan-pasar antara usahawan-usahawan dan kelas-kelas penguasa di satu pihak dan masyarakat umum di pihak lainnya. Huub De Jonge (1989: 279) menambahkan bahwa para pedaganglah yang sampai hari ini menguasai hubungan ekonomi dengan dunia luar.

Pendapat Kuntowijoyo dan Huub De Jonge tersebut, bila dilihat dari konteks relasi kuasa pemerintah dan masyarakat, harusnya pemerintah berterimakasih terhadap pelaku usaha Warung Madura dan Kopi Starling. Karena, baik langsung ataupun tak langsung akan ada pajak yang masuk ke pemerintah. Mematikan usaha Warung Madura dan Kopi Starling, sama saja akan menghentikan pajak untuk pemerintah.     

Ketiga, persaudaraan orang Madura. Pada prinsipnya, seluruh orang Madura di tanah rantau itu adalah kawan yang bertransformasi menjadi bhala (baca: saudara). Menurut A. Latief Wiyata (2002: 69) bentuk relasi sosial tersebut berada dalam suatu rentangan tingkat keakraban, yang pada dasarnya berada pada titik ekstrim. Dengan kata lain, yaitu teman yang merupakan relasi sosial dengan tingkat keakraban paling tinggi.

Dengan dilarangnya Warung Madura buka 24 jam, maka bisa dipastikan seluruh warga Madura di berbagai lapisan masyarakat dan di berbagai daerah, akan bersuara lantang menentang hal tersebut. Karena pada prinsipnya, seluruh masyarakat Madura, baik yang ada di Madura dan di tanah rantau ialah sesaudara. Mengusik satu orang Madura, sama saja mengusik seluruh orang Madura.


Pemerintah Harus Berpihak untuk Rakyat

Apa yang terjadi pada Warung Madura, Kopi Starling, dan usaha kecil lainnya akhir-akhir ini, tentu hanya sebagian kecil bagaimana ekonomi rakyat harus berhadapan dengan kapitalisme global. Jadi, pemerintah harus berani berpihak untuk melindungi ekonomi kerakyatan. Bila pemerintah tak mau melindungi dan membela ekonomi kerakyatan, maka hegemoni kapitalisme global perlahan-lahan akan mengusir rakyat kecil dari bumi Indonesia. Maka dari itu, peran pemerintah dalam melindungi dan membela ekonomi kerakyatan menjadi sangat penting ke depannya.

 

 

id_IDIndonesian