Pesan Toleransi dari Margasari

Pesan Toleransi pada Sholat Ied
(Ilustrasi : KSU/Fachrul Rozi)

Senin, 2/5/2022 saya menjadi khatib Salat Idul Fitri (Salat Id) di Lapangan Barat Margasari Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Kegiatan Salat Id ini diselenggarakan oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Margasari Kabupaten Tegal. Ada hal menarik dari pelaksanaan Salat Id ini. Tentu saja bukan semata terkait pelaksanaan Salat Id yang di lapangan, karena bagi Muhammadiyah bukan sesuatu yang baru, tapi lebih terkait dengan toleransi tempat pelaksanaan Salat Id. Ada kearifan dalam menyikapi dua Salat Id yang berbeda tempat. # Pesan Toleransi

Tradisi Salat Id di lapangan memang pertama kali diperkenalkan oleh Muhammadiyah. Haedar Nashir (2010) mencatat bahwa pelaksanaan Salat Id di lapangan untuk pertama kalinya dilakukan Muhammadiyah pada 1926 dengan mengambil lokasi di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Haedar menulis bahwa KH. Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923 itu telah berusaha memahamkan umat Islam agar mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw dengan melaksanakan Salat Id di lapangan. Pelaksanaan Salat Id di lapangan ini merujuk pada hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 tahun 1926 di Surabaya, saat Muhammadiyah dipimpin oleh KH. Ibrahim.

Tradisi Salat Id di lapangan bermula dari kritikan seorang tamu dari India pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim. Tamu ini memprotes mengapa Muhammadiyah yang telah memposisikan diri sebagai kelompok pembaru, pencerahan (tajdid) melaksanakan Salat Id bertempat di dalam Masjid Keraton Yogyakarta dan tidak melaksanakannya di lapangan sebagaimana telah dicontohkan Rasul oleh Muhammad saw (St. Nurhayat, dkk., 2019).

Contoh Rasul dimaksud tentu merujuk pada Hadis: “Dari Abu Said al-Khudri r.a. bahwa ia berkata: Rasulullah saw keluar ke lapangan tempat salat (mushalla) pada Hari Id, lalu hal pertama yang dilakukannya adalah salat, kemudian ia berangkat dan berdiri menghadap jamaah, sementara jamaah tetap duduk pada saf masing-masing, lalu Rasulullah menyampaikan wejangan, pesan, dan beberapa perintah (HR al-Bukhari).

Sebagai hal yang baru, mulanya Salat Id di lapangan menimbulkan pertentangan dan ketegangan, juga dinilai tidak lazim. Ketaklaziman ini kalau merujuk pada tradisi keberagamaan mainstream di Indonesia memang bisa dipahami. Diketahui bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut Madzhab Syafii. Dan pandangan Imam Syafii terkait Salat Id menyatakan bahwa Salat Id di masjid lebih utama, meskipun dengan catatan bahwa lebih utamanya Salat Id di masjid itu selagi masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut. Jika tidak mampu menampungnya, maka tidak dianjurkan Salat Id di dalam masjid (Cholil Nafis, nu.online, 3/5/2022).

Sementara tiga madzhab lainnya: Imam Hanafi dan Imam Hambali menghukumi sunah Salat Id di lapangan dan makruh melaksanakan di masjid, termasuk Masjidil Haram, dan Imam Malik menghukumi sunah Salat Id di lapangan dan makruh di masjid, kecuali Masjidil Haram.

Saat ini, Salat Id di lapangan sudah menjadi kelaziman, termasuk di Margasari. Seperti yang terjadi di banyak daerah, pelaksanaan Salat Id di lapangan Margasari pada mulanya juga menimbulkan ketegangan, namun sejak awal tahun 2000-an tak lagi terjadi. Yang tergambar dari pelaksanaan Salat Id 1443 H., Senin lalu, justru menjadi potret wajah toleransi.

Posisi Lapangan Barat Margasari yang menjadi tempat Salat Id memiliki luas hampir setara dengan luas lapangan sepak bola dengan standar internasional. Posisi Lapangan Barat tepat berada di pinggir jalan nasional jalur Tegal-Purwokerto.

Salat Id di Lapangan Barat dimulai jam 07.00 dan tepat pukul 07.10 Salat Id dimulai dan dilanjutkan dengan khutbah. Memulai Salat Id pada jam 07.00 tentu termasuk siang. Siangnya pelaksanaan Salat Id ini karena demi menghormati pelaksanaan Salat Id di Masjid At-Taqwa yang posisinya sesuai arah mata angin tepat berada di pojokan Barat Daya dari Lapangan Barat, yang rangkaian Salat Id-nya dimulai jam 06.15 dan selesai pada pukul 07.00. Jadi prosesi Salat Id warga Muhammadiyah dimulai ketika pelaksanaan Salat Id di Masjid At-Taqwa telah atau hampir selesai.

Warga Muslim di Desa Margasari yang berada di sekitar Lapangan Barat dan Masjid At-Taqwa sudah memahami dengan baik budaya toleransi yang seperti ini. Bagi warga Nahdliyin yang kebanyakan melaksanakan Salat Id di Masjid At-Taqwa, mereka akan berangkat menuju Masjid At-Taqwa lebih pagi. Sebaliknya, bagi warga Muhammadiyah dan sebagian warga Nahdliyin yang akan melaksanakan Salat Id di Lapangan Barat akan menuju ke lapangan lebih lambat. Biasanya mereka akan menuju lapangan ketika mereka yang melaksanakan Salat Id di Masjid At-Taqwa telah menyelesaikan Salat Id atau tengah memulai khutbah Id.

Akibat Covid-19, di mana kebanyakan warga Muslim yang merantau ke luar daerah, utamanya Jabodetabek, tidak sempat mudik selama dua tahun, maka Salat Id kali ini, baik yang berlangsung di Masjid At-Taqwa maupun Lapangan Barat secara kuantitas mengalami peningkatan. Jumlah jamaah di Masjid At-Taqwa misalnya terlihat sampai sedikit meluber ke halaman masjid. Begitu pun jamaah Salat Id yang berlangsung di Lapangan Barat juga melangalami lonjakan hingga melebihi jamaah yang berada di Masjid At-Taqwa. Menurut penuturan Ketua PRM Margasari Samsul Fata, diperkirakan jamaah yang ikut Salat Id di Lapangan Barat berjumlah lebih dari 2,6 ribu jamaah.

Pelaksanaan Salat Id di Margasari patut menjadi contoh bagi daerah lain. Pertama, Margasari hanya nama sebuah desa dan sekaligus kecamatan di Kabupaten Tegal. Lazimnya pedesaan, apalagi di Jawa Tengah, kecenderungan pola beragamanya bersifat homogen. Pola beragama ini tentu berbeda dengan di daerah urban atau perkotaan yang cenderung heterogen. Ketika pola beragama di pedesaan yang cenderung homogen mampu menghasilkan tradisi beragama yang toleran, tentu ini luar biasa. Sebab di banyak daerah masih sering terjadi ketegangan-ketegangan, terutama dalam menyikapi persoalan furuiyah atau khilafiyah, termasuk menyikapi perbedaan tempat pelaksanaan Salat Id: lapangan atau masjid.  # Pesan Toleransi

Kedua, ada pesan kuat terkait pentingnya toleransi, bahwa perbedaan adalah niscaya, sunatullah, sebagaimana pesan QS. Al-Hujurat: 13, dan semestinya niscaya pula dalam menyikapi perbedaan tersebut dengan mengedepankan prinsip-prinsip universal yang tergambar dalam maqasid al-syariah, di antaranya prinsip toleransi (tasamuh). Dalam konteks negara Pancasila yang menjunjung tinggi kebinekaan, termasuk bineka dalam hal keberagamaan, toleransi juga menjadi keniscayaan. Tak dibenarkan ada monopoli kebenaran dalam beragama, terlebih dalam hal yang berkenaan dengan masalah furuiyah dan khilafiyah.

Ketiga, terkait tradisi tempat pelaksanaan Salat Id di Margasari menggambarkan bahwa secara sosiologis, Muhammadiyah dan NU struktural maupun “Nahdliyyin kultural” bisa hidup berdampingan, saling menerima dan melengkapi. Poin terakhir: “Nahdliyyin kultural” sengaja saya sebut, karena faktanya di masyarakat terdapat varian ini, yang secara kuantitas jauh lebih banyak, di mana secara kultural mereka menjalankan amalan-amalan keagamaan yang dilakukan oleh NU, namun tak banyak di antara mereka yang paham masalah keNUan, kecuali amalan-amalan ritual peribadatan. Secara organisatoris, mereka biasanya tidak terlibat aktif di NU. Lebih dari itu, pilihan politik mereka juga biasanya berbeda dengan mereka yang berada di wilayah NU struktural. Pesan Toleransi

Kerapkali di banyak daerah, Muhammadiyah sulit diterima hanya karena berbeda dalam hal paham keagamaan, terkait masalah furuiyah maupun khilafiyah, hal yang sebenarnya juga dipelajari di kalangan pesantren, yaitu ketika mengkaji kitab-kitab perbandingan madzhab, terutama madzahib al-arbaah.

Disayangkan, terkadang perbedaan furuiyah atau khilafiyah kurang atau bahkan mungkin sengaja tidak dijelaskan secara baik, sehingga di level arus bawah, ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh perbedaan furuiyah dan khilafiyah masih kerap terjadi. Sedikit sekali para kiai atau ustadz yang mencoba serius menyampaikan perbedaan-perbedaan keagamaan dalam konteks mencari konvergensi, titik-titik temu di antara umat Islam yang berbeda dalam hal paham keagamaan. # Pesan Toleransi

Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dari NU dan Mas Tafsir Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah adalah sedikit dari kiai atau ustadz yang dalam banyak kesempatan ceramah-ceramahnya sering memberikan pesan kuat akan pentingnya memahami dan bertoleransi dalam hal pandangan keagamaan yang berbeda. Sementara tidak sedikit kiai atau ustadz yang justru “menikmati” dan sekaligus “memanfaatkan” secara kurang positif atas perbedaan-perbedaan furuiyah maupun khilafiyah di antara umat Islam. Perbedaan-perbedaan ini tidak mencoba dijelaskan dengan baik, misalnya dengan pendekatan kajian perbandingan madzhab. Bahkan sebaliknya, seolah-olah justru fungsional bagi kebanyakan kiai dan ustadz.

Realitas ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa kiai atau ustadz yang alim memang banyak, namun sedikit sekali yang mempunyai kearifan. Memang tidak mudah menjadi kiai atau ustadz yang alim sekaligus arif. Kiai atau ustadz yang mampu menyandang predikat alim dan arif biasanya dalam dirinya tertanam kuat sebuah prinsip bahwa perbedaan merupakan keniscayaan. Karena berbeda itu niscaya, maka perbedaan tak seharusnya mengalahkan kebersamaan (ukhuwah) di antara umat Islam, sebagaimana pesan QS. Ali Imron: 103.

(Tulisan ini juga dimuat di Republika Online pada 06/05/2022)

Baca Juga : Opini Lainnya

Pesan Toleransi

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/