Paradoks Pembangunan

(Ilustrasi : KSU/Fachrul Rozi)

Dunia internasional kini saling bekerjasama dalam berbagai forum untuk melakukan pembangunan demi mencapai  kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini dilakukan dengan merumuskan tujuan pembangunan dalam kerangka MDG’s atau Millenium Development Goals yang dicanangkan dan disepakati oleh 189 negara anggota PBB pada tahun 2000. Rumusan tersebut dijalankan selama 15 tahun untuk mencapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun 2015. Sayangnya, tujuan pembangunan dalam kerangka MDG’s belum bisa tercapai di tahun 2015, oleh karenanya negara-negara yang ikut menyepakati MDG’s kembali mencanagkan tujuan pembangunan berkelanjutan yang ditargetkan tercapai pada tahun 2030. Tujuan pembangunan berkelanjutan yang dikenal dengan SDG’s atau Sustainable Development Goals berisi 17 poin yang merupakan hasil pengembangan dari MDG’s.

Pertanyaan yang dapat kita utarakan terkait dengan cita-cita mulia tersebut adalah: apakah dengan adanya rencana pembangunan tersebut kemudian dapat benar-benar membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik?

Tujuan mulia yang dibawa oleh pekumpulan negara-negara yang berkomitmen melakukan pembangunan ini nyatanya tidak sejalan dengan gagasan yang dirumuskan dalam SDG’s. Pembangunan ini pada akhirnya menghasilkan produk masalah baru dalam tatanan sosial masyarakat.

Indonesia sebagai negara berkembang menjadi salah satu aktor dalam melakukan pembangunan baik nasional maupun global. Namun pembangunan di wilayah domestik sangat perlu diperhatikan sehingga tidak hanya fokus pada pembangunan ekonomi tapi lebih dalam lagi, perlu ada pembangunan SDM yang akan mendukung tercapainya pembangunan secara umum.

Sebagai warga dunia, Indonesia yang masih berstatus negara berkembang, sangat antusias untuk mencapai tujuan pembangunan global. Bukan hanya negara sebagai aktor utama dalam dunia internasional yang gencar mencapai tujuan pembangunan. Namun banyak aktor lainnya yang ikut serta dalam  membantu negara untuk mecapai tujuan pembangunan,  mulai dari Non-Government Organization, Organisasi Pemuda, Organisasi Mahasiswa, Lembaga Sosial, Organisasi Masyarakat, dan lain-lain. Semua memberikan sumbangsih pemikiran, tenaga, bahkan materi untuk sama-sama mengentaskan masalah dan fenomena sosial yang ada. Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat yang notabene bergerak di bidang sosial kemanusiaan di Indonesia per 2018 mencapai 390.293.[1] Banyaknya jumlah LSM di Indonesia secara langsung maupun tidak telah membantu meringankan tugas negara dalam upaya pembangunan, menimbulkan pertanyaan lain. Kenapa walaupun banyak tangan yang turut serta dalam mencapai visi SDG’s, masalah terlihat tidak berkurang? Atau memang masalah di Indonesia sangat banyak dan kompleks sehingga belum bisa teratasi walaupun banyak tangan yang membantu?

Atas inisiatif pribadi, sebuah ide atau gagasan untuk berbuat kebaikan dapat membentuk sebuah gerakan yang jika dirawat bisa berubah bentuk menjadi sebuah komunitas bahkan lembaga atau organisasi yang lebih dikenal dengan sebutan NGO (organisasi non pemerintah). Saat ini sudah banyak gerakan, komunitas, lembaga, NGO yang lahir dan meramaikan pembangunan dunia. Mahasiswa menjadi salah satu aktor dari dunia pembangunan. Tri Dharma yang digagas universitas (Perguruan Tinggi Muhammadiyah mengenal Catur Dharma) menjelaskan bagaimana kedudukan perguruan tinggi melalui mahasiswanya yang menempuh pendidikan memiliki peran yang tidak sembarang, yakni pengabdian pada masyarakat. Menekankan pada kebermanfaatan ilmu pengetahuan yang dimiliki mahasiswa untuk kemajuan masyarakat.

Itulah alasan ilmu tentang bagaimana praktik pengabdian masyarakat harus dimiliki oleh mahasiswa. Bukan sekedar membuat program seremonial yang melibatkan sedikit partisipasi masyarakat, tapi lebih dari itu mahasiswa harus bisa memastikan bahwa apa yang diberikan, sedikit banyak berdampak pada masyarakat.

Negara yang sudah jelas kedudukannya sebagai aktor penting dalam upaya pembangunan idealnya memiliki perencanaan, pendekatan, dan strategi yang terstruktur. Namun sering kita lihat banyak program pemerintah yang tidak berjalan sesuai dengan tujuan. Ini terjadi karena sering kali sebuah program disusun dengan pola pukul rata atau top-down. Padahal tidak semua kebijakan dan program dapat dilakukan dengan pola tersebut. Itu fakta dan masalahnya.

Misalnya, pemerintah memiliki program pembangunan infrastruktur di wilayah perkotaan untuk kemajuan perekonomian, tapi masih terlihat abai terhadap kualitas pembangunan yang dilakukan. Bahkan tidak jarang pembangunan digencarkan tanpa melihat atau bahkan tutup mata terhadap dampak negatifnya, dampak terhadap kerusakan lingkungan misalnya. Pembangunan yang fokus pada modernisasi wilayah perkotaan ini kemudian akan memarjinalkan wilayah-wilayah pinggiran maupu pedesaan. Sehingga terbentuk kesenjangan  sosial yang cukup jauh antara warga kota dan desa. Pembangunan infrastruktur yang tidak diiringi dengan pembangunan SDM hanya akan menambah angka statistik manusia yang dianggap marjinal berdasarkan indikator yang tidak tahu versi siapa.

Pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi menjamur di pusat kota, tempat perbelanjaan, pembangunan jalan, hingga tempat wisata. Pembangunan yang terjadi di Jakarta telah banyak berkontribusi untuk peningkatan taraf ekonomi bukan hanya warga Jakarta tapi banyak warga dari daerah lain. Namun ini tidak sebanding dengan dampak yang terjadi pada aspek lain. Ekonomi warga lokal dan masalah lingkungan yang tidak berkesudahan. Berapa banyak warga Jakarta asli yang akhirnya pindah ke pinggir atau bahkan keluar Jakarta karena tanahnya dijual untuk pembangunan infrastruktur? Ini baru kota Jakarta, belum kota-kota besar lain.

Tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan. Tetap ada kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan termarjinalkan dari kemewahan modernisasi. Kemudian pembangunan seperti apa yang dapat dinilai berhasil? Pakar pembangunan Dunia Ketiga, Arief Budiman menjelaskan dua hal yang dapat menjadi dasar untuk menilai keberhasilan pembangunan, yaitu pertama, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Kedua, adanya kesinambungan pembangunan yang memfokuskan kepada: tidak terjadinya kerusakan sosial dan  tidak terjadinya kerusakan alam.[2]

Nyatanya pembangunan yang digencarkan pemerintah dan lembaga internasional belum juga berhasil menemukan model pembangunan yang cocok diterapkan di negara berkembang. Sebab pembangunan yang difokuskan justru menghasilkan kesenjangan antar kelompok masyarakat. Perbedaan yang cukup jauh antara kehidupan gemerlap metropolitan kota Jakarta berbanding terbalik dengan angka pengangguran, angka kejahatan (pencopetan, pencurian, dll) pemandangan pemukiman kumuh, sungai yang warnanya gelap pekat, laut yang penuh zat kimia berbahaya, kekeringan di daerah satu dan banjir rutin yang menggenang di daerah lain.

Maka dari itu yang dibutuhkan adalah pembangunan yang berkesinambungan, yang tidak hanya fokus pada peningkatan ekonomi saja tapi juga peningkatan kualitas pembagunan hidup yang akan berdampak pada pola pikir dan kesadaran masyarakat. Hal ini tidak semata dilakukan dengan menggunakan pendekatan  secara formal, tapi secara kultural. Tindakan yang dibutuhkan adalah mengambil posisi di tengah masyarakat, menjadi pemantik dan bergerak bersama masyarakat untuk bangkit, maju, dan berdaya. Tidak semua program dapat dilakukan dengan pendekatan top-down, tapi juga membutuhkan pola bottom-up. Pendekatan tidak selalu reaktif, tapi dalam beberapa hal juga perlu responsif. Dengan begitu, masyarakat tidak akan merasa sendirian, melainkan ada pihak yang bergerak bersama mereka, bekerjasama untuk memecahkan masalah bersama.

Dalam hal ini, aktor pengembangan masyarakat yang menjadi tangan atau bagian dari misi pembangunan dunia harus memiliki perencanaan, pendekatan, dan strategi yang terstruktur. Upaya ini juga merupakan ajang untuk mengedukasi dan mentransfer ilmu pengetahuan serta penyadaran kepada masyarakat. Harapannya masyarakat akan lebih sadar dan cerdas dalam menyikapi keresahan yang selama  ini dirasakan. Mampu mememecahkan masalah internal, dan berdaya membangun komunitas yang mandiri. Jadi, pem- bangunan yang dilakukan tidak hanya pembangunan fisik tapi pembangunan yang berkesinambungan yang dapat meng hasilkan masyarakat yang berkualitas dan berdaya. Pembangunan yang tidak merusak tatanan sosial dan ekologi.

(Revisi dari judul tulisan: Sebuah Paradoks, terbit di buku Narasi Manifestasi Humanitas-DPP IMM)

[1] Haru Tamtomo, Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM, dalam Jumlah LSM di Indonesia Terus Bertambah Setiap Tahun, diakses melalui medcom.id

 

[2] Arief Budiman dalam Jurnal POLITIA, Paradoks Politik Pembangunan, Vol.6, No. 2, Juli 2014, Hal. 91

 

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/