Moderasi Beragama Tanpa Makna

Moderasi Beragama Tanpa Makna
(Ilustrasi : KSU/Fachrul Rozi)

Dalam beberapa tahun terakhir, moderasi beragama menjadi tema penting dalam menyikapi apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai menguatnya arus radikalisme atau lebih tepatnya ekstremisme beragama. Penggunaan term moderasi beragama lebih merupakan kritik terhadap penggunaan term deradikalisasi yang dalam sepak terjangnya justru mempunyai kecenderungan kuat untuk berhadapan dengan kaum radikalis atau lebih tepatnya ekstremis.

Penggunaan term moderasi beragama lebih sebagai upaya untuk mengambil “jalan tengah” (tawasuth) dalam menyikapi beragam persoalan keberagamaan, baik yang berdiri sendiri atau berkaitan dengan persoalan lainnya, seperti politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

Moderasi berasal dari bahasa Inggris “moderation”, yang berarti sikap sedang atau sikap tidak berlebih-lebihan. Penggunaan term moderasi beragama lebih menggambarkan sikap yang mencoba menjadi penengah (wasath, wasit), memberikan solusi, dan jalan tengah di antara dua titik ekstrem.

Pijakan moderasi beragama berujuk pada dalil naqli dalam QS. al-Baqarah: 143: Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan  wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi  saksi atas (perbuatan) kamu…”.

Ayat ini menegaskan posisi umat Islam sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan). Dalam ayat tersebut terdapat istilah ummatan wasathan, di mana kata wasath oleh banyak mufassir diartikan sebagai sikap pertengahan, moderat, jalan tengah, seimbang antara dua kutub ekstrim. Jadi ummatan washatan adalah sikap umat yang berpikiran dan berperilaku moderat (tawasuth), seimbang, tidak zhalim, dan adil (proporsional).

Merujuk pada tafsir QS. Al-Baqarah: 143 tersebut, semestinya moderasi beragama juga menonjolkan sisi moderat, sikap tengah, dan tidak berlebihan (ekstrem) atau tatharruf dalam menyikapi radikalisme atau ekstremisme.

Apalagi kalau menilik banyak hasil riset, bahwa radikalisme atau ekstremisme yang terjadi di Indonesia secara determinan bukan disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang radikal atau ekstrem, tapi lebih banyak disebabkan oleh ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi dan politik yang diciptakan dan dipertontonkan secara demonstratif oleh sebagian elit politik dan segelintir orang yang kerap disebutnya sebagai kaum oligark, baik oligarki ekonomi maupun oligarki politik.

Sumber-sumber ekonomi di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang. Sementara rakyat kebanyakan hanya bisa menguasai sedikit sumber-sumber ekonomi. Rent seeking, kebiasaan buruk yang dilakukan oleh para pejabat kita untuk mengeruk kekayaan negara, saat ini sudah dianggap sebagai hal yang lazim. Praktik politik juga berlangsung sangat liberal dan berbiaya mahal, setarikan nafas dengan penguasaan ekonomi yang kapitalisitik dan korup oleh kaum oligark.  

Sebaliknya, penggunaan term deradikalisasi justru mempunyai kecenderungan mengambil posisi ekstrim lainnya yang berdiri saling berseberangan. Berbeda dengan moderasi beragama yang mencoba mengambil “jalan tengah”, merangkul, dan mendamaikan, maka kerja-kerja deradikalisasi justru cenderung saling berhadapan (vis a vis) antara mereka yang dicap sebagai radikal atau ekstrem dengan mereka yang menyebut diri mencoba melakukan kerja-kerja deradikalisasi. Sehingga sejatinya antara upaya untuk melakukan deradikalisasi tak berbeda jauh dengan mereka yang diberi label radikal, yaitu sama-sama mengambil titik (bipolar) ekstrem yang saling berseberangan dan vis a vis.

Realitas yang terjadi di Indonesia saat ini, apa yang sering disebut atau menyebut dirinya sebagai kelompok moderat (tawasuth) yang mencoba memoderasi sikap-sikap radikal atau ekstrem dalam beragama, justru terkadang cenderung mengambil posisi berhadapan dengan kelompok yang mencoba dimoderasi. Dan ketika yang dimaksud moderasi beragama tapi dalam praktiknya justru vis a vis dengan kaum radikalis atau ekstremis, maka sebenarnya tidak tepat untuk disebut sebagai moderasi beragama.

Kegaduhan dan polarisasi keberagamaan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir tidak menggambarkan adanya ikhtiar untuk melakukan moderasi beragama. Yang ada dan terjadi justru adanya rivalitas yang saling berhadapan antara kelompok ekstrem atau radikal yang satu berhadapan dengan kelompok ekstrem atau radikal lainnya.

Kegaduhan yang ditimbulkan oleh Jenderal Dudung Abdurrachman yang menyebut bahwa “Tuhan bukan orang Arab” sulit untuk disebut sebagai sikap moderat dalam beragama. Sebaliknya, pernyataan tersebut justru merupakan pencerminan dari sikap seorang yang radikal atau ekstrem dalam beragama.

Hakekatnya sikap Jenderal Dudung, yang tergambar dari pernyataan-pernyataannya, terlebih sejak menjadi Pangdam Jaya sampai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), sebenarnya sama dan sebangun dengan misalnya sikap dan pernyataan-pernyataan Habib Bahar bin Smith selama ini, yaitu sama-sama radikal atau ekstrem. Hanya beda positioning saja. Habib Bahar mungkin diposisikan berada pada posisi ekstrem kanan, sementara Jenderal Dudung diposisikan berada pada ekstrem lainnya.

Secara prinsip kerja-kerja moderasi beragama tak mungkin akan saling berhadapan dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh kaum radikalis, baik yang berada pada kubu ekstrim kiri maupun kanan. Yang ada justru sebaliknya: berusaha menengahi (menjadi penengah), merangkul, mengayomi, dan memberi penyadaran dengan cara-cara yang bijaksana (hikmah) dan perkataan yang baik (mauizatul hasanah)

Ketika kerja-kerja moderasi beragama justru menimbulkan ketegangan dan saling berhadapan, maka sulit untuk menyebutnya sebagai moderasi beragama. Namun kalau pun memaksakan untuk disebut sebagai moderasi beragama, maka itu tak lebih hanya moderasi beragama yang tanpa makna. Sekian.

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/