Perempuan dalam Hukum Waris Islam

(Ilustrasi : KSU/Fachrul Rozi)

Memasuki Bulan April, hal paling biasa yang akan kita lakukan adalah mengingat sosok wanita Indonesia dari tanah Jepara yang berhasil membumikan gagasannya. Biasa juga dilakukan oleh banyak orang (mungkin kita juga pernah melakukan) adalah secara seremonial mengenakan kebaya atau busana tradisional lain untuk menunjukkan potret perempuan Indonesia. Aksi semacam itu mungkin bisa mengantar kita mengenal stereotip perempuan Indonesia yang lekat dengan ‘kebaya’, tapi cukup mengantarkan kita untuk mengenal pemikirannya.

Gagasan-gagasan Kartini yang begitu revolusioner justru sering tidak kita jamah. Kita hanya sampai pada kulitnya, paling banter sampai bagian daging buahnya saja, belum sampai pada biji yang menjadi intinya. Kita terlalu asyik hura-hura menyemarakkan Hari Kartini dengan saling adu ‘cantik’ berkebaya tanpa menyelami dan mendalami gagasan pemikirannya sampai ke akar. Radikal. Sikap radikal itu penting dalam memahami sebuah gagasan, supaya kita betul-betul tahu dan paham bagaimana sebuah gagasan itu lahir dan bagaimana cara mengimplementasikan secara konkret dalam kehidupan.

Bukan hanya dari Kartini, banyak gagasan tentang pembebasan perempuan yang lahir sebagai bentuk antitesis dari kondisi sosial, budaya, ekonomi, pendikan, politik, bahkan ekologi dan semua aspek kehidupan. Tafsir soal perempuan mewujud menjadi berbagai macam cara pandang menyebabkan perdebatan, refleksi, diskusi dan aksi yang tidak pernah usai. Sebagai umat muslim, tentunya kita wajib menjadikan Al Quran dan tuntunan Rasul sebagai pijakan kehidupan kita, menggunakan gagasan dalam Al Quran untuk menjawab persoalan kehidupan termasuk soal perempuan. Bukan hanya gagasan yang lahir dari pemikiran manusia, gagasan yang terkandung dalam Al Quran justru sangat penting untuk kita dalami.

Sebelum Kartini lahir, isu pembebasan perempuan telah jauh lebih dulu lahir dan membumi di tanah Arab. Konsep kesetaraan dan segala aspek kehidupan perempuan telah dibahas dalam Al Quran. Asghar Ali Engineer dalam bukunya, Islam dan Teologi Pembebasan membahas bagaimana Islam hadir di tanah Arab membebaskan perempuan dengan memberikan hak-hak yang proporsional untuk memutus rantai ketidakadilan yang juga melanda kaum perempuan. Sayangnya, masih banyak orang yang menganggap bahwa agama (Islam) tidak cukup memberikan ruang dan kebebasan bagi perempuan. Pandangan sejenis itu terjadi karena ketidakmampuan kita untuk menafsirkan pemikiran Allah yang begitu futuristik dan komprehensif. Tafsir-tafsir liar manusia mengenai Islam dalam memandang perempuan perlu diluruskan.

Untuk mengupas esensi perempuan dari sudut pandang Islam, saya mendapat kesempatan emas berbincang dengan salah satu dosen senior Fakultas Hukum UMJ, yakni Dr. Fal. Arovah Windiani, SH.M.Hum., yang akrab disapa Ibu Arovah. Sebelumnya saya juga pernah berada dalam satu forum bersama beliau, ketika saya mengikuti program KKNMu (Kuliah Kerja Nyata Muhammadiyah Se-Indonesia) tahun 2017 di Palembang. Pada saat itu saya masih ingat betul bagaimana Bu Arovah membimbing dan memberikan banyak materi pembekalan untuk kami mahasiswa peserta KKNMu Palembang 2017. Saya jadi tidak merasa terlalu grogi karena nara sumber kali ini adalah sosok yang tidak asing bagi saya.

Sepak terjang perempuan kelahiran Magelang, 4 Mei 1963 dalam dunia hukum Islam sudah tidak diragukan lagi. Sangat pas kalau saya bertanya soal Islam dalam mengatur perkara-perkara perempuan. Saat ditemui di lantai 1 Fakultas Hukum UMJ, Ketua Divisi Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah ini menerima kedatangan saya dengan hangat. Sambil duduk santai, kami memulai obrolan. Pada saat saya meminta izin untuk merekam dan mengarahkan alat perekam, seketika beliau membuka pembahasan sambil memperlihatkan barisan ayat Al Quran melalui layar ponselnya, surat An-Nisa.

يُوۡصِيۡكُمُ اللّٰهُ فِىۡۤ اَوۡلَادِكُمۡ‌ ۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ الۡاُنۡثَيَيۡنِ‌ ۚ فَاِنۡ كُنَّ نِسَآءً فَوۡقَ اثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ‌ ۚ وَاِنۡ كَانَتۡ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصۡفُ‌ ؕ وَلِاَ بَوَيۡهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنۡ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ يَكُنۡ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗۤ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ‌ ؕ فَاِنۡ كَانَ لَهٗۤ اِخۡوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ يُّوۡصِىۡ بِهَاۤ اَوۡ دَيۡنٍ‌ ؕ اٰبَآؤُكُمۡ وَاَبۡنَآؤُكُمۡ ۚ لَا تَدۡرُوۡنَ اَيُّهُمۡ اَقۡرَبُ لَـكُمۡ نَفۡعًا‌ ؕ فَرِيۡضَةً مِّنَ اللّٰهِ ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيۡمًا حَكِيۡمًا

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. An Nisa: 11)

Surat An-Nisa ayat 11 mengantarkan kami pada obrolan mengenai Hukum Waris Islam.  Awalnya saya pikir hukum waris dalam Islam sudah selesai. Maksudnya, berdasar pengetahuan saya, tidak ada lagi yang bisa diganggu-gugat dari hukum waris. Apalagi niat awalnya untuk membahas perempuan dalam perspektif Islam. Namun semakin lama saya simak, akhirnya saya tahu kenapa beliau mengawali dengan membahas hukum waris.

Perempuan yang menguasai banyak bahasa ini menegaskan bahwa hukum waris Islam saat ini dianggap oleh banyak orang mengeliminasi perempuan. Kemudian beliau mengartikan ayat tersebut kata demi kata. Selama beliau menjelaskan, saya begitu terkesan dengan makna yang terkandung di dalam ayat tersebut tentang bagaiman Allah memberikan perhatian dan kasih sayang pada perempuan, salah satunya melalui aturan pembagian harta warisan. Perempuan berhak mendapatkan harta waris dan semua orang tahu itu, tapi yang tidak banyak diketahui orang adalah keadilan, proporsionalitas dan komprehensitas yang Allah berikan.

Ayat tersebut diadopsi oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan tentang pembagian harta warisan, yakni Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Pasal 176 yang mengatur pembagian harta warisan laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (dua banding satu).

‘’Padahal seharusnya tidak begitu,’’ tegasnya.

Allah menjelaskan bahwa lidz-dzakari mitslu hazh-zhil untsayaiyn, artinya bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Ada makna kesederajatan atau equality yang dibarengi dengan proporsionalitas. Maksudnya adalah, bukan berarti ‘banding’ melainkan ‘sama dengan’ dalam konteks proporsional.

“Dalam hal ini kayanya kita perlu deh melibatkan ahli matematika dalam menafsirkan ‘banding’ dengan ‘sama dengan’, juga menafsirkan ‘sama dengan’ dengan ‘sama dengan lebih dari’,” katanya.

Saya yang senang teka-teki tentu sangat suka dengan topik seperti ini, karena diajak berpikir dan bertanya-tanya. Apalagi kalau harus mewawancarai ahli matematika, sepertinya akan menjadi hal yang menarik. Terdengar rumit memang, tapi ini perlu kita lakukan.

Lalu apa bedanya dan bagaimana seharusnya?

Kalau kita baca pernyataan Allah dalam surat An-Nisa ayat 11 secara hati-hati, maka kita akan menemukan fakta bahwa harta waris perempuan bukan setengah dari laki-laki, melainkan 1 bagian. Kemudian harta waris laki-laki 2 kali bagian perempuan. Artinya, harta waris laki-laki akan bergantung pada harta waris yang diperoleh perempuan. Bukan sebaliknya. Bukan memberikan dulu kepada laki-laki baru kemudian perempuan mendapat ½ bagian laki-laki. BUKAN.

“Contohnya begini, saya mau memberikan kue 2 kali lebih banyak ke A dibanding B. Maka, saya harus kasih kue ke siapa dulu?” tanya perempuan yang berprofesi sebagai Konsultan Hukum Waris Islam.

Saya sempat berpikir sejenak. Kemudian beliau melanjutkan, “…yang perlu dikasih kue terlebih dahulu adalah B. Sebab jumlah kue yang akan saya berikan ke A bergantung pada jumlah kue yang diperoleh B.”

Analogi ini yang mengantarkan saya memahami dalam membedakan antara pembagian waris ‘laki-laki dua banding satu perempuan’ dengan ‘laki-laki dua bagian dari perempuan’. Tepat pada ayat tersebut Allah memberikan perhatian, kasih sayang dan keadilan bagi perempuan. Sederhananya begini, harta warisan akan dibagi kepada anak perempuan terlebih dahulu berjumlah sesuai dengan kebutuhannya. Jika dirasa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan, maka diberikanlah harta waris 2 bagian dari perempuan untuk anak laki-laki.

“Perempuan jadi tumpuan besarnya perolehan harta waris laki-laki, karena kekuatan laki-laki berasal dari perempuan,” lanjut Bu Arovah.

‘Sebentar. Bagaimana maksudnya, Bu? Kenapa kekuatan laki-laki berasal dari perempuan?’ gumam saya dalam hati.

Seperti bisa membaca pikiran, belum saya utarakan pertanyaan tadi tapi beliau sudah mulai menjawab. Masih dengan semangat menggebu, beliau menceritakan rahasia-rahasia lain dari relasi antara laki-laki dan perempuan. Menurut penuturanya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa seorang ibu yang melahirkan anak laki-laki, usianya akan berkurang sebanyak 8.6 bulan karena anak laki-laki lebih banyak menyerap kalsium lebih banyak dari ibunya dibandingkan anak perempuan. Oleh sebab itu, seorang ibu yang melahirkan bayi laki-laki akan memiliki ASI yang lebih banyak. Energi seorang anak laki-laki berasal dari ibunya. Menjadi sangat relevan jika kita menghubungkannya dengan konteks birrul walidaiyn, sabda rasul tentang urutan menghormati orang tua mulai dari ibu, ibu, ibu, kemudian bapak.

“Inilah yang disebut equality (mitslu) yang dibarengi dengan proporsionalitas. Sehigga kita harus memahami bahwa perolehan harta waris laki-laki akan tergantung pada perolehan harta waris perempuan. Sementara (yang terjadi sekarang) sebaliknya. Pertanyaannya, kenapa masyarakat tidak begitu dalam untuk memahami hukum waris?”, beliau akhiri dengan kalimat tanya yang memantik saya untuk ikut berpikir.

Obrolan kami beralih ke perkara waris yang juga berhubungan dengan nasab, hal yang sangat penting dalam agama Islam. Nasab akan menjelaskan bagaimana hubungan perwalian, hak, tanggung jawab dan kewajiban seseorang. Pertanggung jawaban perihal penafkahan dan perwalian bertumpu pada nasab. Seorang laki-laki bertanggung jawab atas ibunya, istrinya, dan saudara perempuannya (jika tidak memiliki bapak, tidak mampu, dan belum menikah). Sambil sedikit terkekeh dan guyon, Bu Arofah menyinggung soal hubungan antara mertua dan menantu yang kurang akur akibat kurang memahami perkara birrul walidaiyn.

Aturan waris ini diwasiatkan langsung oleh Allah, pada awal ayat 11 disebutkan yuusikumullah. Artinya perkara ini adalah yang harus, wajib bin kudu kita patuhi. Hukum Allah itu keharusan atau yang kita kenal dengan istilah fardlu yang menempatkan hak-hak Allah maka kita wajib melaksanakannya. Bahkan Imam Hanafi menempatkan fardlu di atas wajib. Hukum waris Islam adalah fariidlotamminallah, oleh karenanya disebut sebagai hukum faroid.

Hukum waris menjelaskan konsep kepemilikan. Dalam hukum waris relasi yang terbentuk adalah segitiga. Ada pewaris, kemudian jika pewaris wafat, maka hartanya akan beralih ke ahli waris. Jadi, kita sebetulnya bukanlah pemilik harta, kita hanya pengguna. Pemilik yang mutlak adalah Allah SWT. Segala apapun yang kita miliki saat ini sejatinya bukan milik kita, melainkan titipan yang sewaktu-waktu dikembalikan kepada pemilik yang sesungguhnya. Inilah alasan hukum waris adalah fardlu. Pada hakikatnya harta milik Allah, maka pembagiannya pun Allah yang berhak mengatur. Allah mengikis kesombongan-kesombongan dengan mengatakan innallaha ‘aliman hakima (sesunngguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana) pada akhir ayat.

‘’Kenapa Allah mengatakan itu? Karena kita sok tahu. Kita bilang dua banding satu padahal sebetulnya tidak begitu. Allah telah menciptakan hukum sedemikian rupa, terstruktur, sistemik, dan futuristik, hanya saja kita yang kurang mampu memahami ‘pemikiran’ Allah,’’ jelasnya.

Sebuah kesimpulan yang bisa menjawab pertanyaan “Kenapa masih ada yang menganggap agama Islam mengeliminasi perempuan?

Islam hadir membawa gagasan pembebasan dan pemuliaan perempuan, namun seiring perkembangan zaman dan perang pemikiran, Islam sering diperdebatkan dan bercampur dengan pemikiran barat yang liberal. Islam sudah sempurna, kita yang tidak sempurna dan kurang mendalami Islam. Padahal dengan menyelami Islam, kita akan menemukan kemuliaan. Dengan menyelami Islam, kita juga akan menemukan kemuliaan perempuan.

Tidak terasa, janji meminta waktu 15 menit menjadi 45 menit. Saya harus mengakhiri obrolan menarik ini karena beberapa mahasiswi sedang antri bertemu dosen yang berkiprah di UMJ sejak 1984 ini. Namun, saya bahagia, karena beliau berjanji akan ada lagi kajian menarik masih dalam tema perempuan yang akan dibagikan oleh Dr. Fal. Arovah Windiani, SH.M.Hum.

(Wawancara Eksklusif dengan Dr. Fal. Arovah Windiani, SH.M.Hum.)

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/