Kartini Masa Kini dan Polemik di Media Sosial

(Ilustrasi : KSU/Fachrul Rozi)

Pergerakan perempuan pada dasarnya lahir sebagai wujud keinginan untuk membangun kesetaraan dengan pria yang dirasakan terlalu dominan menguasai kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dari sejarah, maka gerakan perempuan pada dasarnya sebagai jawaban atas kegelisahan yang muncul dikarenakan adanya ketimpangan yang menempatkan perempuan terisolasi untuk mengembangkan potensinya secara maksimal (Mahmudah, 1995 : 31).

Seiring perkembangan zaman, hak-hak perempuan sudah semakin baik berkat perjuangan di masyarakat secara langsung maupun di media sosial. Namun disela-sela proses pergerakan perempuan masa kini (melalui media sosial), timbul persoalan yaitu perempuan lain yang mudah menghakimi sesama perempuan dan adanya standar perempuan cantik dan ideal yang diciptakan di media sosial sehingga memerlukan interpretasi ulang terhadap emansipasi perempuan.

Sejarah hak perempuan di Indonesia dimulai sebelum perjuangan Kartini pada akhir abad ke-19, perempuan bangsawan Nusantara sudah giat memperbaiki kondisi perempuan, meski terbatas di lingkungan mereka. Di Jawa, emansipasi perempuan di kalangan bangsawan mulanya tampak di lingkungan Keraton Pakualaman di Yogyakarta. Para pelopor saat itu prihatin terhadap terbatasnya akses pendidikan perempuan. Di Bandung, Dewi Sartika membuka akses pendidikan untuk perempuan dengan mengepalai sekolah pada 1904. Di Semarang, Kartini membuka Sekolah Kartini pada 1913. Di Manado, Maria Walanda Maramis mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama pada 1918.

Perjuangan hak perempuan Indonesia terus berkembang pesat. Pada 1928, Kongres Perempuan pertama dilaksanakan di Yogyakarta. Kongres tersebut menghasilkan komitmen penting perjuangan perempuan Indonesia: pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan hak memperoleh pendidikan, hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak, dan upaya menghancurkan ketimpangan kesejahteraan sosial melalui perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita (Amnestypedia, 2021).

Berdasarkan sejarah tersebut, Hak Asasi Manusia (HAM) berlaku secara universal untuk semua orang. Artinya, semua orang berhak atas perlindungan hak asasi dan kebebasannya, dalam hal ini khususnya hak perempuan di Indonesia. Sehingga pemenuhan setiap hak juga harus setara untuk semua orang, dan bebas dari diskriminasi.

Kartini di Media Sosial dan Polemiknya

Tulisan ini memposisikan perempuan sebagai Kartini yang paling banyak memanfaatkan internet terutama media sosial, lebih dari setengah pengguna internet di Indonesia berjenis kelamin perempuan. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 51%. Data yang dipaparkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII 2017), presentase pengguna laki-laki sedikit lebih besar (51,43%) dibandingkan perempuan (48,57%), namun perempuan pengguna media sosial justru lebih menonjol, baik sebagai subjek maupun objek.

Wahyudianto (2011 : 6-7) menggambarkan perempuan menjadikan media sosial sebagai ajang aktualiasasi diri dengan begitu giat dalam menunjukan ekspresinya dalam dunia virtual, mulai dari hal yang remeh hingga hal yang serius, baik dalam menanggapi berita yang ada di sekitarnya, hingga isu internasional melalui akun media sosialnya.

Namun di era teknologi informasi ini, timbul lah polemik mengenai perempuan yaitu perempuan lain yang mudah menghakimi sesama perempuan dan adanya standar perempuan ideal yang diciptakan di media sosial. Menghakimi dan menjatuhkan sesama perempuan membuat perempuan yang dijatuhkan bisa merasa rendah bila terus menerima perilaku buruk dari sesama perempuan. Menjatuhkan sesama perempuan ini disebabkan karena keinginan ego yang menjadi nomor satu, sehingga harus menyeret perempuan lainnya turun ke bawah dari dirinya, hanya demi terlihat lebih baik atau lebih menarik di mata orang lain.

Perihal adanya standar perempuan cantik dan ideal yang diciptakan di media sosial, streotype terkait standar kecantikan ini sedikit banyak terdapat campur tangan media yang mengkonstruksikan bahwa cantik harus ini harus itu. Hal ini berkaitan dengan teori konstruksi sosial media massa yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, mereka menjelaskan bahwa hakikatnya, realitas sosial dibentuk dan dikonstruksi manusia.

Media sosial selalu memperlihatkan gambaran kecantikan melalui visual iklan. Hal tersebut membentuk pemikiran masyarakat tentang standar kecantikan sehingga banyak perempuan yang rela melakukan apapun agar sesuai dengan deskripsi kecantikan ideal. Semua itu dilakukan agar memenuhi standar kecantikan yang selama ini dikonstruksikan di media sosial dan sebagai upaya agar tidak terpojokkan karena tidak sesuai dengan konsep kecantikan ideal dan hal ini juga menjadi penyebab emansipasi perempuan terkikis.

Interpretasi Ulang Emansipasi Perempuan dalam Menyikapi Polemik di Media Sosial

Emansipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sedangkan emansipasi wanita/perempuan berarti proses pelepasan diri para perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.

Berdasarkan pengertian di atas, perempuan tidak ingin membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju sehingga apabila sesama perempuan saling menghakimi di media sosial, tentu sudah menyimpang dari esensi emansipasi perempuan tersebut. Apabila sesama perempuan saling menjatuhkan, menjelekkan, dan melarang mengeluarkan pendapat, maka hal ini termasuk melanggar HAM yang diatur oleh Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  Pasal 28E ayat (3) yang jelas menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Berkaitan dengan adanya standar perempuan cantik dan ideal yang diciptakan di media sosial. Interpretasi emansipasi perempuan menyatakan bahwasannya perempuan itu harus meningkatkan nilai diri sendiri dengan pengakuan hak asasi dan pengakuan intelektualnya, bukan tentang pengakuan fisik (cantik dan ideal) di media sosial.

Mengingat perjuangan Kartini, seharusnya perempuan menjaga marwah dengan baik. Menjaga fisik itu bagus, tetapi tidak dengan standar yang diciptakan di media sosial yang memberikan dampak negatif merendahkan diri sendiri (insecure). Sebagai contoh konkret implementasi emansipasi perempuan dalam perjuangan sesama perempuan yaitu mengawal Rancangan Undang- Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sampai berhasil disahkan pada tanggal 12 April 2022 oleh DPR RI.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa sejarah hak perempuan di Indonesia menyatakan HAM berlaku secara universal untuk semua orang, khususnya hak perempuan di Indonesia. Sehingga pemenuhan setiap hak juga harus setara untuk semua orang, dan bebas dari diskriminasi.

Kartini hari ini dihadapkan oleh polemik di media sosial yaitu perempuan saling menjatuhkan sesama perempuan yang disebabkan karena keinginan ego yang menjadi nomor satu, sehingga harus menyeret perempuan lainnya turun ke bawah dari dirinya, hanya demi terlihat lebih baik di mata orang lain. Sedangkan polemik standar perempuan cantik dan ideal yang diciptakan di media sosial disebabkan karena media sosial memperlihatkan gambaran kecantikan melalui visual iklan. Hal tersebut membentuk pemikiran masyarakat tentang standar kecantikan sehingga banyak perempuan yang rela melakukan apapun agar sesuai dengan deskripsi kecantikan ideal.

Interpretasi emansipasi perempuan menyatakan bahwasannya perempuan itu harus meningkatkan nilai diri sendiri dengan pengakuan hak asasi dan pengakuan intelektualnya, bukan tentang pengakuan fisik (cantik dan ideal) di media sosial yang berdampak negatif.

(Tulisan ini adalah Pemenang Juara II Lomba Menulis Opini & Feature dengan tema Kartini yang diselenggarakan oleh UMJ)

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/