Kajian Keislaman di Perguruan Tinggi Harus Membumi

opini kajian keislaman di perguruan tinggi

Maraknya kajian Keislaman di Perguruan Tinggi harus terus diarahkan untuk membumikan nilai-nilai Keislaman di Indonesia karena Islam adalah salah satu sumber nilai pembentukan hukum nasional di Indonesia. Sebagai sumber nilai, keberadaannya harus betul-betul dimanfaatkan untuk penguatan Indonesia di segala dimensi kehidupan.

Pandangan tersebut menghadirkan hipotesa bahwa nilai-nilai Keislaman harus sejalan dengan nilai-nilai keindonesiaan. Bagi Islam, hal tersebut tak jadi masalah, karena Islam melahirkan kebudayaan setelah terakulturasi dengan kebudayaan lokal. Sehingga antara Islam dan budaya lokal menyatu menjadi kebudayaan Islam sesuai dengan tempat masing-masing Islam datang. 

Baca Juga : Diaspora Politik Muhammadiyah

Apa yang Penulis ungkap, sejalan dengan pandangan M. Quraish Shihab (2019:3) bahwa kala Nabi Muhammad menyampaikan Islam pertama kali dengan melakukan dua hal, yaitu mengukuhkan ma’ruf (budaya positif masyarakat) yang tak bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qur’an (ajaran Islam) dan melarang budaya menyimpang (munkar). Hal tersebut dilakukan, ketika Islam bersentuhan dengan budaya masyarakat lokal di Mekkah dan Madinah.

Bila konteksnya di Indonesia, tentu lokalitas kebudayaan tak boleh bertentangan dengan maqashid syariah sebagai ruh dari nilai Keislaman sehingga integrasi Islam dan lokalitas makin menguatkan Islam di negara kesatuan republik Indonesia. Dengan demikian, rasa-rasanya untuk menghadirkan negara yang penuh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan, akan benar-benar bisa terwujud.

Memahami Teks dan Konteks

Teks keislaman merupakan landasan utama kajian Keislaman. Maka, pemahaman akan Teks keislaman sangat dibutuhkan bagi para pengkaji Islam, baik Teks keislaman asli ataupun yang telah terintegrasi dengan keilmuan lain. Karena dari teks itulah kita akan mendapatkan informasi terkait nilai-nilai keislaman—baik dalam bentuk tauhied, syariat, dan akhlak.

Dalam mengkaji teks, pengkaji Islam harus benar-benar memahami akan teks tersebut, mulai dari apa maksud teks tersebut, siapa yang dituju, hingga melakukan penafsiran, dan bahkan mungkin yang tak kalah pentingnya ialah konteks teks tersebut dengan kondisi saat ini. Sehingga pengkaji Islam akan paham keterkaitan teks dan konteks yang sedang terjadi saat ini.

Dengan kata lain, pengkaji Islam harus bisa memahami esensi teks dan signifikansi konteks dalam kehidupan kontemporer. Hal tersebut sebagai upaya agar nilai-nilai teks yang terkodifikasi ratusan tahun silam, tetap relevan dengan konteks yang sedang terjadi. Sehingga teks tidak hanya menggaung di ruang hampa, akan tetapi benar-benar membumi dalam kehidupan sehari-hari.

Terkait hal tersebut, tentu sangat menarik kalau kita coba korelasikan dengan teks yang menjadi sumber rujukan utama Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadist. Keberadaannya sebagai teks rujukan utama ajaran Islam, tak akan mengalami penambahan hingga kiamat. Akan tetapi, peristiwa demi peristiwa baru konteks kehidupan akan terus bermunculan hingga akhir kiamat.

Bahkan mungkin peristiwa baru tersebut pada saat teks turun belum pernah terjadi. Walaupun demikian, peristiwa baru tersebut sebagai sebuah perkembangan yang terjadi dari proses alamiah di muka bumi, membutuhkan validasi agama—apakah keberadaannya dibolehkan (halal) atau malah dilarang (haram).

Dengan demikian, terbatasnya teks dan konteks yang tak terbatas, membutuhkan kejelian seorang pengkaji Islam yang mampu melihat esensi setiap teks untuk diintegrasikan ke dalam konteks yang sedang terjadi saat ini. Hal tersebut sebagai upaya menjaga agar keberadaan teks tetap segar dalam konteks kehidupan kontemporer.

Sebagai contoh, pada saat al-Qur’an turun di Arab kepada Nabi Muhammad Saw, praktik fintech yang saat ini sedang menjamur, barang tentu belum ada. Walaupun pada saat itu belum ada, tetapi para pengkaji Islam saat ini sudah bisa melihat terkait status hukum aktivitas bisnis fintech tersebut. Karena, aktivitas fintech ini bagian dari aktivitas muamalah—yang barang tentu nabi telah mengajarkan nilai-nilai yang ada di dalam aktivitas muamalah.

Maka, pengkaji Islam tinggal menarik nilai-nilai muamalah apa saja yang bisa memberikan justifikasi terkait halal atau haramnya praktik fintech yang ada pada saat ini. Nilai-nilai tersebut ialah nilai syarat dan rukun pada setiap akad atau transaksi bisnis, seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad.

Bila nilai-nilai syarat dan rukun akad terpenuhi dalam aktivitas bisnis fintech, maka keberadaannya menjadi halal atau memenuhi prinsip syariah. Sehingga boleh digunakan oleh umat Islam. Pun sebaliknya, bila syarat dan rukun akad tak terpenuhi di dalamnya, maka hal tersebut diharamkan. Karena diharamkan, maka tidak boleh untuk digunakan.      


Teks dan Konteks Keindonesiaan

Pengkaji Islam di Perguruan Tinggi harus memiliki pemahaman yang kuat akan teks. Karena, dari teks itulah nilai-nilai keislaman bersumber. Selain memiliki pemahaman yang kuat akan teks, juga harus paham konteks dalam kehidupan kontemporer—khususnya konteks keindonesiaan. Karena, kebudayaan di Indonesia sebagai konteks yang bisa diintegrasikan dengan nilai keislaman, menjadi modal sosial yang cukup besar untuk memajukan Indonesia ke depannya.

Menurut hemat Penulis, kontekstualisasi teks ke dalam konteks keindonesiaan ini menjadi sangat penting untuk dipahami, agar kajian keislaman yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi tidak hanya menjadi kajian yang absurd—mengawang-awang di ruang hampa dan tak membumi di ruang privat dan publik. Padahal, masyarakat muslim Indonesia membutuhkan hasil kajian keislaman yang relevan dengan konteks yang terjadi pada saat ini.

Karena, menurut Bahtiar Effendy (2009: 16) keberadaan agama tidak hanya mendakwahkan nilai-nilai yang berkaitan dengan soal kesalehan ataupun keselamatan individual (individual piety and salvation), tetapi juga membicarakan hal tersebut dalam konteks komunitas, suku, dan bangsa. Maka dari itu, keberadaan agama secara sosiologis dipahami sebagai instrumen Ilahiah untuk melihat dan memahami dunia, yaitu sebagai petunjuk bagi manusia untuk hidup di dunia.

Dari itu, maka setiap pengkaji Islam di Perguruan Tinggi harus bisa memiliki pemahaman bahwa teks keagamaan harus bisa menyapa kehidupan manusia sebagai konteks. Dengan demikian, kajian keislaman di perguruan tinggi harus mencerminkan integrasi teks dan konteks keindonesiaan yang membumi dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Hal tersebut sebagai upaya, agar keberadaan kajian keislaman di Perguruan Tinggi tidak hanya asyik dengan kajian keislaman yang tak memiliki keterkaitan sama sekali dengan kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, kajian keislaman harus diintegrasikan dengan kajian ilmu umum seperti ketatanegaraan, politik, sosiologi, ekonomi, bisnis, pendidikan dan keilmuan modern lainnya.

Integrasi kajian keislaman dengan ilmu-ilmu modern tersebut harus benar-benar masuk ke dalam aktivitas keilmuan di kampus, mulai dari aktivitas pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dalam konteks kehidupan di negara kesatuan republik Indonesia.

Keberadaan kajian keislaman seperti itu, sebagai upaya agar memberikan sumbangsih nyata untuk kehidupan Indonesia. Sehingga semakin banyak dan berkembang kajian keislaman yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi, akan semakin memberikan penguatan untuk Indonesia ke depannya.  

      

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/