Gelap yang Tidak Kunjung Terang

(Ilustrasi : KSU/Fachrul Rozi)

“Dominasi, dominasi lagi-lagi laki-laki, dominasi, dominasi hegemoni kaum patriarki” – Cuplikan sebuah lirik lagu Agni, Tashoora. Sepenggal kalimat di lirik tersebut masih menjadi sebuah kenyataan dalam realitas saat ini. Pelbagai persoalan yang terjadi saat ini di tengah-tengah masyarakat, masih menempatkan perempuan dalam tempat yang rentan. Perburuan tentang makna sesungguhnya peran dan fungsi perempuan dalam sosial-masyarakat terus berada dalam lingkaran perdebatan. Perempuan masih menapaki gelapnya beban perdebatan yang terus bergulir. Perempuan menjelma dengan diskursus politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama. Jejak-jejak perempuan di masa lalu terjejali represi koloni yang mempunyai otoritas tertinggi dalam menentukan posisi perempuan dalam sosial-masyarakat. Masyarakat dijejali dengan pengetahuan yang berulang bagaimana perempuan harus hidup dalam lingkungan sosial-masyarakat.

18 abad yang lalu, Marry Wollstonecraft di Barat memulai perdebatan itu. Tulisan yang berjudul The Vindication of the Rights of Woman, menggugah kepentingan dan keinginan perempuan dalam pendidikan ataupun politik. Kesetaraan pada saat itu menjadi sebuah komoditi utama yang lepas dari bagian kaum perempuan. Perdebatan itu melahirkan sebuah gerakan yang dinamakan feminisme. Perempuan cenderung ditempatkan pada posisi tawar yang lemah mengenai peran dan fungsinya dalam masyarakat. Pergulatan yang terjadi di masyarakat, dominasi perempuan harus berada di kelas dua atau bawah. Batasan-batasan mengenai peran dan fungsi perempuan cenderung terjadi akibat dari konstruksi sosial yang terbangun di masyarakat. Terlebih lagi menjadi sebuah perdebatan yang rumit dan intens jika agama ikut larut dalam menjelaskan peran dan fungsi perempuan dalam sosial-masyarakat.

Islam, memandang peran dan fungsi perempuan dalam konstruksi sosial yang ideal. Perempuan tidak hanya bergulat dalam urusan domestik saja. Islam memandang perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang setara dalam konteks peran dan fungsi dalam sosial-masyarakat. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan terletak pada kodratinya yang mengacu kepada latar belakang seksualnya sebagai manusia. Salah satu sejarah yang dapat menggugah perdebatan tentang peran dan fungsi perempuan yaitu kisah Aisyah ra. Pada saat itu, Aisyah memimpin sebuah perang yang dikenal dengan perang jamal. Jika melihat cerita tersebut, seharusnya membuat perdebatan semakin sengit dan membuka lembaran baru mengenai konstruksi peran perempuan dalam realitas sosial.

Pandangan Islam terhadap peran dan fungsi perempuan tergambarkan dalam penuturan riwayat yang disampaikan oleh Aisyah ra. Secara fundamental, Islam sangat menjunjung tinggi derajat perempuan. Penuturan langsung al Quran, Hadist, Tafsir, dan cerita-cerita tidak terbungkus hanya kepada penjelasannya, tetapi membentuk realitas sosial-masyarakat. Realitas sosial-masyarakat menempatkan pemahaman peran dan fungsi perempuan kepada keadaan mutlak yang berulang. Perkembangan pemahaman terus berbenturan jika realitas perubahan sosial itu cenderung stagnan. Penempatan perempuan kepada kondisi yang rentan dalam masyarakat bukan berasal dari agama, melainkan konstruksi sosial yang dibentuk. Pemahaman yang terjadi tidak berbanding terbalik dengan keadaan realitas sosial. Keadaan itu tidak mencerminkan keinginan perbedaan, tapi pembedaan inilah yang disebut dengan partiarki.

Berganti menyelami sejarah Indonesia, kita mempunyai cerita panjang mengenai peran dan fungsi perempuan dalam masyarakat. Sudah lebih dari satu abad sejak kumpulan tulisan “Habis Gelap Terbitlah Terang” muncul ke permukaan. Kumpulan tulisan itu dibuat oleh seseorang perempuan bernama R.A Kartini. Lalu, kumpulan tulisan itu dibuat menjadi sebuah buku oleh sahabat penanya bernama, JH Abendanon. Setelah tulisan itu muncul, ia menjadi sosok tokoh utama yang membangkitkan perdebatan tentang hak-hak perempuan dalam sejarah Indonesia. Dalam suratnya, ia mengkritik keadaan sosial-masyarakat yang terjebak dalam sistem feodalisme dan kolonialisme. Sepucuk surat untuk Estelle H Zeenhandelaar, menegaskan perjuangannya terhadap hak-hak perempuan, “Bukan hanya suara dari luar, dari Eropa yang masuk ke dalam hati saya, yang membuat saya menginginkan perubahan keadaan saat ini. Jauh semenjak saya kanak-kanak, ketika kata emansipasi belum ada bunyinya, belum ada artinya buat saya, tulisan dan karangan tentang hal itu jauh dari jangkauan saya, muncul dari dalam diri saya keinginan yang makin lama makin kuat, yaitu keinginan akan kebebasan, kemerdekaan, dan berdiri sendiri. Kemudian, keadaan yang berlangsung di sekitar saya yang mematahkan hati dan membuat saya menangis, membangkitkan kembali keinginan itu”.

Pada saat itu, aturan-aturan sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan, salah satunya adalah persoalan pendidikan. Kecenderungan untuk melihat posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan menjadi sebuah realitas yang menjadi konstruksi pemahaman di masyarakat adanya perbedaan dalam mendapatkan akses khususnya dalam pendidikan. Tidak hanya itu, kaum tradisional konservatif cenderung melihat realitas sosial yang melingkari perempuan sebagai sesuatu yang dianggap kodrati. Cengkraman tradisi juga menghinggapi realitas yang terjadi, objektifikasi terhadap peran dan fungsi sangat menempatkan perempuan dalam keadaan rentan. Hak-haknya sangat ditentukan oleh tradisi dan patriarki. Keadaan yang membelenggu tersebut ia tetap berjuang meskipun berjuang menentang arus budaya feodalisme dan kolonialisme. Kini, kita merayakannya sosok Kartini yang meletakan fondasi bagi bangsa Indonesia terahadap kesetaraan perempuan dalam fungsi dan perannya di masyarakat.

Tentu saja, Kartini belum melihat bagaimana tulisannya sangat berpengaruh terhadap perjuangan kesetaraan peran dan fungsi perempuan dalam sosial-masyarakat. Kita juga tidak sempat memperlihatkan bagaimana perkembangan perjuangannya untuk menuntut kesetaraan, salah satunya adalah dalam pendidikan. Namun, perempuan tidak pernah berhenti bergelut dengan persoalan kesetaraan. Tidak habis dengan istilah subordinasi, diskriminasi, domestikasi, dan patriarki di masyarakat. Penuh sesaknya perdebatan peran dan fungsi perempuan yang belum selesai di dalam sosial-masyarakat. Kini perempuan menghadapi pergeseran realitas dalam tindak kekerasan perempuan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 338. 496 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2021. Angka ini meningkat sekitar 50% dari laporan tahun 2020 yang berjumlah 226. 062 kasus. – data tersebut berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan. Realitas yang ada saat ini membuka ruang perdebatan baru tentang kerentanan perempuan dalam relasinya di masyarakat ataupun relasinya dengan laki-laki. Keadaan itu seolah-olah tidak habis untuk membicarakan perempuan sebagai ruang diskursus. Teks-teks yang berkembang tentang kesetaraan dan perlindungan terhadap perempuan perlu dibaca dengan kesadaran penuh dalam realitas yang ada pada saat ini. Pemahaman dan keadaan realitas perlu sesuai untuk membentuk konstruksi sosial masyarakat yang ideal.  Masyarakat tunduk kepada kekuatan kultural dan struktural. Kultural, ketidakubahan posisi peran ataupun fungsi perempuan itu berasal dari budaya dan pemahaman kodrati moralitas atau hukum kebudayaan. Sehingga, perlu adanya pemahaman baru yang tidak untuk membenturkan tetapi, membuat kesadaran baru di masyarakat. Kemudian, dalam segi struktural masyarakat tunduk kepada produk hukum formal. Perlunya membuat sebuah produk hukum yang menempatkan kepedulian terhadap hak asasi manusia di dalamnya.

RUU TPKS (Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) sejatinya menjadi salah satu contoh komitmen pembentukan produk hukum formal yang menempatkan kepedulian terhadap hak asasi manusia, setelah tulisan ini terbit RUU TPKS mungkin sudah ditetapkan menjadi undang-undang. Pergeseran realitas yang terjadi saat ini terhadap perempuan, penting untuk tidak mengabaikannya sebagai sebuah masalah biasa. Keberlangsungan keadaan masyarakat di masa depan harus dipastikan bahwa perempuan tidak menanggung beban perdebatan yang panjang. Produk hukum yang ada tidak hanya banyak secara kuantitas tetapi perlu kualitas yang benar-benar melindungi. Mungkin, kita memang belum selesai mengakhiri perdebatan tentang peran dan fungsi perempuan hingga kini. Apalagi, saat ini membawanya kepada pergeseran realitas bahwa perempuan harus menghadapi tindak kekerasan. Namun, proses panjang ini harus terus diupayakan dan menitikberatkan keadilan terhadap manusia. Selamat hari kartini, kita masih dalam gelap yang tidak kunjung terang.

(Tulisan ini adalah Pemenang Juara I Lomba Menulis Opini & Feature dengan tema Kartini yang diselenggarakan oleh UMJ)

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/