LPP-AIK UMJ Ingatkan Sifat Sombong Melalui Surah Muhammad Ayat 20

Oleh :
Mutiara Halimatu's Sadiyah
Kajian rutin LPP-AIK UMJ
Wakil Rektor IV, Dr. Septa Candra, M.H (kanan), dan ketua LPP-AIK UMJ, Drs. Fakhurazi, MA. (kiri) dalam acara kajian rutin Jumat LPP-AIK UMJ, di Masjid At-Taqwa UMJ, Jum’at, (04/08/2023).

Surah Muhammad ayat 20 hingga 28 menjadi topik utama dalam pengajian yang diadakan oleh Lembaga Pengkaji dan Penerapan Al-Islam dan Kemuhammadiayahan (LPP-AIK) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jum’at, (04/08/2023). Kajian ini merupakan program yang digelar rutin setiap hari Jumat di Masjid At-Taqwa UMJ.

Surah ini mengajarkan manusia untuk berlaku rendah hati dan tidak takabur serta meyakini segala keputusan Allah Swt. Ketua LPPAIK UMJ, Drs. Fakhurazi, MA., menjelaskan ayat 20 yang bercerita ketika suatu kaum mempertanyakan mengapa Allah swt. tidak menurunkan ayat tentang kewajiban berjihad di medan perang.

Baca Juga : Kajian Rutin Jumat, LPPAIK UMJ Angkat Tema Konsepsi Hukum Pidana Islam

Kemudian jawaban atas pertanyaan kaum tersebut Allah jawab pada ayat selanjutnya. Pada ayat tersebut Allah mengatakan bahwa apabila diturunkan ayat tentang kewajiban berperang maka kaum tersebut tidak akan menyukainya. Fakhrurazi menyebut bahwa ini adalah contoh kaum yang sombong dan takabur karena meminta kewajiban di luar batas kemampuan.

“Orang kafir itu ada 3 bentuknya. Pertama, orang kafir yang sebenar-benarnya kafir, yang tidak mengimani Allah Swt. sejak lahir hingga wafat. Kedua, orang islam yang tidak taat kepada perintah Allah Swt. Ketiga, orang yang kufur nikmat, yaitu orang yang mendapat rezeki dari Allah Swt. namun tidak bersyukur,” ujar Fakhurazi.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Rektor IV UMJ Dr. Septa Candra, M.H., yang membidangi AIK menambahkan penjelasan dari Ketua LPP AIK UMJ bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat takabur. Menurutnya manusia suka meminta yang lebih pada Allah, sementara Allah mengetahui batas kemampuan hambaNya.

“ Dengan diturunkannya ayat peperangan, maka hal itu menjadi fardhu’ain dan akan dosa bila tidak dikerjakan. Padahal, jihad bukan hanya tentang perang. Kita melawan hawa nafsu ketika berpuasa juga termasuk jihad,” tutur Septa.

Lebih lanjut, Septa menghubungkan ayat ini pada kehidupan nyata di mana kekuasaan kerap menjadi hal yang diinginkan manusia meski di luar kapasitas kemampuannya. Kemudian, setelah berhasil mendapat kekuasaan, manusia akan sombong dan takabur.

“Jangan sampai saat kita sudah memiliki kekuasaan, hubungan kita menjadi renggang dengan saudara kita. Sejatinya kekuasaan adalah amanah. Surah ini menjadi renungan untuk kita, bahwa setiap perbuatan ada pertanggung jawaban,” ungkap Septa.

Editor: Dinar Meidiana