LPP-AIK UMJ Ingatkan Kewajiban Umat Muslim Terhadap Jenazah

Oleh :
Nadiva Rahma
LPP-AIK UMJ Ingatkan Kewajiban Umat Muslim Terhadap Jenazah
Wakil Ketua MTT, Nur Fajri Romadhon, M.A. (Kiri) Dekan FAI UMJ, Dr. Sopa, M.Ag., (Kanan) dalam acara kajian rutin Jumat LPP-AIK UMJ, di Masjid At-Taqwa UMJ, Jumat, (24/11/2023). (Foto : KSU/Nadiva Rahma)

Ketika diantara kaum muslim meninggal dunia, maka kewajiban bagi seorang muslim terhadap jenazah adalah memandikan, mengafani, menshalatkan, dan mengubur. Dalam hal ini, yang menjadi topik utama dalam Halaqah Tarjih yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian dan Penerapan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LPP -AIK) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) adalah Pelaksanaan Salat Gaib Bagi Jenazah yang Tidak Ditemukan/Hilang, di Masjid At-Taqwa UMJ, Jumat, (24/11/2023).

Baca juga : Dukung Palestina, LPP AIK UMJ Gelar Kajian Integrasi Ilmu

“Menshalatkan jenazah itu tugas kita. Bukan tugas ustaz, bukan tugas kyai. Jadi kalau ada jenazah ditelantarkan, yang dosa adalah yang masih hidup,” ungkap Dr. Sopa, M.Ag., Dekan FAI UMJ, yang hadir sebagai narasumber.

Sebagaimana disebutkan dalam HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, barang siapa yang mengurus jenazah sampai menshalatkannya, maka baginya pahala sebesar satu gunung emas. Sementara bagi seorang muslim yang mengurus jenazah hingga menguburkannya, maka pahala baginya sebesar dua gunung emas.

Pertama kali Nabi disarankan untuk melaksanakan shalat gaib adalah ketika wafatnya raja Najasyi dari Habasyah. Pada masa itu, Nabi Muhammad SAW mengajak para sahabatnya pergi ke Musholla untuk melakukan shalat gaib. Kisah tersebut dikategorikan sebagai hadist fi’liyah, yaitu hadis yang berisi perbuatan Nabi Muhammad SAW.

Melalui hadist tersebut, para ulama menyimpulkan tiga pendapat berbeda. Pertama Mazhab Imam Syafi’i dan Ahmad, mengatakan bahwa shalat gaib adalah Masyru’, yaitu disyariatkan dan hukumnya sunnah yang berlaku secara umum. Pendapat kedua, dari Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa shalat gaib berlaku khusus bagi jenazah raja Najasyi.

Sementara pendapat ketiga, menurut pendapat ulama besar Ibnu Taimiyah bahwa shalat gaib disyariatkan, tetapi hanya diperuntukkan bagi seorang muslim yang meninggal di suatu daerah yang tidak ada orang yang menshalatkannya.

Dari ketiga pendapat tersebut, Sopa mengatakan bahwa Muhammadiyah cenderung kepada pendapat Ibnu Taimiyah, meskipun belum ada keputusan terkait hal tersebut.  

“Pendapat Muhammadiyah tahun 2019, lebih pas mengikuti pendapat Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad. Kemudian pada tahun 2020, masalah shalat gaib dibawa pada Musyawarah Nasional Tarjih dan tidak juga menghasilkan keputusan. Kemudian tahun 2021, jawaban dari majelis tarjih yang dimuat dalam suara Muhammadiyah tahun 2022 ternyata jawabannya lebih dekat kepada pendapat Ibnu Taimiyah,” tutur Sopa.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua III Muhammadiyah, Majelis, dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta, Nur Fajri Romadhon, M.A., sebagai narasumber kedua, menambahkan bahwa shalat gaib adalah shalat jenazah yang dilakukan ketika jenazah tidak berada di depan orang yang menyalatkannya atau ia sedang berada di tempat lain.

“MTT PP Muhammadiyah membedakan antara shalat jenazah di atas makam dengan shalat gaib di atas mayyit di tempat jauh. Yang pertama disyariatkan sekalipun sudah ada yang menyalati, sementara yang kedua baru disyariatkan jika belum ada yang menshalatinya,” Pungkas Nur Fajri.

Kajian Jumat ini merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh LPPAIK UMJ dan diikuti oleh segenap sivitas akademika UMJ. Kegiatan ini dilaksanakan untuk saling berbagi ilmu dengan mentadaburi ayat-ayat Al-Qur’an sebagai bahan kajian.

Editor : Dian Fauzalia

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/