Karakteristik Narapidana Paham Radikalisme

Oleh :
Kholifatul Husna
Prof. Imtiaz Ahmed Direktur pusat studi genosida Universitas Dhaka menyampaikan kondisi Bangladesh dalam menangani kasus ekstremism bertempat Ruang Rapat lt. 2 FISIP UMJ, pada Kamis (8/12).

Keberadaan napi teroris memberikan permasalahan tersendiri bagi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Hal tersebut dikarenakan narapidana teroris memiliki karakteristik yang berbeda dengan narapidana pada umumnya. Narapidana teroris cenderung tidak mau berbaur dan tidak kooperatif dengan petugas dan berpotensi menyebarkan paham radikalisme ke narapidana lainnya atau bahkan kepada petugas pemasyarakatan.

Oleh sebab itu, pembinaan terhadap narapidana teroris harus mendapatkan perlakuan yang bersifat khusus, dalam arti bahwa perlakuan terhadap narapidana kasus terorisme tidak dapat disamakan dengan perlakuan narapidana kasus lainnya.

Laboratory of Indonesia and Global Studies (LIGS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) berkolaborasi dengan Universitas Dhaka mengadakan seminar “Challenges of Violent Extremism Offenders in Indonesia and Bangladesh” di FISIP UMJ, Kamis (8/12). Acara tersebut menghadirkan Direktur Pusat Studi Genosida Universitas Dhaka, Prof. Imtiaz Ahmed dan Direktur LIGS FISIP UMJ, Debbie Affianty, M.Si. sebagai pembicara.

Debbie mengatakan bahwa narapidana terorisme di Indonesia memiliki tiga kategori yaitu laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan anak-anak. Dalam hal ini, aksi teroris yang dilakukan oleh narapidana anak-anak biasanya dilakukan atas kemauan sendiri dengan mengikuti komunitas terorisme atau memang diikutsertakan oleh orang tua mereka.

Sementara itu, pelaku terorisme perempuan sebelumnya jarang melakukan aksi secara langsung. Berbeda dengan saat ini, pelaku teroris mayoritas adalah seorang perempuan. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Debbie saat diwawancarai bahwa perlakuan dalam lapas narapidana teroris antara laki-laki, perempuan, dan anak-anak berbeda. Lapas anak (LPKA), lapas perempuan (LPP), dan lapas laki-laki dewasa.

Perlu diketahui, sistem di dalam lapas untuk narapidana juga mendapatkan pembinaan baik mandiri secara ekonomi, melepaskan diri dari jaringan terorisme pertama, serta setia kepada NKRI. Harapannya sebelum mereka selesai dalam masa tahanan bisa menandatangani kesetiaan pada NKRI.

Debbie juga menjelaskan secara gamblang bahwa proses deradikalisasi dan rehabilitasi untuk narapidana terorisme di Indonesia masih bersifat tidak wajib. Maka dari itu banyak narapidana yang sudah lepas dari masa tahanan melakukan kesalahan yang sama. Hal ini lah yang masih menjadi hambatan sistem lapas di Indonesia.

“Mereka kadang ada yang menolak program-program dari pemerintah seperti wawasan kebangsaan, dan wawasan keagamaan karena mereka masih kukuh dengan ideologinya” jelas Debbie.

Imtiaz sebagai pembicara dalam Brown Bag Seminar pun menjelaskan terkait kasus ekstremisme di Bangladesh sampai saat ini mayoritas pelakunya adalah anak-anak. Sekitar 80% dari mereka yang tertangkap deradikalisasi melalui internet, sementara 20% dipengaruhi teman sebaya. Imtiaz juga mengatakan bahwa murid-murid sekolah umum Bangladesh dan sekolah berperantara bahasa Inggris lebih sering menggunakan internet daripada murid-murid madrasah.

Seringnya mengakses internet dapat menyebabkan lebih tinggi potensi radikalisasi, tetapi jajak pendapat lain membuktikan sebaliknya. Misalnya, jajak pendapat dari Move Foundation, sebuah organisasi nirlaba bermarkas di Bangladesh, menunjukkan bahwa 75% murid madrasah mempunyai akses ke internet melalui ponsel dan komputer tablet mereka. “Instansi pemerintah sudah berhasil melawan aksi-aksi teroris, tetapi ada proses rumit yang menyebabkan radikalisasi dan ekstremisme semakin meningkat,” ungkap Imtiaz.

Prof. Imtiaz Ahmed Direktur pusat studi genosida Universitas Dhaka menyampaikan kondisi Bangladesh dalam menangani kasus ekstremism bertempat Ruang Rapat lt. 2 FISIP UMJ, pada Kamis (8/12).

Diketahui tercatat total 1.173 tersangka utama ditahan sejak tahun 2018-2021. Kemudian, sejak bulan Februari 2022 terdapat 1.031 narapidana (pria, wanita, dan anak-anak) yang berada di lembaga permasyarakatan. Sekitar 40 wanita dinyatakan bersalah sebagai Violent Extremist Organization (VEOs) dan sejak Agustus 2022 terdapat 12 wanita masih di lembaga permasyarakatan baik dalam wilayah Medan, Jakarta, Tangerang, Bandung, Akumuminasa (Kab. Gowa), dan Bandar Lampung.

Laporan Polisi No. 22 tahun 2022 Peraturan Presiden No. 7 tahun 2021 tentang rencana tindak nasional untuk mencegah dan melawan kekerasan membutuhkan program deradikalisasi untuk memperhatikan kebutuhan khusus wanita dan anak-anak yang berada di lembaga permasyarakatan. Hal ini juga sejalan dengan peraturan PBB untuk perawatan tahanan wanitta dan tindakan non-kustof bagi pelanggar hukum wanita.

Maka dari itu, perlu adanya kolaborasi antara LIGS FISIP UMJ dan Universitas Dhaka terkait tantangan pelaku ekstremisme. Harapannya akan terus menjadi program lanjutan baik dalam kolaborasi riset dan publikasi bersama. Debbie selaku dosen FISIP UMJ berharap pada mahasiswa Ilmu Politik agar bisa belajar serta lebih peduli terhadap kasus terorisme khususnya yang ada di Indonesia. (KH/KSU)

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/