Pentingnya Early Warning System dalam Penanggulangan Terorisme

Oleh :
Dinar Meidiana
Debbie Affianty, M.Si., (kiri), menjadi narasumber dalam Indonesia Counter Terrorism and Violent Extremism Update Seri II, Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (09/11).

Perguruan Tinggi perlu menciptakan early warning system untuk mencegah dan memerangi gerakan konservatisme, radikalisme dan dan intoleransi di lingkungan kampus dan masyarakat. Hal tersebut dijelaskan oleh Debbie Affianty, M.Si., Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta dalam kegiatan Indonesia Counter Terrorism and Violent Extremism Update Seri II. Kegiatan diinisiasi oleh Badan Penanggulangan Terorisme Nasional melalui Indonesia Knowledge Hub on Countering Terrorism and Violent Extremism (I-Khub on CT/VE) dan bekerja sama dengan United Nation Development Program, UN Counter Terrorism Center (UNCTC), dan Co-funded by the European Union.

Kegiatan yang diikuti oleh perwakilan kementerian dan perwakilan lembaga ini digelar di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (09/11). Kajian yang membahas isu terkait Spektrum Ancaman Terorisme dan Ekstremisme Berbasis Kekerasan di Indonesia ini juga menghadirkan narasumber dan penanggap yang merupakan akademisi dan praktisi yang ahli di bidang terkait. 

Debbie, berkesempatan menjadi narasumber pada sesi I kajian yang membahas tentang – Ideologi, Konservatisme, dan Intoleransi. Perilaku konservatisme, radikalisme, dan intoleransi muncul karena pengaruh ideologi terorisme yang berkembang. Menurut Debbie, yang juga sebagai Steering Committee Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC), ideologi terorisme ada untuk menggulingkan pemerintahan yang sah untuk mewujudkan pemerintahan yang diimpikan penganutnya. Cara yang dilakukan beragam, bisa dengan bergabung ke lembaga parlemen, hingga aksi berbahaya dengan menggunakan senjata api. 

“Ideologi seperti itu membentuk sikap konservatisme bahwa mereka harus menerapkan apa yang diajarkan oleh ideologi mereka secara murni, tekstual tanpa melihat konteks yang ada,” ungkap Debbie, saat diwawancara melalui sambungan telepon, Jumat (11/11).

Ancaman ideologi terorisme dapat ditanggulangi dengan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat sipil, termasuk instansi pendidikan sebagai bagian dari kontrol sosial. Dari sisi pemerintah, telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021, tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang mengarah pada terorisme. Peraturan mensyaratkan adanya upaya-upaya pencegahan tindakan terorisme sampai di tingkat daerah. 

Di lingkup masyarakat, peran perempuan dan pendakwah perempuan juga efektif dalam memberikan edukasi dan pengaruh pada sesama perempuan untuk tidak mudah percaya terhadap isu atau narasi yang datang. Debbie menyebutnya sebagai sikap kritis atau critical thinking

Tren perilaku konservatisme kekinian dapat dilihat dari adanya sikap tidak menghargai perbedaan dan eksklusivitas kelompok, yang menyebabkan intoleran. Perilaku konservatisme juga muncul di media sosial dan berkembang dalam bentuk informasi termasuk informasi hoax. Terlebih tahun pesta demokrasi yang sebentar lagi akan dihadapi oleh Indonesia harus menjadi perhatian dalam upaya penanggulangan tindakan konservatisme, radikalisme, dan intoleran. 

Sedangkann di sisi institusi pendidikan, Debbie mengatakan bahwa perguruan tinggi termasuk UMJ dapat menciptakan early warning system sebagai tempat pengaduan dalam menyelesaikan gejala dan masalah yang berkaitan dengan ideologi terorisme. Selain itu kegiatan sosialisasi, kampanye, dan kajian baik untuk sivitas akademika kampus dan masyarakat juga perlu dilakukan. 

Menurut pengakuan Debbie, melalui Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS) FISIP UMJ telah melakukan kolaborasi dalam rangka penanggulangan gerakan terorisme. Salah satunya menggelar pelatihan anti hoax bagi aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Jabodetabek. LIGS terlibat dalam penyusunan buku Perspektif Gender dalam Penanganan Terorisme Perempuan. LIGS juga bekerjasama dengan WGWC dan BNPT  dalam beberapa riset terkait dengan istri-istri narapidana teroris dan deportan yang melakukan reintegrasi sosial di Depok. Selain itu, LIGS terlibat dalam penulisan modul untuk penanganan narapidana terorisme perempuan di LPP/lapas perempuan. 

 “Program pencegahan di ranah mahasiswa yang masih harus terus dilakukan. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan mulai dari sosialisasi, kampanye, maupun peace camp,” ungkap Debbie.  
Hal yang tak kalah penting menurut Debbie adalah perlunya mahasiswa memiliki critical thinking, sehingga tidak mudah terpengaruh dan percaya dengan narasi yang muncul. Dengan critical thinking, mahasiswa akan selalu mencari tahu kebenaran dengan dasar ilmiah, termasuk mengamalkan ilmu berdasarkan teks (tekstual) dan sesuai konteks (kontekstual). (DN/KSU)

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/