Prof. Tria: Saya Tidak Mau Lewat Jalan Pintas

Prof. Tria Astika Endah Permatasari, M.K.M. Ketua Badan Penjamin Mutu UMJ dan Dosen Prodi Sarjana Gizi FKK UMJ

Tahun 2023 menjadi tahun bersejarah bagi Universitas Muhammadiyah Jakarta karena melahirkan dua Guru Besar dengan usia termuda di bidangnya masing-masing. Salah satunya, Prof. Tria Astika Endah Permatasari, M.K.M.

Saat ditemui di Ruang Badan Penjamin Mutu (BPM) Lantai 2 Gedung Muhammadiyah Civilization Center, dosen Program Studi Gizi Fakultas Kedokteran dan Kesehatan (FKK) ini mengaku selama berproses menuju Guru Besar adalah waktu yang amat sulit. Guru Besar kelahiran Subang, 06 Agustus 1983 ini juga menjalankan amanah sebagai Ketua Badan Penjamin Mutu (BPM) yang turut bekerja keras untuk mencapai UMJ Unggul pada 2024.

Dorongan terbesar untuk meraih gelar Guru Besar datang dari Sang Ibunda tercinta yang menitikkan air mata haru dan bahagia seusai menyaksikannya Sidang Promosi Doktor beberapa tahun silam. Sejak saat itu, permintaan ibunda dari Prof. Tria hanya satu yaitu melihat anaknya menjadi seorang Guru Besar.

“Ibu saya meminta bukan anak yang banyak harta tapi yang punya ilmu dan derajat yang lebih baik. Derajat itu akan mengangkat kita di mata Allah dan mata manusia. Di situ saya bertanya-tanya maksudnya. Ternyata ibu mau saya jadi orang yang punya ilmu tinggi, yaitu Guru Besar,” kata Prof. Tria.

Doa ibu serta dukungan dari suami dan anak-anaknya kemudian mengantarkan hatinya untuk berusaha mencapai gelar tertinggi ini. Bukan hal mudah, katanya. Terlebih selama mengemban tugas di BPM, Prof. Tria sempat merasa kesulitan membagi waktu dan mulai meragukan kemungkinan bisa meraih Guru Besar. Sejak bertekad untuk menjadi Guru Besar, perasaan dan keyakinan hati sempat mengalami fluktuasi. Namun itu semua bisa dilewati karena selalu melibatkan Allah swt., dalam setiap kejadian dalam hidupnya.

“Saya tidak bisa mendelegasikan tugas menulis kepada orang lain. Banyak cara menuju gelar profesor. Ini kan gelar kehormatan, maka saya mau menghargai gelar itu dengan tidak lewat jalan pintas. Saya mau menghargai diri saya sendiri, orang tua, keluarga, dan orang-orang yang telah memberikan gelar ini, bahwa gelar ini murni karena kerja keras saya,” ungkap Prof. Tria.

Tegas komitmen itu ditanamkan dalam-dalam sejak tekad meraih Guru Besar sudah bulat. Berharap tidak menjadi insan akademik yang mengambil jalan pintas di tengah banyaknya tantangan dan disrupsi dunia pendidikan. Prof. Tria mengaku rela tidur hanya tiga atau empat jam saja dalam sehari agar bisa menghasilkan karya tulis sebagai modal untuk mencapai gelar tertinggi. Kata maaf paling sering diucapkan pada keluarganya karena selama proses itu terlalu bersahabat dengan perangkat laptop.

Perbincangan dengan Prof. Tria sore itu sangat hangat dan sendu karena ia bercerita tentang kekuatan aura positif, doa dan semangat dari Ibu yang membersamai setiap langkah. Tidak ada niat untuk menjadi seorang Guru Besar bahkan menjadi dosen pun tidak terbayang dalam pikirannya. Namun bidang keilmuan yang ditekuni mempertemukannya dengan aktivitas kemasyarakatan yang sangat menarik baginya. Kecintaan pada bidang keilmuannya juga hadir ketika mulai meniti karier sebagai dosen dan peneliti.

“Akhirnya saya menemukan dunia saya,” katanya.

Dosen yang turut dalam pendirian Program Studi Gizi FKK ini sempat mendapat penolakan sebanyak dua kali ketika mengajukan jabatan fungsional Guru Besar. Pertama ketika bukti-bukti untuk mengajukan jabatan fungsional belum lengkap. Kedua, dianggapnya cukup menyakiti hati ialah rentang waktu dari masa doktor ke profesor yang dianggap terlalu singkat oleh peninjau (reviewer).

“Pada saat itu saya berdoa, jika benar (gelar profesor) bukan untuk saya maka tolong lapangkan hati saya. Namun jika untuk saya tolong permudah semuanya. Kemudian, semuanya berjalan seolah Allah menjawab doa saya,” tuturnya.

Audiensi berjalan dengan durasi waktu yang sangat panjang yaitu 2 jam. Menurut pengalamannya mengetahui proses audiensi, umumnya hanya berkisar 10 menit saja. Selama kurang lebih 120 menit itulah tidak ada kata yang terucap dari mulutnya kecuali lantunan doa dan zikir  pada Yang Maha Kuasa. Tidak ada dari reviewer yang dikenal. Hubungan dengan Kepala LLDIKTI Wilayah III pada saat itu yang ikut mengawal audiensi bukanlah hubungan keluarga. Namun, Prof. Tria mengatakan bahwa akhirnya Allah menggerakkan lisan para reviewer dan pihak LLDIKTI untuk menetapkan bahwa pengajuan jabatan fungsional itu dilanjutkan.

“Maka setiap berdoa, saya selalu bilang, ‘Kalau Allah tidak mengizinkan saya, tidak apa-apa. Hanya saja, saya ingin membahagiakan ibu ketika beliau masih hidup.’ Mungkin kita tidak bisa bersaing dengan orang kaya tapi kita bisa memiliki kecerdasan. Itu yg menjadi kebanggaan ibu saya karena merupakan suatu kehormatan menjadi seorang Guru Besar,” katanya dengan mata berbinar.

Audiensi kala itu, katanya, situasinya mirip pertandingan SEA Games cabang olahraga sepak bola di laga final Indonesia melawan Thailand. Gol terakhir yang menentukan kemenangan adalah ucapan reviewer yang menyatakan bahwa kejadian yang dialami Prof. Tria adalah cacat prosedural yang bukan berasal dari kesalahan pihak pengaju. Oleh karenanya hal tersebut tidak dapat menjadi hambatan bagi Prof. Tria untuk melanjutkan pengajuan kenaikan jabatan fungsional.

Prof. Tria yang dahulu bahkan hanya membayangkan dirinya menjadi guru kecil, saat ini menyandang gelar kehormatan Guru Besar. Jangankan menjadi Guru Besar, Prof. Tria malah sempat berpikir panjang ketika ditawari jadi dosen tidak tetap di kampus almamaternya. Menurutnya, cukup jadi ibu rumah tangga saja karena tidak memiliki prestasi gemilang saat kuliah di Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Bukan hanya itu, nilai indeks prestasi pun pernah berada di bawah 3.

Takdir Allah yang disebutnya sebagai puzzle ini kadang tidak bisa dijangkau. Menurutnya, sebagai manusia, salah satu kelemahannya adalah tidak memiliki kemampuan lebih untuk merangkai puzzle itu sendiri melainkan harus dibantu Allah dan orang-orang sekitar yang datang di kehidupannya. Pengalaman pahitnya pernah ditolak Fakultas Kedokteran UI hingga tangisan pecah berhari-hari ternyata mengantarkan dirinya menemukan jalan lain menuju kisah yang lebih manis yaitu Prodi Gizi Kesehatan Masyarakat UI.

Singkat cerita, Prof. Tria melanjutkan kariernya sebagai akademisi dan dosen di UMJ mengikuti jejak dr. Syafri Guricci dan diminta untuk turut dalam rencana pendirian Program Studi Gizi UMJ. Meskipun masih ada dalam dirinya untuk berhenti dari karier dosennya, nyatanya Allah berkehendak lain. Prof. Tria tetap bertahan di UMJ sejak 2007 sampai sekarang membersamai proses perkembangan dan kemajuan UMJ tercinta.

“Ketika mendapat puncak karier tertinggi, bukan lega yang saya dapatkan melainkan muncul perasaan bahwa ini amanah terbesar. Apa kontribusi saya? Jadi itu yang menuntut saya untuk memiliki karya dan prestasi yang lebih baik lagi. Ini adalah awal. Ngapain jadi Guru Besar kalau tidak bermanfaat bagi orang banyak? Tidak berkah dong? Bukti keberkahan itu adalah seberapa besar manfaat kita,” katanya.

Kesibukan yang selama ini dirasakan merupakan keberkahan. Baginya sibuk memiliki makna dan dampak positif. Dengan sibuk, otak akan terlatih berpikir cepat. Sementara apabila bermalasan, terlena dengan waktu luang maka otak tidak akan mendapat kesempatan berlatih berpikir cepat. Oleh karenanya salah satu kunci utama meraih tujuan adalah manajemen waktu.

Guru Besar yang hobi bersepeda ini tidak akan berhenti menyibukkan diri. Ia menargetkan dirinya menghasilkan karya-karya terbaik bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk institusi dan yang paling utama untuk negara Indonesia khususnya masalah gizi. Kemudian sore yang sunyi itu, Prof. Tria berandai-andai. Andai sampai di masa depan, ia ingin dikenal sebagai Guru Besar yang tidak sekadar ahli di bidangnya tapi juga memiliki value sebagai seorang manusia.

“Saya mau dikenal sebagai Guru Besar yang sesuai dengan keilmuan, ahli di bidangnya. Bukan sekadar ahli tetapi juga role model dari segi akhlak karena banyak orang cerdas tapi kurang sabar, tidak santun. Nah, saya berharap, memang tidak ada yang ideal namun saya berusaha bahwa antara intelectual intelligent dan emotional intelligent harus seimbang,” ungkap Prof. Tria menutup obrolan sore.

Editor : Tria Patrianti

 

 

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/