Mengawali karier sebagai pemimpin redaksi majalah dinding (mading) di SMA, Dr. Makroen Sanjaya yang kini duduk sebagai Direktur TV Muhammadiyah telah lalu-lalang puluhan tahun lamanya dari media ke media. Seperti apa pengalaman dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) ini selama menjadi wartawan? Simak kisahnya berikut ini.
Saat berbincang dengan Dr. Makroen belum lama ini, penulis tidak mengajukan banyak pertanyaan namun durasi wawancara jadi lebih panjang karena banyak cerita menarik. Salah satunya cerita saat duduk di bangku SMA dulu Makroen sudah dipercaya jadi pemimpin redaksi mading sekolahnya, lalu melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya (STIKOSA) yang menjadi titik awal kariernya sebagai wartawan dan melupakan cita-cita sebelumnya.
Cita-cita menjadi petinju sewaktu kecil karena gemar menonton Thomas Americo beraksi, urung. Cita-cita jadi polisi pun tak sampai karena tinggi badan yang tidak memenuhi syarat. Cita-cita lainnya menjadi dokter, ikut urung semenjak bakat dan potensinya di bidang tulis menulis muncul dan semakin terasah saat di SMA.
“Bulan pertama masuk SMA, saya diminta guru Bahasa Indonesia menjadi pemimpin redaksi mading sekolah. Mading itu kan kadang ada yang kirim tulisan, kadang tidak ada. Akhirnya kita isi semuanya. Otomatis menulis cerpen, editorial, galeri foto kegiatan sekolah,” kenangnya
Karena suka menulis, kemampuannya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dan mulai mengikuti berbagai perlombaan menulis. Salah satu yang berkesan baginya saat Juara 2 Lomba se-Kabupaten Lamongan yang diselenggarakan oleh Kodim dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.
“Saya menulis tentang kisah heroik KH Amin yang dieksekusi mati Belanda. Saya telusuri jejak riwayat KH Amin, mengunjungi makamnya, dan wawancara keluarganya. Tulisan itu jadi karangan prosa dan dapat Juara 2 se-Kabupaten Lamongan,” tuturnya.
Makroen sangat hobi membaca. Apapun. Dari koran, hingga majalah. Hobi lainnya adalah mendengarkan siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Makroen menyebut nama Harmoko, Menteri Penerangan pada era Soeharto yang juga berprofesi sebagai wartawan, sebagai salah satu orang yang menginspirasi dirinya menjadi wartawan.
Makroen yang kini aktif sebagai Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah (2022-2027) ini menolak saran ayah angkatnya untuk kuliah di IKIP agar jadi guru. Namun ia berhasil meyakinkan ayahnya bahwa wartawan adalah profesi hebat.
Dosen yang juga aktif mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengaku merinding ketika menceritakan ayah angkatnya yang sangat mendorongnya untuk kuliah ketimbang bekerja selepas lulus SMA.
Makroen mengaku melewati hari-hari yang cukup berat karena harus kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya (STIKOSA) sambil bekerja agar dapat membiayai hidup. Selain menulis untuk majalah dan media cetak, Makroen juga sempat bekerja sebagai kuli yang upahnya hanya cukup untuk ongkos dan makan sehari-hari.
Selama 36 tahun menjadi wartawan, Makroen, sudah pernah berkarier di Majalah FAKTA (1988-1990), Harian Pagi SURYA (1990-1996), SM NG Liputan 6 SCTV (1996-2004), Deputy EIC METROTV (2004-2012), TVMu 2013-2014 (Direktur), Deputy EIC RTV (2014-2020), TVMU 2020-Sekarang (Direktur).
Hebatnya dalam perjalanan kariernya Makroen lebih sering dilamar, bukan melamar kerja. Hanya sekali ia melamar menjadi wartawan, yaitu di SCTV. Sebelumnya, mengawali kariernya di media, Makroen meliput kasus temannya sendiri dan dikirim ke Majalah FAKTA. Kiriman wesel honor tulisan itu diterimanya dalam amplop cokelat besar disertai 1 bundel majalah dan selembar surat ‘lamaran’ untuk Makroen bekerja di sana.
Terlalu nyaman bekerja di Majalah FAKTA dan sempat cuti kuliah namun Makroen bisa menyelesaikan studinya. Selepas lulus S-1, Makroen tidak menyia-nyiakan kesempatan magang di Harian Surya, sebuah koran anak dari Kompas dan Pos Kota di Surabaya. Tiga bulan magang, Makroen menjadi satu-satunya dari lima lulusan yang ‘dilamar’ untuk menjadi wartawan di Harian Surya.
Begitu pun saat di RTV dan TvMu. Saat sedang mengawal TvMu pada rentang 2013 hingga 2014 atas panggilan dari Prof. Din Syamsudin (Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu), Makroen diminta untuk bergabung di RTV, sebuah stasiun TV baru. Setelah meninggalkan banyak warisan program editorial di sana, Makroen pensiun dan kembali berkhidmat di persyarikatan sebagai Direktur TvMu hingga sekarang.
Tantangan Jadi Jurnalis, Diincar Intel Hingga Jadi Saksi Reformasi
Tantangan selama menjadi wartawan adalah bumbu perjalanan Makroen selama memburu berita. Menurutnya menjadi jurnalis itu harus memiliki modal kapital seperti kamera, mesin tik, dan lainnya untuk kebutuhan produksi berita.
“Mesin tik saya itu beli bekas, rombeng. Cetak, cetok, cetak, cetok. Kalau ada hurufnya hilang, itu ditulis manual. Kamera plastik Nikon itu saya pinjam dari sepupunya ibu angkat saya. Itu awal-awal jadi wartawan, kesulitannya finansial dan alat-alat produksi. Jaman dulu wartawan pemula itu mandiri, modal sendiri,” jelasnya.
Makroen juga bercerita tentang pengalaman menarik selama jadi wartawan.
“Waktu kerja di Harian Surya, awalnya saya ditempatkan di desk Metropolitan, se-Kota Surabaya. Tapi pada tahun 1992 saya dikirim jadi kepala biro di Banjarmasin gara-gara menulis berita tentang pencemaran Kali Brantas akibat limbah sabun dari pemukiman warga sepanjang sungai,” ceritanya.
“Tulisan itu jadi berita utama di Harian Surya. Saat itu masih Orde Baru. Saya diuber-uber intel. Pemimpin redaksi melindungi saya dengan cara mengirim saya ke Banjarmasin. Jaman dulu mana ada ngadu ke Dewan Pers. Wartawan kalau akan diciduk, ya diciduk saja, ” ungkapnya.
Makroen berangkat ke Kalimantan menggunakan kapal laut. Saat itu menjelang akhir bulan Ramadhan. Ia pun merasakan pertama kalinyab merayakan Idulfitri jauh dari keluarga.
“Habis salat id, saya ditemani Ahmadi, office boy Harian Surya, keliling kota naik motor. Sempat berhenti di pinggir jalan mendengarkan suara takbir yang menggetarkan hati. Oh iya ya, ini lebaran pertama saya jauh dari keluarga. Itu pengalaman diungsikan gara-gara berita. Kalau tidak diungsikan, saya sudah diciduk waktu itu,” tuturnya diiringi tawa ringan.
Cerita berlanjut ke tahun 1996. Untuk pertama kalinya Makroen melamar pekerjaan sebagai wartawan di stasiun SCTV. Awalnya hanya iseng, ternyata lulus tes dan diterima bekerja di sana.
“Ketika SCTV membentuk Liputan 6 terjadi lompatan besar perubahan jurnalistik, dari dominasi media cetak ke televisi. Siaran tv mengalami kemajuan pesat beriringan dengan perubahan politik nasional. Liputan6 berdiri 1996. Terjadi reformasi tahun 1998. Saat Pak Harto mengundurkan diri siaran langsungnya ditonton seluruh dunia. Saya ada di situ!” tutur Makroen yang berniat menulis pengalamannya salam buku berseri. Buku pertama bertajuk “Sistem Pertelevisian Indonesia: Perspektif Historis, Bisnis, Budaya, dan Teknologi” bahkan telah terbit.
Peretas Jalan Program Kick Andy
Siapa tak tahu Kick Andy? Program unggulan di Metro TV itu adalah salah satu legacy Makroen Sanjaya. “Kick Andy itu, saya yang meretas jalan,” katanya.
Desember 2005, pria yang akrab disapa Cak Makroen ini bicara dari hati ke hati dengan Andy F Noya, Pemred Metro TV pada saat itu. Ia mencoba membujuk Andy agar bersedia dibuatkan program yang sampai sekarang dikenal dengan Kick Andy. Awalnya inisiasi untuk program itu sudah ada dari Surya Paloh, tapi Andy tidak bersedia karena posisinya sebagai Pemred membuatnya tidak enak hati.
Singkat cerita, selama pembicaraan dengan Makroen kala itu berhasil mengubah pikiran Andy. Ia bersedia dibuatkan program yang kemudian memercayai Makroen untuk menjalankannya. Akhirnya Makroen mengumpulkan setidaknya enam orang dalam satu tim untuk menyusun konsep program.
Ia melihat banyak keunikan dari Andy F Noya untuk branding, salah satunya rambut kribonya. Acara Oprah Winfrey yang saat itu digandrungi banyak orang jadi rujukan. Kick Andy menjadi program talkshow yang menghadirkan narasumber inspiratif yang jauh dari pemberitaan. Saat itu memang fenomena viral dan trending topic belum ada karena sosial media belum masif seperti sekarang.
Dewan Pertimbangan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) ini sangat antusias saat mengenang masa-masa mengawal program Kick Andy. Ia bercerita mulai dari awal mula penyusunan konsep hingga produksi. Bahkan ia masih ingat episode-episode awal Kick Andy. “Kalau cerita soal Kick Andy dua hari dua malam gak akan habis,” ungkapnya diiringi tawa.
Harapan untuk Pers Indonesia
Pers memiliki tanggung jawabnya yang mulia dan luhur. Hari Pers Nasional yang diperingati di bulan Februari dikaitkan Pemilu yang harus sukses LUBER JURDIL. Dalam hal ini, pers harus menciptakan situasi bukan hanya melaporkan sesuatu yang normatif, tapi harus menjadi pelopor gerakan. Menurut Makroen, saat ini terjadi penyimpangan tata kelola pemerintahan yang melanggar etika moral. Maka itu mejadi tugas pers meluruskan kembali arah perjalanan bangsa.
“Hari pers pada saat pemilu ini adalah momentum yang pas. Tugas pers menjadi kontrol sosial, pendidik masyarakat, fungsi informasi, fungsi ekonmi, kebudayaan, dan menghibur. Pers harus mengawal gerakan civil society dari civitas academica. Kalau ada suara kontra narasi yang terlihat rekayasa, harus tampilkan sebesar-besarnya agar masyarakat menilai. Mari kita kawal demokrasi yang merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pers harus mengawal ini menegakkan kembali maruah demokrasi pada jalur yang benar.”
Penulis : Dinar Meidiana
Editor : Tria Parianti