Dokter Indonesia Untuk Rakyat Indonesia

Dr. dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT., Dosen FKK UMJ dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Pesan mendalam disampaikan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT., saat diwawancarai eksklusif secara daring pada Kamis (19/10/2023), dalam rangka memperingati Hari Dokter Nasional yang ditetapkan berdasarkan hari berdiri IDI pada 73 tahun lalu.

“Dokter Indonesia untuk rakyat Indonesia,” tuturnya.

Satu kalimat bermakna itu datang dari seorang yang dulu tidak pernah berpikir akan menjadi seorang dokter, dosen di Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UMJ, apalagi jadi Ketua Umum IDI. Waktu duduk di bangku SMA, Adib membidik Fakultas Teknik untuk melanjutkan perjalanan akademiknya, namun orang tuanya mengarahkan untuk mendaftar ke Fakultas Kedokteran. Sebagai bakti pada orang tuanya, saat mendaftar UMPTN Adib menetapkan pilihan pertamanya pada Fakultas Kedokteran dan pilihan kedua pada Fakultas Teknik. Tak sampai di situ, pria asal Lamongan ini juga mencoba peruntungan di salah satu sekolah ikatan dinas, yaitu Sekolah Tinggi Telkom. Kegalauan besar dirasakannya saat diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan ST Telkom. Tak ada paksaan dari orang tuanya untuk memilih Fakultas Kedokteran, namun Adib tetap berhati-hati dalam memilih. Ia melakukan salat istikharah, konsultasi dengan ustaz pembimbing, dan juga meresapi amanat neneknya.

“Orang tua saya bilang, nenek ingin salah satu cucunya jadi dokter. Ya sudah. Kalau begitu sudah jelas amanatnya. Saya pilih masuk Fakultas Kedokteran. Saya termasuk kelompok yang daftar ulang paling akhir. Rombongan ini rata-rata kondisinya sama, masuk FK karena disuruh orang tua atau galau karena diterima di kampus seperti ITB, dan lain-lain, ” kata dosen yang pernah menjabat sebagai Wakil Dekan III FKK UMJ ini.

Meskipun harus masuk ke fakultas yang sebetulnya tidak diinginkan, tapi Adib berpikir dewasa dan mencoba strategi agar dapat belajar dengan baik. Salah satunya dengan aktif berorganisasi, baik internal maupun eksternal kampus yaitu Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan Himpunan Mahasiswa Islam. Menurut Ketua Tim Mitigasi Dokter IDI ini, dengan berkomunitas dapat membantu menguatkan keyakinan dirinya sebagai mahasiswa kedokteran yang termasuk rombongan akhir tadi. Selain itu berkomunitas juga membantu dirinya mendapatkan teman belajar untuk mengasah nalar dan kerangka berpikirnya.

“Kalau tidak ikut komunitas, akan sulit mendapat arahan. Saya termasuk orang yang banyak terbantu oleh teman dan senior. Saya dapat dukungan untuk kebutuhan pendidikan, seperti buku dan diktat. Itu semua saya modal pinjam. Alhamdulillah tidak sampai merepotkan orang tua untuk membeli buku dan sebagainya,” kenangnya.

Melalui aktivitas berorganisasi, dokter yang aktif di berbagai kegiatan sukarelawa ini berproses dan menemukan fakta bahwa belajar di FK tidak sama dengan fakultas lain. Menurutnya, seorang dokter tidak hanya harus bisa berkutat pada teori dan hafalan tapi juga menggunakan nalar dan pikiran. Itu semua diasah saat berorganisasi melalui diskusi dan debat gagasan. Proses belajar yang dilakukannya adalah belajar bersama di sebuah komunitas. Dengan mengungkapkan gagasan dan debat dalam diskusi, mahasiswa akan terlatih untuk mengolah nalar, pikiran dan menyusun kerangka berpikir. Dengan berdiskusi tentang permasalahan kedokteran dan teori-teori ilmu kedokteran, maka akan lebih melekat dari pada hafalan saja. Proses dan metode belajar itu, dikatakan Adib, akan bermanfaat ketika pendidikan menjadi dokter co assistant (dikenal dengan dokter koas).

“Dengan mengolah pikiran dan nalar, akan mengasah kemampuan untuk memecahkan masalah saat jadi dokter co-ass. Inilah olah pikir yang bisa kita dapatkan kalau belajar di kedokteran dalam satu kelompok, bukan individu. Kalau hafalan saja akan cepat hilang. Maka belajar berkelompok itu menjadi sangat penting,” kata Adib.

Bertahun-tahun menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswa kedokteran sekaligus aktivis, Adib akhirnya menemukan betapa pentingnya konsep berjamaah. Begitu pula dengan makna seorang dokter, Adib berhasil menemukannya meskipun bukan saat belajar untuk mendapat gelar dokter melainkan saat lulus dan mulai menyandang gelar dokter. Makna dokter di mata Adib, didapatkan dari sosok Ayah yang akrab ia panggil Abah.

“Ada satu pesan dari Abah saat saya baru lulus. ‘Dib, kamu beruntung bisa lulus jadi seorang dokter karena di dalam profesi kedokteran itu ada dua amalan yang bisa kamu dapatkan. Satu, amalan yang konsekuensi pada duniawi, dan kedua amalan akhirat. Bayangkan kamu melakukan pelayanan, pasien sembuh maka kamu kemudian akan mendapatkan uang dari pasien, tapi kemudian pasien akan memberikan doa. Itu yang bisa jadi tidak didapatkan profesi lain.’ Itulah kelebihan kami yang berprofesi dokter,” kenang Adib.

Pesan itu terus diingat, diyakini, dan dipegang teguh oleh Adib selama menjalankan tugas sebagai seorang dokter. Adib merasa beruntung mendapat pengajaran budi pekerti yang sangat luhur dari ayahnya. Ia mengaku tidak pernah mendengar kata-kata dari ayahnya yang menerangkan bahwa seorang dokter harus kaya secara materi. Adib ditekankan untuk mencari rida Allah sehingga yang dicari adalah amalan sebagai tabungan menuju kehidupan akhirat. Adib yang bergabung sejak masa awal FKK UMJ berdiri ini juga awalnya tidak berniat menjadi dosen. Ketika itu ia  hanya mengantarkan juniornya mengajar di FKK UMJ. Namun takdir mempertemukan Adib dengan dr. Syafri Guricci, Dekan FKK UMJ saat itu dan beberapa pimpinan fakultas lainnya. Saat itulah Adib juga ditawarkan untuk menjadi dosen di FKK UMJ.

“Saya mengantarkan adik kelas saya. Pak Syafri malah bertanya pada saya, ‘Kenapa gak sekalian kamu juga (jadi dosen)?’ Padahal saat itu saya baru diterima pendidikan spesialis dan Pak Syafri membolehkan. Akhirnya saya juga ikut masuk menjadi dosen di UMJ. Saya salah satu dosen yang masuk angkatan pertama penerimaan dosen di FKK UMJ. Pada waktu itu masih di Cempaka Putih, di rumah kontrakan kecil,” kenang Adib.

Sebagai mahasiswa yang sangat aktif berorganisasi, darah aktivis tampaknya sulit pudar. Tanah mana pun yang dipijak pasti akan mengarahkan Adib untuk aktif berorganisasi, seperti halnya pengalaman saat bergabung di IDI. Pendirian Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (Perdamsi) yang digagas bersama beberapa profesor kedokteran dan dokter bedah, mendorong Adib untuk menjalin komunikasi dengan IDI. Saat itu ia merupakan Pegawai Tidak Tetap di Brigadir Siaga Bencana angkatan pertama di bawah Kementerian Kesehatan yang dipercaya sebagai Executive Officer. Menurutnya penting untuk berkonsultasi dengan IDI sebagai organisasi profesi dokter. Titik itulah yang kemudian mempertemukan kembali Adib dengan senior aktivisnya. Singkat cerita, Adib ditarik ke dalam kepengurusan PB IDI.

“Maka saya masuk di PB IDI, kemudian belajar dari awal dari senior. Saya masuk menjadi koordinator Ketua Bidang Penanggulangan Bencana. Saat bencana tsunami Aceh, saya dipercaya sebagai presidium harian yang mengelola bantuan IDI untuk Aceh. Banyak pembelajaran saya dapat di IDI dan terus berlanjut. Selesai tsunami saya meneruskan sekolah, niatnya supaya tidak terlibat lagi di IDI, tapi ternyata tetap dilibatkan dan akhirnya sampai sekarang,” ungkap dokter yang kini berstatus mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada.

Selama berkhidmat di IDI, Adib berupaya melakukan kampanye-kampanye bagi dokter dan calon dokter tentang banyak hal. Salah satunya melalui program IDI Goes to Campus. Saat menyambangi berbagai kampus di seluruh wilayah Indonesia, Adib menyampaikan pada calon lulusan dokter muda untuk menyiapkan diri menatap masa depan kedokteran Indonesia.

“Para lulusan dokter muda harus meningkatkan kompetensi, tidak hanya dari sisi pengetahuan tapi juga jejaring, international sertification, dan kemampuan bahasa asing. Satu hal yang tidak kalah penting dokter harus tahu terkait regulasi masalah kesehatan sehingga tahu perkembangan regulasi pelayanan, pendidikan, dalam upaya meningkatkan kemampuan dan kualifikasi sebagai dokter. Dokter adalah profesi yang longlife learning, harus belajar seumur hidup,” kata Adib.

Menurut dokter lulusan Pendidikan Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi FK UI ini, IDI juga memiliki tanggung jawab dalam mendorong kemampuan SDM dokter yang dilakukan melalui kolaborasi dengan berbagai stakeholder mulai dari pemerintah dan lembaga pendidikan. Mahasiswa kedokteran, kata Adib, harus siap menghadapi globalisasi, tantangan dan kompetisi mengingat ada kemungkinan masuknya dokter dan tenaga kesehatan asing ke Indonesia. Mengakhiri wawancara eksklusif, Adib berharap agar para dokter selalu menjaga kesolidan dan tetap berjamaah agar dapat menghadapi tantangan globalisasi, disrupsi kesehatan dan berbagai hal yang dapat memecah belah kesejawatan profesi. Tantangan dan masalah yang muncul menurut Adib tidak dapat diselesaikan secara individu melainkan berjamaah sebagaimana konsep berjamaah yang diyakininya.

“Inilah satu kelebihan yang kita dapatkan juga di fakultas kedokteran di kampus Islam seperti UMJ, dasar-dasar agama ditambah dengan dasar etik profesi akan menjadi fondasi kuat dan kolektif kolegial untuk menghadapi tantangan-tantangan,” kata dokter yang menyelesaikan studi Doktoral FK Universitas Hassanudin Makassar pada 2023 ini.

Pada peringatan Hari Dokter Indonesia yaitu hari didirikannya IDI, Adib dengan lugas mengatakan bahwa, “Bangga menjadi dokter Indonesia dan kita syiarkan pada seluruh pasien kita bahwa pasien harus memiliki kepercayaan pada kita sehingga muncul rasa bangga dilayani dokter Indonesia. Inilah satu upaya branding kampanye kami yaitu dokter Indonesia untuk rakyat Indonesia,” tegasnya.

Penulis : Dinar Meidiana
Editor   : Tria Patrianti  

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/