Psikolog Ungkap Perilaku LGBT Akibat Kurang Perhatian

 

Dalam ajaran Islam, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) adalah perilaku yang tidak dapat dibenarkan. Ajaran Islam sudah jelas hitam dan putih dalam menyikapi perilaku LGBT. Namun saat ini perilaku menyimpang tersebut justru mulai mendapat lampu hijau dari beberapa golongan masyarakat lain di berbagai belahan dunia.

Negara-negara Barat yang merasa dirinya sangat menjunjung Hak Asasi Manusia sangat lantang menyuarakan keberpihakannya pada kaum LGBT dengan cara berkampanye di media sosial maupun menyelipkan pesan mendukung LGBT dalam berbagai acara bergengsi antar negara. Hal tersebut sedikit banyak mulai mempengaruhi sikap sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki budaya ketimuran dan mayoritas beragama Islam.

Oleh karena itu, hal paling penting yang harus kita perhatikan saat ini adalah bagaimana caranya mencegah perilaku menyimpang tersebut. Terlebih lagi menurut Dr. Ati Kusmawati, S. Pd. M.Si. Psikolog., seorang psikolog yang juga dosen Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta, mengatakan bahwa perilaku LGBT dapat menular dan bisa tumbuh dalam diri siapapun.

Ati lantas bercerita tentang salah seorang klien konselingnya yang secara fisik tidak kelihatan memiliki perilaku LGBT. Klien tersebut bercerita tentang hal yang menjadi faktor pemicu timbulnya perasaan tidak normal dalam dirinya yang mengarah pada perilaku LGBT. Setelah beberapa konseling, Ati mendapati anak tersebut kurang mendapat perhatian dari keluarganya hingga pada akhirnya ia menemukan perhatian lain dari teman sesama jenisnya.

Ati menyimpulkan bahwa pelaku LGBT adalah orang-orang yang kurang perhatian. Oleh sebab itu, menurutnya,  harus ada pendidikan pencegahan perilaku menyimpang tersebut yang dilakukan sejak usia dini, yaitu dengan pola asuh yang tepat. Selain lingkungan, pola asuh adalah hal yang sangat  berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh adalah kunci utama pembentukan karakter dan perilaku anak.

Menurut Ati, tugas mendidik annak bukan hanya jadi tanggung jawab ibu sebagai madrasatul ula (sekolah pertama dan utama), akan tetapi seluruh ekosistem yang ada di dalam keluarga berperan dalam melaksanakan pendidikan utama dan pertama sebelum seorang anak mendapatkan pendidikan di lingkungan sosial dan lembaga pendidikan formal.

Lebih lanjut Ati menjelaskan bahwa kasih sayang orang tua terhadap anak biasanya ditunjukkan dengan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan. Namun, belum tentu kasih sayang itu dibarengi dengan perhatian.

“Kasih sayang itu sifatnya umum, sedangkan perhatian lebih spesifik. Misalnya orang tua bertanya pada anaknya, ‘Sudah makan belum? Kok kamu kayanya agak tidak semangat hari ini, kenapa?’ Perhatian itu yang kadang luput,” kata Ati.

Walaupun anak sudah besar, menginjak usia dewasa, perhatian harus tetap diberikan. Perhatian itu sama halnya dengan kebutuhan manusia lainnya (sandang, pangan, papan). Sebagaimana teori kebutuhan Abraham Maslow yang menjelaskan tingkatan kebutuhan manusia yaitu fisiologis, rasa aman, kasih sayang dan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.

Dari tingkatan kebutuhan tersebut, ada kebutuhan merasa ingin diperhatikan dan memberi perhatian pada tingkatan ke tiga yang tidak terpenuhi. Maka dari itu, apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi di dalam keluarga, seorang manusia akan merasa nyaman ketika menemukannya di luar. Bahayanya jika kebutuhan itu didapatkan dari sesama jenis yang mengakibatkan muncul perasaan suka dan nyaman sehingga mengarah pada perilaku LGBT.

Ati bahkan menegaskan bahwa sesibuk apapun kegiatan dan pekerjaan orang tua, anak harus tetap dikontrol. Sejauh apapun jarak kita, di zaman teknologi modern saat ini kita pasti bisa berkomunikasi dengan anak melalui berbagai platform komunikasi digital.

“Mungkin saja anak akan merasa risih setiap saat kita hubungi. Tapi itu perlu dilakukan agar kita mengetahui anak kita sedang sama siapa, di mana, sedang apa. Karena lingkungan pergaulannya akan sangat memengaruhinya. Asal orang tuanya tidak harus intervensi terlalu dalam,” papar Ati panjang lebar..

Hal lain yang juga luput dilakukan orang tua adalah mendengarkan anak. “Orang tua itu kadang lupa bahwa anak harus didengarkan. Padahal kita harus selalu mendengarkan ceritanya, walaupun tidak banyak respon yang kita berikan. Tapi kalau kita respon, mereka akan cerita yang lebih banyak lagi. Jadi jangan lelah untuk mendengar anak bercerita, karena dari cerita itu orang tua tahu apa yang dilakukan mereka. Itu yang harus dilakukan orang tua,” himbau Ati.

Untuk mengatasi perilaku yang terlanjur menyimpang, Ati menjelaskan bahwa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan terapi kognitif yaitu terapi yang berkenaan dengan pendekatan keagamaan. Ati menuturkan bahwa yang sedang ia lakukan untuk membantu klien adalah dengan mengembalikannya kepada ajaran agama Islam.

Dalam hal ini, orang LGBT perlu juga didampingi oleh guru agama atau ustadz yang lebih mengerti tentang ajaran agama Islam sehingga terapinya berjalan dengan tepat. Upaya-upaya tersebut dilakukan harapannya agar orang LGBT mendapatkan hidayah dari Allah SWT dan dapat kembali ke jalan yang benar.

Ati kembali menegaskan bahwa fldalam Islam perilaku LGBT itu jelas dilarang dan haram hukumnya. Hal ini perlu jadi perhatian setiap orang karena pada zaman ini pertukaran budaya lebih mudah dan cepat terjadi dengan adanya kemajuan teknologi. Normalisasi dan penghalusan bahasa juga terjadi untuk memengaruhi sikap publik terhadap perilaku menyimpang tersebut.

Di Indonesia sudah banyak lahir komunitas LGBT di berbagai wilayah. Dari data yang ditemukan Ati, ada 15 wilayah di Indonesia yang terdapat komunitas LGBT. Salah satunya GAYa Nusantara yang gerakannya cukup masif dan besar, bahkan sulit untuk dibubarkan.

Oleh karenanya, Ati memperingatkan bahwa kita perlu waspada dan hati-hati terhadap perilaku menyimpang tersebut, karena apabila dibiarkan ada potensi penularan. Penularan terjadi karena orang LGBT dapat memberikan rasa nyaman sehingga sangat mudah berteman.

Dalam hal ini, lembaga pendidikan juga perlu waspada, memiliki tindakan preventif dan tegas agar tidak menjadi tempat penyebaran perilaku menyimpang. Menurut Ati, Universitas Muhammadiyah Jakarta yang memiliki visi sebagai kampus islami memerlukan upaya baik bersifat preventif maupun reresif.

Kampus dapat melakukan tindakan preventif berupa screening calon mahasiswa baru dengan menggunakan alat tes sehingga dapat mengindikasi karakter dan perilaku sebelum masuk ke kampus. Upaya lainnya perlu didukung dengan penguatan nilai-nilai keagamaan yang dapat dilakukan oleh Lembaga Pengkajian dan Penerapan Al Islam Kemuhammadiyahan dari tingkat pusat hingga fakultas. (DN/KSU)

 

Kata Pakar Lainnya