Politik Dinasti Atau Dinasti Politik?

Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik UMJ Dr. Lusi Andriyani, M.Si.,
Beberapa waktu lalu, Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, menarik perhatian publik karena mengusung semua anggota keluarganya menjadi bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Publik menilai hal itu sebagai bentuk upaya membangun dinasti politik yang dapat merusak demokrasi.

Tidak berhenti sampai disitu, publik kembali dikejutkan dengan manuver politik yang dilakukan oleh salah satu putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang bergabung lalu langsung menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kaesang terjun ke dunia politik menyusul jejak ayahnya, kakaknya Gibran Rakabuming Raja, dan iparnya Boby Nasution. Hal ini juga dinilai publik sebagai bagian dari rencana untuk melanggengkan dinasti politik keluarganya.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Lusi Andriyani, M.Si., menjelaskan ada dua konteks berbeda yang harus dipahami ketika membahas isu tersebut, yaitu politik dinasti atau dinasti politik.

Politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait hubungan keluarga, misalnya ayahnya mewarisi kekuasannya kepada anaknya. Sistem seperti ini lazim digunakan oleh negara yang menganut sebuah sistem monarki.

Beda halnya dengan dinasti politik, yang dengan sengaja dikonstruksi bahwa kekuasaan hanya boleh dikuasai oleh satu keluarga saja.

Lusi menegaskan dinasti politik memiliki dampak negatif bagi demokrasi tanah Air. Karena politik semacam ini dengan sengaja mengutamakan kepentingan kelompoknya.

“Dari kedua hal itu (politik dinasti dan dinasti politik), memang yang lebih terasa dampak negatifnya adalah dinasti politik. Karena ada upaya dengan sengaja merekonstruksi kondisi keluarganya untuk ditempatkan ke dalam kekuasaan tertentu, untuk kepentingan kelompoknya,” tutur Lusi.

Kendati kedua hak ini tidak memiliki perbedaan yang mencolok, sama-sama melibatkan keluarga, kerabat, ataupun saudara, namun hal yang perlu diperhatikan adalah soal kompetensi bakal calonnya sendiri.

“Dua konsep ini memang tidak bisa dilepaskan begitu saja antara politik dinasti dan dinasti politik. Keduanya sama-sama melakukan regenerasi dan reproduksi. Regenerasi itu diperbolehkan, misal kita mempunyai anak yang kelak diarahkan ke kompetensi yang sama. Tetapi, kalau mereproduksi itu ada kesan memaksakan, ketika satu keluarga tidak memiliki kompetensi yang sesuai hanya untuk melanggengkan kekuasaan,” pungkas Lusi.

Menurutnya, kesan memaksa ini yang akhirnya membuat publik mengkritisi hal itu. Akan tetapi, Lusi juga menjelaskan bahwa kedua konsep tersebut sah-sah saja. Pelarangan terhadap seseorang untuk mencalonkan yang mempunyai hak untuk dipilih juga melanggar hak politik sehingga bertentangan dengan asas demokrasi.

“Dalam konteks ini, dinasti politik sah-sah saja, ketika seseorang mencoba memberikan ruang untuk keluarganya yang memiliki kompetensi. Catatan penting dari permasalahan tersebut yaitu satunya dipaksakan ketika tidak memiliki kompetensi untuk meneruskan atau melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu,” tegas Lusi.

Dosen UMJ yang juga pengamat politik lokal ini mengamini bahwa dinasti politik merupakan praktik yang tidak sehat bagi demokrasi. Karena memperkecil peluang orang-orang potensial non-dinasti duduk di kursi pemerintahan. “Kalau kita mau menyatakan dinasti politik ini negatif, memang iya. Di ruang demokrasi sesuatu kewajaran tanpa ada aturan main itu akan merusak. Kedua hal ini akan mempersempit ruang masyarakat umum yang memang mempunyai kompetensi di atas mereka untuk muncul sehingga tidak bisa bersaing. Ketika ini di create, entah itu potensial atau dipaksakan keduanya sama-sama dibentuk. Kalau sudah seperti itu akan ada upaya untuk harus jadi, mereka akan menggerakan semua kekuatannya, masyarakat umum akhirnya tidak ada ruang lagi,” ungkap Lusi.

“Dinasti politik tidak bisa dilihat hanya sebatas hitam dan putih saja, harus melihat kasus yang terjadi. Kita tidak bisa langsung melarang, kasihan dengan keluarga yang mempunyai potensi ketika muncul akan otomatis dicap seperti itu. Tetapi, kalau dipaksakan itu juga tidak baik. Jika memang mempunyai kompetensi, masyarakat juga tidak mempermasalahkan. Berbeda halnya jika tidak mempunyai kompetensi, lalu dipaksakan untuk melanggengkan kekuasaan golongannya itu yang tidak diinginkan. Hadir tidak masalah tapi jangan membangun dan merawat harus ada lagi penerus dari keluarganya lagi, itu menjadi problem,” tambah Lusi.

Apa yang terjadi dalam konteks kasus keluarga Hary Tanoesoedibjo dan Kaesang Pangarep yang menjadi ketua umum PSI, keduanya merupakan hal yang sah-sah saja dalam demokrasi. Namun, tidak boleh memaksakan dengan mengingkari prosedural yang berlaku demi suatu kepentingan.

“Kalau mereka mempunyai kompetensi dan masyarakat mengamini, bagi saya tidak ada masalah. Asal semua itu dilakukan dengan proses yang bagus. Proses yang bagus itu ada tahapan-tahapan yang harus dijalani, misal mereka mengikuti rangkaian proses pengakaderan partai politik dari bawah. Tapi, kalau ‘ujug-ujug’ lalu kompetensinya masih dipertanyakan, itu yang akan menjadi pertanyaan besar dimasyarakat, itu yang menurut saya penting,” jelas Lusi.

Lebih jauh Lusi menjelaskan bahwa penyebab dinasti politik tumbuh subur di Tanah Air adalah ongkos politik yang mahal dan budaya masyarakat Indonesia. “Karena demokrasi membuka ruang untuk siapapun berkompetisi.

Biaya politik itu besar. Kalau ada pemilik modal, dari anak sampai keponakan, mencalonkan diri ya sah saja karena mereka punya modal untuk itu. Mereka punya modal secara ekonomi, intelektualitas, dan jejaring. Hal itu memunculkan pemain-pemain dengan modal besar, mereka bisa langgeng,” ungkap Lusi.

Tren politik kekerabatan itu benihnya sudah lama berakar secara tradisional yakni sistem patrimonial. Sistem yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis. Keadaan itu merupakan bagian dari sejarah politik Indonesia yang pernah menganut sistem kerajaan.

Lusi menegaskan bahwa kita tidak bisa melarang munculnya praktik dinasti politik dalam demokrasi, tetapi praktik dinasti politik setidaknya dapat dicegah dan dihambat agar tidak merajalela dan merusak tatanan demokrasi. Pencegahan itu bisa dilakukan dengan melakukan pendidikan politik dan membangun budaya rasional kepada masyarakat. “Masyarakat harus paham bahwa politik itu penting, masyarakat terkadang tidak mau aktif untuk memahami konteks politik. Ketika muncul baru melakukan protes. Kita harus hadir dalam konteks ketika mempunyai potensi harus muncul, dorong potensi itu sehingga bisa dilihat dan mampu bersaing jangan hanya memberikan ruang kepada orang yang itu-itu saja. Kemudian membangun budaya rasional dalam memilih. Politik dinasti ataupun dinasti politik sudah berakar, mencabut akar secara langsung tidak mungkin, tetapi mengintervensi ke ruang itu supaya kita bisa ikut andil disana dan mewarnai sehingga bisa dicegah,” tutup Lusi.

Penulis : Fazri Maulana
Editor   : Tria Patrianti

Kata Pakar Lainnya

Bolehkah Bercanda saat Ceramah - Dr Saiful Bahri Lc MA

Bolehkah Bercanda saat Ceramah?

15 Bercanda menjadi hal yang disukai orang-orang di tengah kepenatan aktivitas sehari-hari. Beberapa jenis kegitan bahkan diselipkan candaan agar tidak monoton, kaku dan membosankan. Misalnya saja dalam kegiatan belajar mengajar,

Read More »