Gambar. The boy measured the height with the blackboard (Sumber : freepik)
Mendekati Pemilihan Presiden (pilpres) pada 14 Februari 2024 mendatang, ketiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) gencar menawarkan program untuk memecahkan masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Salah satu isu krusial yang jadi perhatian mereka adalah masalah stunting. Ketiganya memaparkan target dan program khusus untuk menurunkan angka stunting.
Pasangan calon (paslon) nomor urut 1 menawarkan program pendampingan ibu hamil hingga 1000 hari pertama kehidupan anak. Penurunan angka prevalensi yang ditargetkan antara 11-12,5%.
Sementara itu, paslon nomor urut 2 menawarkan program pemberian makan siang dan susu tiap hari bagi anak-anak sekolah, bantuan gizi pada ibu hamil dan balita, serta Kartu Anak Sehat. Melalui program ini paslon nomor urut 2 optimis dapat menekan angka prevalensi stunting hingga di bawah 10%.
Sedangkan paslon nomor urut 3 menawarkan program 1.000 hari pertama dan pasokan gizi untuk anak hingga usia 5 tahun. Program lainnya adalah 1 Desa 1 Puskesmas 1 Dokter/Nakes. Targetnya untuk menekan angka prevalensi stunting hingga di bawah 9%.
Dosen Sarjana Gizi Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ), Dr. Sugiatmi, SP, MKM., menanggapi hal ini dan menyatakan para paslon butuh effort yang sangat besar untuk mencapai targetnya itu. Dosen yang kerap disapa dengan panggilan Atmi ini menerangkan saat ini prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi. Hasil survei SSGI (Survei Status Gizi Indonesia) 2021, prevalensi stunting di Indonesia berada pada 21,6%, sedangkan target pemerintah pada 2024 sebesar 14%.
“Beberapa paslon menargetkan penurunan prevalensi stunting antara 9-12%, maka effort-nya lebih besar lagi, karena masalah stunting bukan hanya masalah gizi yang terlihat sekarang ini tetapi merupakan masalah gizi kronik yang terjadi sejak dalam kandungan hingga usia 2 tahun (1000 hari pertama kehidupan) dan melibatkan berbagai penyebab baik langsung maupun tidak langsung,” papar dosen yang juga Ketua Program Studi Ilmu Gizi FKK UMJ ini.
Penyebab langsung yang dimaksud Atmi adalah asupan gizi yang tidak cukup dan penyakit infeksi yang berulang. Sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah masalah ketersediaan pangan, pola asuh dan sanitasi, akses layanan kesehatan, serta penyebab dasar ekonomi (kemiskinan), dan pendidikan yang saling berkaitan.
“Pemberian susu dan makan siang gratis kepada anak sekolah ini program yang bagus. Namun hanya menyentuh pada penyebab langsung dan perlu dipikirkan keberlanjutan program dan sumber dananya,” tambahnya.
Atmi menjelaskan bahwa penanggulangan atau intervensi yang dilakukan harus terintegrasi antara penyebab langsung, penyebab tidak langsung, dan penyebab dasar. Selain itu melibatkan lintas sektor baik pemerintah, swasta, organisasi kemasyarakatan serta institusi pendidikan.
“Target intervensi tidak terbatas pada 1.000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) tetapi juga kepada anak sekolah, remaja putri, dan calon pengantin. Dari mereka akan muncul generasi bangsa yang jika gizinya tercukupi akan menghasilkan generasi yang berkualitas, sehingga cita-cita pembangunan Indonesia untuk mewujudkan Generasi Emas 2045 dapat tercapai,” kata Atmi.
Lebih lanjut Atmi mengatakan program berbasis komunitas dapat dilakukan untuk mencegah stunting. Masyarakat dilibatkan sebagai pelaku yang berperan aktif dalam program yang didampingi oleh organisasi masyarakat, pemerintah dan perguruan tinggi.
“Masyarakat bukan sebagai obyek, tapi pelaku yang berperan aktif. Program penanggulangan stunting berbasis komunitas selama ini sudah banyak dilakukan sehingga tinggal dievaluasi, dimonitor dan didukung dana untuk keberlanjutannya,” tegasnya.
Strategi melalui program berbasis komunitas ini telah dilakukan oleh Muhammadiyah melalui organisasi perempuan Aisyiyah. Program Rumah Gizi yang dilakukan Aisyiyah, terdiri dari lumbung gizi, edukasi, dan konseling. Melalui lumbung gizi, masyarakat diajak untuk memanfaatkan lahan pekarangan yang ada di rumah untuk menanam sayur dan ternak sehingga dapat membantu pemenuhan pangan dan gizi keluarga.
Orang tua juga diberikan edukasi mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, gizi dan pola pengasuhan gizi. Selain itu Aisyiyah juga memberikan pelayanan berupa konseling kesehatan, gizi dan pengasuhan anak bagi ibu hamil, ibu menyusui, remaja, dan orang tua.
Program berbasis komunitas juga, menurut Atmi memerlukan pelibatan tokoh masyarakat, serta dukungan dan komitmen pemerintah. “Dengan begitu, maka akan tumbuh rasa memiliki dalam diri masyarakat terhadap program gizi dan kesehatan sehingga akan membentuk perilaku sehat Masyarakat. Pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan angka stunting maupun malnutrisi lainnya,” tutup Atmi.
Penulis : Dinar Meidiana
Editor : Tria Patrianti