Iktikaf, Shelter Pertama Menuju Tuhan

Dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, umat muslim diberikan kesempatan untuk mendapatkan keberkahan luar biasa melalui lailatul qadar. Maka untuk memanfaatkan kesempatan itu, umat muslim berduyun-duyun melaksanakan iktikaf, sebuah kegiatan spiritual yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya.

Dosen sekaligus Wakil Dekan III Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta (FAI UMJ) Nurhadi, MA., menyebutnya sebagai shelter menuju Tuhan. Shelter itu dijelaskan Nurhadi sebagai tempat transit yang difasilitasi khusus oleh Allah Swt., agar hamba-Nya bisa naik level dari ibadah yang bersifat horizontal yaitu habluminannas ke level vertikal yaitu habluminallah.

“Puasa itu dimensi awalnya horizontal, menumbuhkan kepekaan rasa kemanusiaan. Setelah itu, harus naik tingkat menuju dimensi vertikal. Tidak mungkin hanya sampai pada menahan makan dan minum, tapi tujuannya harus ke atas. Itulah iktikaf, media transit dari dimensi horizontal (qotul ilahiah) untuk naik ke dimensi vertikal (qotul insaniyah),” kata Nurhadi.

Oleh karena hubungan vertikal itulah, Nurhadi menegaskan bahwa iktikaf harus dilakukan dalam keadaan suci. Dalam Bahasa Arab, suci yang dimaksud ialah suci jasmani dan rohani. Suci jasmani berarti harus bersih dari najis dan dalam keadaan wudhu meskipun, tambah Nurhadi, tidak ada ketentuan baku harus berwudlu.

Maka dari itu, selama iktikaf juga umat muslim diwajibkan menjaga kesucian dengan tidak melakukan aktivitas yang didominasi oleh kepentingan atau nafsu duniawiah. Berkaitan dengan aspek duniawi itu, Nurhadi mengatakan bukan tentang hukum boleh, harus atau haram dilakukan, tetapi sebaiknya dihindari.

“Secara umum maksudnya adalah selama iktikaf tidak hanyut ke dalam kesenangan-kesenangan fasilitas duniawi karena iktikaf dilakukan untuk naik ke atas. Bagaimana mungkin masih memikirkan aspek duniawi padahal sedang menuju aspek ukhuriyah (akhirat)?” ujar Nurhadi.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta ini lebih menyarankan umat muslim yang beriktikaf agar tidak melakukan hal yang menstimulasi aspek duniawi, mislanya dandan berlebihan ketika iktikaf. Aktivitas yang seharusnya dilakukan ialah zikir, salat, baca Al-Qur’an, baca buku, yang semakin mendekatkan diri dalam berhubungan dengan Allah Swt.

Nurhadi mengajak untuk memahami pesan-pesan Allah Swt., melalui iktikaf yang bukan hanya sekadar apa yang dilakukan saat iktikaf tetapi juga alasan Allah memberikan fasilitas berupa iktikaf.

“Iktikaf adalah shelter fasilitas yang Tuhan berikan bagi orang yang berpuasa setelah dia berpikir tentang proses duniawiah atau jasmaniah, sebelum naik menuju Allah Swt., maka harus ke shelter terlebih dahulu. Shelter pertama adalah iktikaf fil masajid (iktikaf di masjid). Maka dibatasi, tidak ada iktikaf di rumah tetapi tempatnya khusus yaitu di masjid. Di sana ada malam lailatul qodar, ada banyak fasilitas di sepuluh malam terakhir Ramadan,” ungkap Nurhadi.

Agar dapat melaksanakan iktikaf dengan khusyuk dan nyaman, maka umat muslim perlu membuat nyaman diri sendiri terlebih dahulu. Dalam konteks ini maksudnya bahwa iktikaf dilakukan setelah segala urusan duniawi selesai.

“Nyaman itu misalnya begini, jangan sampai kita iktikaf di masjid tapi istri sedang sakit, atau tidak punya beras di rumah. Jadi, kita harus memberikan kenyamanan kepada orang-orang yang berada dalam tanggung jawab kita. Maka yang harus diselesaikan itu urusan duniawiah dulu. Kalau sudah tidak terikat dengan urusan duniawi maka kita bisa naik ke atas,” ungkap Nurhadi.

Akan tetapi hal itu menurutnya tidak juga dimaknai bahwa orang yang belum selesai dengan duniawi tidak boleh iktikaf. “Intinya, selesaikan urusan duniawi. Tidak ada persoalan apabila memang seorang muslim yang iktikaf tidak mencapai puncak kenyamanan,” tambahnya.

Ada dua kunci dalam iktikaf yaitu ittaqun dan yarsyudun yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 sampai 187. Dalam ayat 183 hingga 185 tersebut dituliskan tentang kumpulan orang-orang tattaquun (bertakwa), ta’lamuun (mengetahui), dan tasykurun (bersyukur).

Mereka itu adalah orang-orang yang kemudian disebut dalam ayat 186 dan 187 sebagai orang-orang yang yattaquun dan yarsyudun. Secara aturan Bahasa Arab, yarsyudun bentuk fiil mudlore dari kata rosyada artinya petunjuk. Sedangkan dalam Bahasa Arab ada kata lain yaitu huda yang artinya sama yaitu petunjuk. Nurhadi menejelaskan bahwa perbedaan keduanya terletak pada cara Allah memberikan petunjuk.

Yarsyudun ialah ketika Allah masuk ke kehidupan hamba. Intervensi dengan memberikan kemudahan dalam perjalanan kehidupan itu. Rosyada itu fasilitas full datangnya dari Allah. Sedangkan, huda ada ikhtiar manusia dalam proses pemberiannya,” pungkas Nurhadi.

Pada sepuluh malam terakhir di Ramadan yang disebut Nurhadi sebagai paket fasilitas dari Allah untuk hambaNya ini perlu dimanfaatkan dengan sebaik mungkin oleh umat muslim. Nurhadi berpesan agar senantiasa berdamai dengan diri sendiri agar dapat merasa nyaman dalam beribadah.

Menurutnya, ibadah akan terasa seperti siksaan apabila tanpa rasa kenyamanan. “Manfaatkan momentum karena apabila dilewatkan, berarti kita menyiakan peluang terbaik. Ramadan adalah peluang terbaik yang Allah berikan, isi dengan sebaik-baiknya gali potensi spritualitas, bangun kepekaan lalu naik menuju Tuhan, jadilah la’alahum yarsudun,” tutup Nurhadi.

Artikel Lainnya

Jadwal Imsakiyah

4 Mei 2024

26 Shawwal 1445

Subuh Adzan

04:42

Waktu Adzan
Subuh04:43
Terbit05:53
Dzuhur11:52
Ashar15:12
Maghrib17:48
Isha18:59

Untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/