Puasa merupakan pendidikan dan sekolah untuk umat Muslim agar menjadi manusia bertakwa. Hal itu dikutip oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., dari Imam Syairozi dalam tafsir Al Anfal, dan disampaikannya saat ceramah salat tarawih di Masjid At-Taqwa Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Kamis (4/4/2024).
Mu’ti menyebut umat Muslim yang berpuasa di bulan Ramadan ibarat sedang menempuh studi. Oleh karenanya ia menghimbau agar lima hari terakhir di bulan Ramadan dimanfaatkan untuk muhasabah dan evaluasi dalam menilai kualitas ibadah.
“Tentu yang paling bisa menilai kualitas ibadah kita adalah kita sendiri dan Allah SWT. Sebagaimana hadis nabi yang dibacakan oleh para mubalig ‘Puasamu itu untuk Aku dan Akulah yang akan menilai kualitas dari puasa hamba-hamba Ku,’” ungkap Mu’ti yang juga Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMJ.
Umat Muslim dapat menerapkan SOLO atau Self Observe Learning Outcome yang bertujuan untuk menilai diri sendiri. Dalam teori belajar, Mu’ti menerangkan bahwa proses menilai kualitas belajar disebut meta kognisi agar individu dapat mengerti kualitas, dan cara memperbaiki kualitas sehingga dapat mencapai tujuan belajar.
“Marilah kita lakukan muhasabah atas pelaksanaan ibadah puasa kita. Apakah puasa kita termasuk sekadar formalitas, atau puasa yang kita tunaikan dengan penuh keimanan dan mengharapkan rida Allah Swt?” tegas Mu’ti.
Beberapa poin penting yang harus dievaluasi adalah substansi terkait pengendalian diri. Hal ini penting untuk melihat tingkat kemampuan mengendalikan diri terhadap hawa nafsu lawwamah dan nafsu amarah. “Sejauh mana kita mampu menahan diri untuk tidak menjadi orang yang pemarah tapi jadi orang yang peramah,” katanya.
Puasa juga dapat diartikan sebagai sabar. Maka dari itu Mu’ti mengajak jamaah tarawih agar melakukan penilaian diri bahwa sejauh mana puasa dapat membentuk pribadi diri sehingga menjadi manusia yang sabar.
“Bukan sekadar tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu, senantiasa kalem, menyikapi segala sesuatu dengan tenang, atau seorang yang bisa menerima keadaan yang keadaan itu mungkin tidak dikehendaki dan sangat berat untuk menerimanya. Sabar itu resiliensi, artinya kita bisa belajar dari semua yang kita hadapi. Kita bisa menerima semua keadaan yang terjadi, tetapi kemudian berusaha untuk lebih baik setelahnya,” jelas Mu’ti.
Maka dari itu, lima hari terakhir Ramadan perlu dimanfaatkan untuk memaksimalkan ibadah, tidak hanya kuantitas tapi juga kualitas mulai dari tadarus, qiyamul lail, sedekah, dan lainnya. Tidak sekadar tadarus, tapi juga memahami makna dan melihat pada diri sendiri apakah telah mengamalkannya, serta mendakwahkan Al-Qur’an.
Mu’ti mengajak umat Muslim untuk menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan amalan di akhir Ramadan. Seperti membayar zakat fitrah yang bertujuan untuk membersihkan jiwa orang-orang berpuasa dan juga untuk memberi makan orang-orang miskin.
“Kita juga harus siapkan mental kita untuk merayakan kemenangan saat Idulfitri tiba. Sebagian besar masyarakat sekarang ini fokusnya sudah pembicaraan tentang mudik. Tentu mudik kultural ini penting, tapi yang harus dipersiapkan sebaik-baiknya di akhir Ramadan adalah mudik spiritual,” tutur Mu’ti.
Mudik spiritual adalah cara umat Muslim berusaha untuk membersihkan jiwa sehingga mengakhiri puasa sebagai manusia yang bersih dari segala dosa sebagaimana baru dilahirkan ke dunia dari rahim ibu. “Mari berusaha untuk meraih ketenangan diri dengan beriktikaf, memperbanyak zikir pada Allah SWT, memperbanyak ibadah sunah,” pungkasnya.
Editor : Tria Patrianti