Kasus kekerasan di lingkungan sekolah semakin memprihatinkan. Dari data yang dicatat Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Chatarina Muliana Girsang, terdapat 127 kasus kekerasan di sekolah yang ditangani sepanjang 2021 hingga 2023. Sebanyak 50 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual, dan kasus paling banyak berkaitan dengan perundungan.
Data tersebut adalah kasus yang ditangani, belum termasuk kasus yang tidak terlapor. Sebagaimana yang dijelaskan oleh dosen Program Magister Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ), Dr. Khaerul Umam Noer, bahwa kasus kekerasan di sekolah adalah fenomena gunung es.
Sebagai upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan satuan pendidikan, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan Kasus Kekerasan di Lingkungan Sekolah.
Berkaitan dengan upaya penanganan kasus kekerasan di satuan pendidikan, Khaerul Umam melaksanakan program yang kemudian mendapatkan pendanaan dari Kemendikbudristek. Program tersebut dilakukan di Yayasan At-Taqwa, Bekasi, selama kurang lebih tiga bulan sejak Juli hingga November 2023. Umam, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa programnya menyasar pada 4 level stakeholder, yaitu kepala sekolah, satuan tugas, siswa, dan wali kelas.
Level pertama, kepala sekolah. Pihak yang memiliki kewenangan utama dalam mengambil kebijakan dalam hal membentuk madrasah ramah anak atau sekolah ramah anak adalah kepala sekolah. Maka dalam menangani kasus kekerasan perlu didukung dengan kepala sekolah yang memiliki perspektif terhadap sekolah ramah anak. “Peran utama kepala sekolah ialah menyusun regulasi dan kebijakan. Kebijakan yang ramah anak dan melindungi anak, harus dimulai dari level atas. Kalau stakeholdernya tidak punya perspektif, jangan harap program ini berjalan,” ujar Umam.
Dalam ketentuan pemerintah pusat, terdapat enam indikator sekolah ramah anak. Namun Umam, fokus pada dua indikator yaitu regulasi dan program.
Regulasi menjadi cantolan hukum yang mempertegas posisi sekolah dalam komitmennya membentuk sekolah ramah anak. Umam tegas menyatakan bahwa sekolah ramah anak tidak hanya ditunjukkan oleh ‘plang’ tapi regulasi yang jelas hitam dan putihnya.
Sementara itu, regulasi kemudian didukung dengan program-program penguatan misalnya kelas parenting. “Kepala sekolah ditantang komitmennya untuk menggunakan anggaran untuk program sekolah ramah anak. Pemerintah sudah membolehkan penggunaan dana untuk program ramah anak,” jelas Umam.
Dalam rangka melaksanakan program ramah anak ini, sekolah juga dapat bekerja sama dengan lembaga maupun perguruan tinggi. Kolaborasi dapat berupa pengabdian kepada masyarakat maupun bentuk lainnya.
Level kedua adalah satuan tugas atau dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan disebut sebagai Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Umam menilai level ini krusial karena berperan dalam melaksanakan tugas lapangan. Oleh karenanya Umam meyakini satuan tugas harus memiliki pengetahuan yang dapat membantu dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.
Permendikbud mengatur bahwa satuan tugas adalah guru, selain kepala sekolah, yang tidak pernah melakukan kekerasan. Namun dalam program ini, Umam bersama Yayasan At-Taqwa Bekasi memperluas cakupan tersebut. “Sebetulnya yang dibutuhkan bukan kriteria tapi bagaimana bentuk penguatannya. Guru jadi satgas harus punya pengetahuan macam-macam, dan ini yang belum diatur oleh regulasi dari pemerintah,” katanya.
Menurut Umam regulasi dari pemerintah mentok hanya mengatur sampai penentuan orang yang menjadi satuan tugas yang seharusnya diatur lebih jauh tentang pengetahuan yang harus dimiliki. Oleh karenanya Umam mendorong upaya penguatan satuan tugas agar dapat melaksanakan tugasnya di lapangan. “Di program kami, satuan tugas akan diberikan pengetahuan tentang hukum, paralegal, psikologi korban, reproduksi, kesehatan mental, dll. Menurut kami itu krusial, satuan tugas harus punya pengetahuan itu sehingga ketika bekerja mereka punya pengetahuan. Percuma kalau buat institusi baru yang hanya menambah beban kerja orang-orang. Pengetahuan ini yang sayangnya tidak diatur oleh Permendikbud,” tambah Umam.
Sama halnya dengan level pertama, level kedua ini juga harus memiliki perspektif. Umam lagi-lagi memprediksi apabila satuan tugas tidak memiliki perspektif, maka program pencegahan dan penanganan kekerasan tidak akan berjalan.
Dua level selanjutnya adalah teman atau Umam menyebutnya peer group, dan wali kelas. Dua stakeholder ini yang menurut Umam diabaikan oleh pemerintah ketika menyusun kebijakan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Teman menjadi bagian dari level pencegahan dan penanganan kekerasan karena anak biasanya akan banyak membagi cerita dengan temannya.
“Dua stakeholder ini belum secara serius dipertimbangkan. Wali kelas itu orang yang hampir setiap hari bertemu dengan anak jadi mengetahui dan mengamati tingkah anak. Biasanya yang aware itu wali kelas. Sementara teman atau peer group, karena anak biasanya kalau ada apa-apa cerita ke temannya. Jarang yang cerita ke orang tua apalagi kepala sekolah. Nah penting untuk dua pihak yang terabaikan ini punya juga pengetahuan dan perspektifnya,” kata Umam.
Bahkan Umam menilai dua stakeholder tersebut memiliki peran penting. Guru wali kelas sebagai early warning system sekaligus support system. Jadi ketika mendapati keanehan pada anak, wali kelas dapat melakukan tindakan tepat dengan melapor pada satuan tugas.
Begitu pula dengan teman yang merupakan support system. Ketika siswa mendapati temannya mengalami kekerasan, maka temannya dapat tindakan tepat dengan melapor pada wali kelas atau satuan tugas. Maka keduanya harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana dan kepada siapa melaporkan kasus.
Keempat level ini akan membentuk alur yang bermuara pada penguatan seluruh stakeholder yaitu implementasi dari pengetahuan pencegahan dan penanganan kekerasan. Siswa dan wali kelas mengetahui bagaimana dan kepada siapa harus melapor. Satuan tugas mengetahui perannya dalam menerima dan menindak lanjuti laporan. Kepala sekolah mengetahui perannya dalam mendukung program tersebut.
“Dalam sudut pandang kami, keempatnya harus berjalan. Maka itu yang kami sasar. Kami berkali-kali mengundang siswa, wali kelas, satgas, dan kepala sekolah, karena program ini tidak bisa hanya datang lalu pergi atau hit and run. Harus ada pendampingan berkelanjutan dan melihat perkembangannya,” katanya.
Umam menyampaikan bahwa apabila sekadar membentuk satuan tugas adalah hal yang mudah. Namun yang ditekankan oleh Umam dari pengalamannya di Yayasan At-Taqwa, satuan tugas harus memiliki pengetahuan dan alat. Tanpa pengetahuan dan alat maka satuan tugas hanya akan menambah beban biaya sekolah di tengah gaji guru yang kecil bahkan sangat kecil.
“Satgas ini diberikan alatnya berupa SOP dan buku panduan sehingga bisa bekerja sesuai ketentuan. Apabila berharap tidak ada kasus kekerasan rasanya agak sulit, tapi setidaknya melalui program ini kasus kekerasan bisa ditangani. Tools itu bisa bermanfaat dalam penanganan kekerasan di sekolah,” tutup Umam.
Penulis : Dinar Meidiana
Editor : Tria Patrianti