Departemen Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta menggelar diskusi publik dengan mengangkat wacana e-voting dalam kontestasi politik 2024 mendatang. Kegiatan diikuti oleh mahasiswa dari berbagai kampus, di Aula Kasman Singodimejo, FISIP UMJ, pada Kamis (30/06).
Diskusi publik menghadirkan pakar dalam bidang Teknologi dan Informasi, dan bidang Ilmu Politik, diantaranya, Asih Karnengsih (Ketua Asosiasi Blockchain Indonesia), Dr. Ing. H. Ridho Rahmadi, S.Kom., M.Sc. (Dosen UII, Pakar Data Science Indonesia), M. Tesar Sandikapura, S.T., M.T. (Ketua Asosiasi Indonesia Digital Empowering Community) dan Dr. Usni, S.IP., M.Si. (Dosen Ilmu Politik FISIP UMJ). Diskusi publik banyak membahas bagaimana blockchain dapat menjadi alternatif solusi dalam mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan Pemilu 2024.
Dr. Fal. Harmonis, M.Si., Wakil Dekan III, pada kesempatan tersebut turut hadir. Harmonis menyebut bahwa melalui kegiatan kampus, mahasiswa mendapatkan signifikasi akademis dan signifikasi praktis. Dalam konteks diskusi publik yang digelar BEM FISIP UMJ, Harmonis menghimbau mahasiswa untuk selalu memanfaatkan ruang diskusi untuk mendapatkan kedua signifikasi tersebut.
Diskusi Publik yang bertajuk “Peluang dan Tantangan Pemilu Serentak 2024. Apakah E-Voting Menjadi Solusi?” memberikan pertanyaan besar baik kepada narasumber maupun peserta. Mendekati 2024, wacana dan isu yang berkaitan dengan kontestasi politik semakin banyak muncul. Salah satunya Menteri Komunikasi dan Informasi, Jhonny G Plate, yang sempat mewacanakan mekanisme pemilihan umum e-voting.
Mekanisme e-voting tersebut dapat diterapkan dengan menggunakan blockchain. Asih Karnengsih dan Ridho Rahmadi memiliki pendapat yang sama terkait dengan efektifitas dan efisiensi dari penggunaan blockchain. Kedua narasumber berpendapat bahwa blockchain dapat memberikan keamanan lebih dan menekan anggaran pemilu. Ridho menegaskan bahwa dengan e-voting anggaran Pemilu bisa lebih hemat dan tanpa pelanggaran. Lebih lanjut Ridho membandingkan mekanisme Pemilu tradisional dan e-voting yang menggambarkan banyak kemudahan, keefektifan, dan efisiensi anggaran dari e-voting.
Sedangkan tidak sedikit yang pesimis terhadap wacana e-voting. Luas wilayah dan ketidakmerataannya perkembangan teknologi di Indonesia menjadi tantangan besar bagi pelaksana pemilu (KPU) untuk menerapkan e-voting. Oleh karenanya, M. Tesar Sandikapura berpendapat bahwa mekanisme e-voting dapat diterapkan dengan melakukan percobaan di salah satu daerah di Indonesia. Menurutnya, wacana e-voting perlu didukung dengan adanya upaya peningkatan kemampuan literasi digital masyarakat Indonesia. Selain itu, harus ada regulasi hubungan antara pemilu dan data elektronik (Political Agreement) UU ITE dan data Privacy (PDP), Cyber Security.
Dari sisi akademisi, Usni, dosen Ilmu Politik FISIP UMJ hadir memberikan pandangan yang senada dengan narasumber lainnya. Pada kesempatan tersebut Usni menyampaikan bahwa tantangan terbesar dari pemilihan berbasis e-voting adalah masyarakat Indonesia itu sendiri yang masih kurang akan literasi digitalnya. Dalam paparannya ia menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu yang diperlukan selain partisipasi adalah pemaknaan dari prosesnya yang harus berjalan dengan jujur, adil, dan tentunya transparan.
Wacana mekanisme e-voting tentunya menjadi salah satu alternatif dalam mencari solusi atas tantangan pemilihan umum di Indonesia yang memakan anggaran sangat besar. Sedangkan besarnya anggaran tidak sebanding dengan hasil yang diterima oleh rakyat sebagai penguasa tertinggi. Namun begitu, diskusi-diskusi sejenis tetap harus digencarkan untuk mencari solusi terbaik bagi kemajuan bangsa Indonesia. (DN/KSU)
