Pelaksanaan Kurban yang Ramah Lingkungan

Kuran Ramah Lingkungan

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan, maka setiap aktivitas manusia dirancang agar ramah terhadap lingkungan. Jargon go green atau back to nature menjadi tren dan sedikit banyak membawa pengaruh bagi tingkat edukasi pada masyarakat.

Gaya hidup ramah lingkungan juga menyasar pada aktivitas-aktivitas peribadatan, misalnya Idul Adha. Hal ini sejalan dengan perintah agama Islam untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari keimanan. Hari raya umat Islam yang satu ini sangat berkaitan dengan lingkungan dan alam.

Bagaimana tidak? Pada hari yang sama selama empat hari (10-13 Zulhijah), jutaan hewan kurban disembelih dan menghasilkan limbah anorganik dan organik yang berdampak negatif pada lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Berkaitan dengan hal ini, Dewan Pakar Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Prabang Setyono, membagikan saran pelaksanaan kurban ramah lingkungan. 

Limbah anorganik berupa kantong plastik sekali pakai yang digunakan untuk membagikan daging kurban menjadi persoalan yang sangat disorot oleh banyak orang. Jumlah sampah plastik yang dihasilkan pada empat hari tersebut akan meningkat. Beberapa tahun ke belakang masyarakat menggunakan alternatif pembungkus daging kurban yang lebih ramah lingkungan yaitu dedaunan atau bambu.

Prof. Prabang menyarankan agar tetap menggunakan dedaunan dengan proporsional. Keputusan untuk menggunakan daun pisang misalnya, harus dipertimbangkan jangan sampai pohon pisang menjadi gundul. “Buah pisangnya malah tidak mau berkembang. Pohonnya stres karena organ untuk fotosintesisnya habis. Demikian juga untuk pohon jati. Jika memang memungkinkan menggunakan daun pisang atau daun jati tetap harus proporsional,” ungkapnya.

Perlu diakui bahwa belum ada alternatif lain yang bisa menggantikan plastik kemasan. Terlebih di wilayah perkotaan yang jumlah ketersediaan pohon pisang atau jati lebih sedikit dibandingkan di wilayah pedesaan atau pegunungan, sehingga yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah mendaur ulang sampah plastik dengan memanfaatkan teknologi pirolisis agar sampah menjadi minyak atau biji plastik.

Kalaupun terpaksa menggunakan plastik, pakar lingkungan ini menyarankan agar menggunakan plastik berwarna terang atau putih. Karena plastik berwarna terang atau putih merupakan plastik grade 1 yang berasal dari bahan pembuat plastik baru, jadi bisa didaur ulang menggunakan mesin pirolisis menjadi biji plastik.

Alih-alih kebanyakan orang ‘memusuhi’ plastik, Prof. Prabang justru mengatakan agar tidak memusuhi plastik. Prabang dengan tegas menyampaikan agar memusuhi orang yang membuang kotoran dan jeroan hewan kurban di sungai. Hal ini karena dampak yang diakibatkan dari pembuangan limbah ke sungai tidak kalah berbahaya dari sampah plastik.

Limbah organik hewan kurban ini sebaiknya dikubur dari pada dibuang ke sungai. “Itu akan mencemari sungai karena BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) naik drastis sehingga DO (Dessolved Oxygen) drop maka ikan dan agen hayati lain bisa mati,” katanya.

Sungai yang baik di dalamnya mengandung oksigen terlarut (dessolve oxygen) cukup bagi makhluk hidup yang tinggal di ekosistem sungai. Apabila ada bahan pencemar yang masuk ke aliran air sungai, maka nilai oksigen terlarut akan turun. Maka ketika itulah makhluk hidup yang tinggal akan kekurangan oksigen untuk bernafas dan menyebabkan populasi ikan menurun sehingga rantai makanan terputus.

Dampak pencemaran sungai sangat panjang karena berkaitan dengan fungsi sungai sebagai sumber kehidupan bagi manusia. Ada beberapa wilayah yang mengambil air sungai sebagai sumber air konsumsi baik untuk minum maupun mandi. Sungai juga dijadikan sumber protein (ikan yang dikonsumsi dari hasil memancing ikan di sungai) bagi sebagian masyarakat.

“Seandainya waktu mandi atau menggunakan air sungai untuk kebutuhan yang harus dikonsumsi, bakteri e-coli belum mati maka dapat menyebabkan diare. Semakin banyak e-coli masuk ke tubuh, maka bisa jadi diare akut. Pokoknya, intinya sungai jangan tercemar.

Mengubur limbah organik paling disarankan agar tidak mengundang lalat maupun organisme lain yang akan menjadikannya sebagai hospes (tempat yang ditumpangi parasit). Namun, penguburan limbah tidak dapat dilakukan sembarangan harus memerhatikan pemilihan lokasi dan cara pembersihannya.

Jangan mengubur limbah di daerah resapan air atau tanah yang porositasnya tinggi seperti berpasir (tanah berpori sehingga cairan lebih mudah meresap). Hal ini karena ada kemungkinan sisa jeroan dan darah hewan yang tidak terpakai akan meresap ke sumur warga terdekat.

Prof. Prabang menganjurkan agar masyarakat dapat mengelola sampah secara kolektif kolegial. Misalnya dengan mengadakan program tanah kas desa yang skalanya kecil. Jenis tanah yang dapat dijadikan sebagai tempat mengubur limbah hewan kurban adalah tanah tandus.

“Cari yang tandus berlempung karena minimal daya jelajah air untuk bisa mengalir itu pendek. Sedangkan tanah berpasir, daya jelajahnya akan sangat panjang sehingga sumur-sumur penduduk kemungkinan tercemar jauh lebih besar. Kalau tanahnya liat, tidak punya porositas seperti pasir, jelajahnya pendek,” ungkap Prabang melalui sambungan telepon, Senin (26/06/2023).

Proses penguraian limbah organik dalam tanah jauh lebih efektif dan ramah lingkungan. Bahkan apabila dibandingkan dengan penguraian di atas tanah menggunakan ecoenzim, mengubur limbah organik tetap jauh lebih efektif dan optimal. Dalam kurun waktu satu pekan, bau dan wujud limbah sudah netral dengan tanah.

Catatan penting saat mengubur limbah organik adalah tidak mencampur limbah organik dengan limbah anorganik seperti plastik, kaca, dan lain-lain. “Jadi memang tanah itu diciptakan oleh Yang Maha Kuasa memiliki nilai karakter varian dari mikroba pengurai banyak sekali. Itu paling efektif, tidak akan menimbulkan bau, tanah itu penetral,” ungkapnya.

Prof. Prabang juga menyarankan agar mencuci jeroan dan kotoran menggunakan air mengalir, tidak di dalam air tergenang. Kemudian mengelola limbah sebaiknya di tempat yang tidak searah dengan arah angin agar tidak menimbulkan bau.

“Maka dari itu kita wanti-wanti jangan buang limbah hewan kurban ke sungai. Itu baru satu titik, bayangkan kalau semua panitia penyembelihan membuang limbah ke sungai? Itu akan mengganggu ekosistem aliran sungai,” kata Prabang. (DN/KSU)

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/