Dinar Meidiana- inikah rasanya jadi reporter
Reporter KSU, Dinar Meidiana saat melakukan wawancara dengan narasumber untuk kebutuhan pemberitaan UMJ (Foto : Dok.Pribadi)

Beberapa tahun lalu,  saya kerap menunggu program berita di televisi hanya untuk melihat pembawa berita dan reporter beraksi. Saya membayangkan bagaimana serunya melaporkan kondisi jalan tol saat masa mudik lebaran, meliput Upacara Peringatan HUT RI di Istana Kepresidenan, atau menjadi tim liputan perhelatan Piala Dunia.

Semua bayangan itu satu per satu kini bisa saya rasakan langsung setelah jadi reporter di kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Meskipun tidak bernaung di media mainstream atau televisi nasional, saya sudah bisa merasakan serunya meliput kegiatan besar, seperti Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 2022 silam dan pengukuhan Doktor Honoris Causa Ustaz Adi Hidayat. Saya juga mewawancarai beberapa tokoh dan pakar yang sebelumnya hanya saya lihat di televisi, atlet nasional berprestasi, dan masih banyak lagi. 

Saya Dinar Meidiana, mahasiswa Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMJ, reporter untuk Kabar Kampus UMJ. Nama saya kerap muncul di bagian atas tulisan Kabar Kampus dan beberapa kolom lainnya di laman website UMJ (www.umj.ac.id) sebagai penulis.

Saya mengawali karier sebagai reporter di bawah Kantor Sekretariat Universitas (KSU) UMJ pada 2022, beberapa bulan setelah KSU UMJ dibentuk di bawah naungan Rektorat UMJ.

Dapur redaksi kala itu hanya terdiri dari beberapa orang saja, tidak lebih dari jumlah jari yang ada di tangan kita. Syukur alhamdulillah, seiring berjalannya waktu dan tingginya kebutuhan media publikasi untuk mendukung visi misi universitas, sekarang dapur redaksi diisi oleh personil-personil yang semakin menguatkan cita rasa setiap publikasi universitas.

Saya ingat betul Pak Asep Setiawan, dosen saya yang juga wartawan senior, selalu bilang bahwa wartawan itu penulis sejarah. Kehormatan bagi saya dan rekan reporter lainnya bisa menjadi penulis sejarah perkembangan dan kemajuan UMJ.

Setelah merasakan atmosfer jurnalisme, saya jadi tahu bahwa jadi reporter nyatanya tidak hanya menulis, tapi harus bisa mengambil gambar menggunakan kamera. Selain itu reporter juga harus punya kemampuan bertanya untuk terus menggali informasi dari narasumber.  

Di dapur redaksi, bahan informasi dan gambar-gambar yang didapat dari lapangan itu dimasak oleh banyak orang dan peran hingga akhirnya menjadi satu berita utuh yang kemudian dibaca oleh banyak orang.

Tahap pertama, reporter yang terdiri dari penulis dan fotografer meliput dan mengumpulkan informasi melalui banyak cara. Banyak kejadian yang memaksa para reporter untuk dapat mengumpulkan informasi dari sumber pertama. Banyak jalan menuju Roma, begitu kira-kira. Apa pun caranya asalkan halal, reporter sebisa mungkin mengumpulkan informasi aktual dan faktual.

Kami juga kerap menghubungi narasumber utama hanya untuk mendapat satu hingga dua kalimat pernyataan saja. Tujuannya agar dapat berita yang bergizi baik untuk dikonsumsi dan hangat saat disajikan. Bayangkan kalau informasi yang kami sajikan keliru, bisa jadi sumber hoax.

Setelah mendapatkan informasi, penulis meraciknya menjadi satu tulisan utuh. Kira-kira panjangnya tiga sampai tujuh paragraf. Dalam menulis berita, reporter biasanya meraciknya dengan informasi 5W plus 1H. Persis pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu sekolah dulu.

Setelah itu, tulisan dimasukkan ke sistem website yang disebut CMS (Content Management System). Kalau kamu pernah punya blog, nah begitu kira-kira cara kerja CMS. Di tahap ini, reporter sebagai penulis tidak boleh lupa melengkapi detail tulisan seperti foto degan caption, dan memenuhi SEO (Search Engine Optimization).

SEO kami gunakan supaya konten tulisan yang disajikan di website UMJ bisa tampil paling depan di mesin pencarian. Kamu, pasti sudah pernah kan mencari nama kampus UMJ di mesin pencarian Google? Kalau website UMJ muncul paling depan dan paling atas, itu karena dapur redaksi selalu memaksimalkan SEO di setiap tulisan.

Setelah tulisan masuk di CMS, akan dicek oleh editor kata demi kata. Tak jarang, para penulis dipanggil oleh editor. Saat itulah kelas Bahasa Indonesia dan jurnalistik dimulai. Editor ini yang kerjanya pangkas sana pangkas sini, ubah sana ubah sini, tambah sana tambah sini. Itu biasanya terjadi kalau tulisannya tidak sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), atau banyak typo, atau tidak read catching (tidak enak dibaca).

Tulisan yang sudah lolos dari meja editor tidak mengubah esensi dan pokok informasi sesungguhnya. Justru kehadiran editor adalah untuk memastikan kualitas tulisan supaya tidak ada typo dan kekeliruan informasi. Mari kita persembahkan terima kasih paling serius untuk para editor di dapur redaksi.

Tahap selanjutnya adalah publikasi. Publisher-lah yang berperan mempublikasi konten tulisan yang selesai ditinjau editor. Gerbang terakhir sebuah berita adalah publisher. Jadi, kalau reporter terlalu lama menulis, artinya publisher akan pulang lebih larut. Prinsipnya, lebih cepat lebih baik. Kalau bisa dipublikasi hari itu juga, kenapa harus tunggu besok?

Publisher juga yang melakukan rekapitulasi tulisan mingguan yang sudah dipublikasi agar bisa disajikan dalam satu paket ke keluarga besar civitas academica UMJ bahkan seluruh masyarakat dan melihat tren pembaca laman website UMJ.

Banyak cerita menarik selama menjadi reporter, tak jarang kami para reporter tidak bisa membedakan liburan dan liputan. Beberapa kali saya ke daerah yang belum pernah didatangi sebelumnya, dan itu karena liputan. Salah satunya adalah naik perahu kayu menyebrangi laut untuk sampai ke lokasi liputan di Kepulauan Seribu. Akibat jadi reporter juga, saya bisa menambah relasi, dan tahu banyak informasi.

Cerita lainnya yang tak kalah berkesan adalah ketika harus berebut wawancara doorstop. Kami berebut posisi strategis untuk foto, dan berebut posisi julurkan recorder supaya hasil rekaman bisa terdengar jelas. Cerita pergi liputan di bawah guyuran gerimis ditambah ban motor tim reporter yang bocor juga tak kalah seru.

Jadi reporter itu harus siap di segala situasi dan kondisi. Kami sering kali berhadapan dengan segala sesuatu yang mendadak. Pasti reporter riweuh (rusuh) menyiapkan segala alat mulai dari kamera, recorder, id card, semprot parfum biar wangi, dan siapkan kekuatan tangan untuk pegang microphone atau recorder saat wawancara narasumber.

Bukan hanya liputan, menulis juga dadakan. Satu-satunya hal yang terencana adalah unsur 5W+1H yang harus terpenuhi dalam tulisan. Sementara substansinya sama sekali tidak ada bayangan. Saat wawancara, biasanya meskipun reporter sudah siapkan pertanyaan, tapi apabila narasumber memiliki pembahasan lain, maka kami dituntut untuk berpikir untuk melemparkan pertanyaan baru sesuai dengan konteks yang dibahas saat itu juga.

Semua pengalaman itu mendorong lidah saya berucap syukur. Saya senang bisa menjalani aktivitas sebagai reporter sekaligus penulis. Sebagai reporter, tentu saya berharap yang terbaik untuk masa depan pers Indonesia karena pers adalah unsur penting dalam mendidik masyarakat dan menjadi alarm yang menyuarakan kritik sosial. Sebagaimana Bung Karno katakan bahwa wartawan adalah guru di ruang publik. Selamat Hari Pers Nasional untuk saya dan semua jurnalis yang tidak berhenti menulis jejak-jejak sejarah agar dapat menjadi guru bagi publik.

Editor : Tria Patrianti

Dinar Meididana

Dinar Meidiana

Mahasiswa Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMJ

Kamu mahasiswa aktif UMJ? Punya pengalaman yang menarik untuk dibagikan? Silakan tulis pengalamanmu dalam 700-1400 kata, lalu kirim ke email [email protected]. Tulisan yang terpilih akan dimuat di Kolom Mahasiswa website www.umj.ac.id.