Oleh : Dian Fitriani

Genesys
Peserta JENESYS kunjungan ke Castel Hiroshima, Jumat (27/01).

Modernisasi Jepang: Konservatif Dalam Tradisi dan Inklusif  dalam Kemajuan

Negeri sakura ini memang kerapkali membuat iri negeri tetangga. Selain terletak di Asia sebagai benua yang masih kaya dengan kultur tradisional. Kemajuan teknologi Jepang tak ayal bisa menjadi saingan berat negeri-negeri maju di Eropa. Contohnya saja dalam industri kertas di Jepang. Kertas khas Jepang yang dikenal dengan sebutan kertas washi ini cukup terkenal bahkan dikalangan Eropa. Bagaimana tidak? Jepang telah 500 tahun lebih dulu memproduksi kertas dibandingkan orang Eropa kala itu. Namun uniknya, cara pembuatan kertas washi masih sangat tradisional. Pada teknik nagashizuki misalnya, tikar penapis digerakkan dengan gerakan ke atas, ke bawah dan ke samping dilakukan manual dengan tangan agar larutan bubur kayu menempel pada tikar penapis dan larutan bubur kayu yang berlebih kembali ke dalam air.

Rabu, 25 Januari 2023 lalu saya berkunjung ke museum kertas Ichigaya yang terletak di Kyoto, Jepang. Saya dipertontonkan tayangan singkat berdurasi 15 menit tentang sejarah kertas di Jepang hingga sekarang penggunaan kertas yang produktif, minimalis dan efesien. Kenapa produktif? Sebab Jepang menggunakan kertas bukan saja sebagai bahan dasar buku melainkan juga untuk baju tradisional kimono, alas tidur, hingga pelapis dinding. Kertas washi juga dinilai minimalis dan efesien, bukan saja dari bentuknya yang lebih tipis namun juga lebih kuat dan berserat. Selain lebih ringan dari kertas biasanya, kertas washi juga tahan lama sehingga berguna sebagai komoditas perlengkapan rumah yang digunakan dalam jangka waktu panjang.

Yang menarik dari modernisasi Jepang adalah konservatif dalam tradisi, inklusif dalam kemajuan. Dua hal tersebut saling bersisian dan simultan dimanifestasikan dengan baik. Meskipun seringkali negera-negera di Asia mendapatkan stereotip tertinggal dari Barat, akan tetapi justru Jepang dapat membantah semuanya.

Keunggulan budaya lokal yang kuat tidak dimiliki oleh negara-negara di Barat. Meski cenderung memiliki penduduk yang homogen akan tetapi kultur tradisional Jepang patut diakui dunia. Selain itu kemajuan teknologi Jepang tidak perlu diragukan. Seluruh dunia tentu sepakat bahwa kemajuan Industri dan manufaktur Jepang patut diacungkan jempol. Bila kita hitung misalnya di Indonesia sendiri berapa banyak produk elektronik yang masif dikonsumsi oleh penduduk Indonesia yang merupakan merek dari Jepang? Sony, Sharp, Panasonic, NEC, Toshiba, dan lain lain.

Kendaraan bermerek asal Jepang pun memenuhi kebutuhan pasar otomotif. Di Indonesia khususnya, kita mengenal Honda. Kendaraan beroda empat ataupun dua ini terkenal di kalangan penduduk Indonesia, bahkan menjadi konsumen terbesar melebihi negeri produsennya sendiri. Belum lagi merek lainnya seperti Yamaha, Kawasaki, Suzuki, Mitsubishi, dll. Produsen otomotif asal Asia ini bukan hanya Indonesia yang dijadikan sasaran pasar, tetapi di kawasan Eropa dan Amerika produk asal Jepang ini juga cukup banyak diminati.

Jepang dan Industri Hiburan

Siapa yang tidak tahu dengan anime? Tentu hampir seluruh jagat raya mengetahui atau setidaknya mereka yang memiliki televisi di rumah dengan hiruk-pikuk lagu pembuka anime yang disetel pagi hari melalui televisi. Dari anak-anak hingga dewasa masih terngiang serial anime yang hadir mengisi jadwal minggu pagi di salah satu channel televisi, Doraemon misalnya, yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Terlebih semakin canggih teknologi, industri hiburan semakin pesat dan masif, meski bersaing dengan Industri hiburan asal Korea Selatan namun penggemar dari anime ini selalu hadir mewarnai dunia hiburan. Munculah istilah otaku, wibu, waifu dll.

Industri hiburan Jepang bahkan dimulai sejak 1907, mendahului negeri Eropa kala itu. Dimulai dari anime 2D yang menguasai pasar hiburan hingga manga hitam putih yang bahkan di dunia digital saat ini masih digandrungi. Ketika saya berkunjung ke Jepang, banyak dari turis lainnya tak ragu berburu marchandise anime yang harganya berkisar dari seribu hingga puluhan ribu yen atau berkisar jutaan jika dikonversi ke rupiah.

Maka industri hiburan Jepang bukan sekedar hiburan semata tapi juga tentang propaganda kultur Jepang. Upaya ini dinilai menarik wisatawan asing yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi lewat manajemen pariwisata. Tentu saja industri hiburan juga diuntungkan dari agensi, produsen, hingga studio anime dan manga.

Budaya Jepang yang dikenal masyarakat dunia melalui anime dan manga tentu saja efektif. Belum lagi hal ini juga menjadi poros dunia hiburan saat ini yang tentu saja berpengaruh pada opini publik tentang Jepang. Dampaknya? Tentu saja ini bukan hanya tentang masyarakat sebagai konsumen dari produk hiburan asal negeri sakura, akan tetapi hal yang lebih fundamental yaitu teknik soft diplomacy. Teknik ini akan lebih mudah diterima oleh negara-negara berpower lainnya. Mereka politisi global yang mungkin saja penggemar anime, akan lebih menaruh empati serta respect yang tinggi pada negeri produsen anime ini. Maka anime bukan sekedar hiburan yang berupa tontonan, tapi juga alat daya tarik politik yang kuat.

Dian Fitriani

Dian Fitriani

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ

Peserta Program JENESYS

Kamu mahasiswa aktif UMJ? Punya pengalaman yang menarik untuk dibagikan? Silakan tulis pengalamanmu dalam 700-1400 kata, lalu kirim ke email ksu@umj.ac.id. Tulisan yang terpilih akan dimuat di Kolom Mahasiswa website www.umj.ac.id.