Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) Dr. Makroen Sanjaya, M.Sos., memberikan tanggapan mengenai peristiwa teror tempo. Menurutnya, kritik adalah hal normal dalam demokrasi.
Baca juga: Paparkan Hasil Riset, Dosen FISIP UMJ Jadi Pembicara di Pertemuan Internasional Filipina
Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi bintang tamu dalam podcast Open Minded di Channel YouTube Diskursus Net yang tayang pada Selasa, (15/04/2025).
Dalam kesempatan itu, Makroen yan juga merupakan Direktur TV Muhammadiyah ini mengatakan bahwa peristiwa teror yang dialami Tempo merupakan pertama dalam sejarah Indonesia di bidang media. Menurutnya peristiwa tersebut merupakan praktik yang mencederai demokrasi karena kebebasan pers lahir dari nilai demokrasi.
”Kalau ini dibiarkan dan tidak diusut tuntas, ini alarm lonceng kematian bagi kebebasan pers. Bukan hanya kepada Tempo tetapi keseluruhan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menganggap peristiwa ini sudah tumpang tindih dengan pelanggaran serius seperti doxing. Makroen menekankan agar peristiwa tersebut diungkap secara tuntas dan transparan karena jika tidak, akan menjadi ajang adu domba.
”Seperti yang dikatakan oleh Presiden kita, bahwa kemudian teror itu sebenarnya adu domba. Adu domba antara kekuatan demokrasi salah satunya pers dengan institusi negara,” ungkapnya.
Saat ditanya terkait kemungkinan adanya operasi terstruktur dibalik peristiwa tersebut. Makroen mengatakan hal tersebut bisa saja terjadi. Menurutnya, peristiwa ini sangat terstruktur karena narasi yang disebar terkesan sudah tersusun.
“Kalau kita pakai logika, siapa yang punya sumber daya, sistem, dan struktur untuk melakukan ini? Kalau hanya korporasi, saya kira tidak cukup,” tambahnya.
Tempo sendiri memang dikenal sebagai media yang kritis terhadap pemerintah. Menurut Makroen, dalam demokrasi tidak boleh ada yang menghambat kritik dan denial terhadap kritik apalagi melawan.
“Tempo bukan ancaman negara, justru Tempo yang selama ini menyiarkan martabat negara dalam konteks demokrasi dan pergaulan global. Tempo harus dirawat dalam memegang posisi kritis, egaliter, dan independen. Kalau tidak dijaga, habis kita,” katanya.
Peristiwa yang sudah hampir satu bulan berlalu tersebut, hingga kini belum terungkap pelakunya. Padahal menurut Makroen, untuk mengungkap pelaku peristiwa tersebut merupakan pekerjaan yang mudah bagi kepolisian. Maka dari itu, ia mengajak masyarakat sipil, pemerintah, dan media agar bersatu mengawal kasus tersebut.
“Saya mengajak kekuatan sipil untuk bergerak bersama pemerintah yang kita harapkan benar-benar punya komitmen untuk menjaga demokrasi dan kebebasan pers,” ajaknya.
Makroen juga menyoroti peran Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan yaitu Hasan Nasbi yang menujukkan sikap nirempati terhadap peristiwa ini. Padahal dalam etika komunikasi, terdapat tiga aspek yang harus diperhtikan, yaitu Ethos (akhlak), Logos (Pengetahuan), dan Phatos (Emosi).
“Kata-kata dia (Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan) yang kemarin dikeluarkan itu sama sekali tidak menunjukkan simpati apalagi empati,” pungkasnya.
Editor : Dian Fauzalia