Ada hal menarik saat Wisuda Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ke-80 yang berlangsung sebanyak tiga sesi pada 25-26 Oktober 2024. Salah satu wisudawan asal Thailand, menyampaikan pidato yang mengundang tawa, tepuk tangan, sekaligus haru.
Dia adalah Tarmeesee Sohsata, lulusan dari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas Ilmu Pendidikan (Prodi PBSI FIP).
Dari pidato itu, kemudian Tim Reporter Kantor Sekretariat Universitas (KSU) UMJ melakukan wawancara Tarmeesee tentang berbagai aspek yang dihadapinya selama studi, termasuk tantangan, budaya, dan interaksi sosial.
Alasan Memilih UMJ
Tarmeesee mengaku memilih kuliah di Indonesia, khususnya di UMJ karena mendapatkan beasiswa dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan tekadnya untuk menempuh pendidikan tinggi di luar negeri.
“Setelah lulus SMA, saya bertekad untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, apapun itu negaranya. Nah, kebetulan saat itu saya menerima informasi bahwa PP Muhammadiyah membuka beasiswa untuk berkuliah, akhirnya saya memutuskan untuk belajar di Indonesia,” tuturnya.
Terdapat tiga Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) yang bisa ia pilih dari beasiswa tersebut, salah satunya UMJ. Alasan Tarmeesee memilih UMJ adalah karena letaknya di Ibu Kota Indonesia dan FIP memiliki Prodi PBSI.
“Awalnya, saya ingin mengambil Prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Namun saat memilih Prodi itu, ternyata isinya tidak ada mahasiswa lelaki dan hanya perempuan saja. Akhirnya, saya memilih PBSI karena di rumah (Thailand) juga memakai Bahasa Melayu dan saya ingin mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia ketika pulang,” ungkapnya.
Proses Belajar di UMJ
Tarmeesee bercerita, selama menempuh perkuliahan di UMJ, proses belajarnya cukup baik. Bahkan, ia mengikuti beberapa organisasi seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Tapak Suci. Namun ia mengaku tidak lama bergabung di Tapak Suci karena jadwal latihannya berbenturan dengan jadwal kuliah.
Kendati demikian, Tarmeesee juga sempat mengalami beberapa tantangan, misalnya dari segi bahasa dan budaya. Ia harus belajar dan beradaptasi lebih keras serta konsisten.
“Salah satu hambatan berat bagi saya adalah ketika sedang menyusun skripsi ada wabah pandemi Covid-19. Akhirnya, saya terpaksa pulang ke Thailand, dan saat di rumah memutuskan untuk menikah,” terangnya.
Tidak hanya itu, Tarmeesee bahkan sempat berpikir untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Pada kondisi itulah, ada orang tua, teman-teman di Indonesia, dan dosen-doen PBSI FIP UMJ yang selalu mendukung dan mengingatkannya agar menyelesaikan skripsi.
“Akhirnya, saya kembali ke Indonesia dan menyusun skripsi walaupun prosesnya cukup lama, tetapi alhamdulillah selesai juga,” katanya.
Mengalami Culture Shock
Indonesia sebagai negara dengan keberagaman budaya dan bahasa memberikan pengalaman unik bagi Tarmeesee. Masa awal tinggal dan hidup di Indonesia, tepatnya di lingkungan sekitar kampus UMJ, ia mengalami culture shock.
Di Thailand, ia terbiasa makan dengan sendok dan jarang sekali makan pakai tangan secara langsung. Namun ia melihat kebiasaan orang Indonesia yang sering makan menggunakan tangan.
Ada satu cerita lucu menurut Tarmeese tentang makan pakai tangan. Memasuki semester satu, ia bercerita makan ayam penyet bersama temannya Ahmad Chedo yang sama-sama mahasiswa asal Thailand.
Kala itu mereka disuguhkan air kobokan cuci tangan untuk makan. Keduanya berpikir itu adalah minuman. Ahmad pun meminumnya, tapi ternyata mereka salah.
“Saya kira air itu minuman karena ada jeruknya dan Ahmad pun sempat meminumnya,” tutur Tarmeesee sambil tertawa.
Momen lucu lainnya adalah ketika ia ikut demo mahasiswa. Suatu saat, Tarmeesee bersama Ahmad ingin kembali ke asrama setelah jam perkuliahan selesai. Namun, saat melewati Gedung Rektorat Lama (Gedung Perintis UMJ), ia dipanggil oleh temannya di dalam bus. Ternyata bis itu akan berangkat mengantarkan mahasiswa turun aksi demonstrasi.
“Jadi, ada teman dari dalam bus panggil saya, ‘Tarmeesee, ayo mau ikut, gak?’. Kata saya, ‘ke mana?’. Katanya, demo. Saya tidak tahu apa itu demo, tapi karena penasaran dan ingin banyak belajar segala hal, akhirnya saya ikut,” ucapnya.
Saat sampai di lokasi, keduanya kaget karena ternyata demo yang dimaksud adalah aksi demonstrasi kepada pemerintah Indonesia.
“Oh, demo itu seperti ini. Saya orang kampung di Thailand, tidak tahu demo. Hanya tahu di TV dan berita saja. Jadi, di situ lah pengalaman dan cerita lucu yang tidak bisa saya lupakan,” ujar Tarmeesee.
Kendati demikian, Tarmeesee hanya ikut demo sekali saja karena kakak tingkatnya, mahasiswa asal Thailand juga, mengingatkannya agar tidak ikut campur politik Indonesia. Pasalnya, mereka datang ke Indonesia dan UMJ untuk belajar.
Pesan dan Kesan Kuliah di UMJ
Tidak ada pesan khusus untuk UMJ. Menurutnya, UMJ sudah sangat baik memperlakukan mahasiswa internasional.
“Salah satu pengalaman berkesan bagi saya, hadirnya Pak Endang Zakaria selaku Kepala Kantor Kerja Sama Urusan Internal (KKUI) UMJ yang sangat memperhatikan mahasiswa asing. Kami sangat terbantu untuk mengurus dokumen visa dan sebagainya. Jika kami (mahasiswa internasional) butuh sesuatu, beliau langsung cepat mengurusnya,” jelas Tarmeesee.
Selain itu, ia juga menilai, dosen FIP UMJ sangat baik, khususnya pada dosen Prodi PBSI. Begitu juga dengan sekretariat fakultas yang melayani Tarmeesee dan kawan-kawan mahasiswa internasional lainnya dengan baik.
“Karena saya sudah bekerja, yaitu memiliki bisnis, tetapi dalam hati, saya tetap meniatkan untuk mengamalkan ilmu yang didapat di UMJ dengan baik. Salah satunya bisa mengajar dalam waktu tertentu, seperti dua hari dalam seminggu,” pungkasnya.
Editor: Dinar Meidiana