Dosen FISIP UMJ Jadi Pembicara pada Women’s Forum for Peace di Thailand

Oleh :
Indira Dwi
Dosen FISIP UMJ, Dr. Debbie Affianty, M.Si. (sebelah kiri) saat menjadi pembicara Women’s Forum for Peace 2025 di Chiang Mai, Thailand pada 19 hingga 21 September 2025 (Foto : Dok. Pribadi)
Dosen FISIP UMJ, Dr. Debbie Affianty, M.Si. (sebelah kiri) saat menjadi pembicara Women’s Forum for Peace 2025 di Chiang Mai, Thailand pada 19 hingga 21 September 2025 (Foto : Dok. Pribadi)

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ), Dr. Debbie Affianty, M.Si., menjadi salah satu pembicara pada Women’s Forum for Peace 2025 di Chiang Mai, Thailand. Kegiatan yang diikuti oleh lebih dari 100 peserta ini, diselenggarakan oleh Georgetown Institute for Women, Peace, and Security (WPS), bagian dari Georgetown University Amerika Serikat pada 19 hingga 21 September 2025.

Baca juga : Dosen FISIP UMJ Terpilih Jadi Presidium Nasional Jaringan WPS Indonesia

Pada kesempatan ini, Debbie tampil pada panel “Resilience Without Borders: Lessons Learned from International Contexts”, bersama pembicara internasional yaitu Mariam Jalabi dari Syria, Nagwa Konda dari Sudan, Shaharzad Akbar dari Afghanistan, dan Ruby Kholifah dari AMAN Indonesia.

Debbie membagikan pengamalan Indonesia dalam mengimplementasikan agenda WPS. Ia memaparkan bahwa Indonesia telah mengadopsi Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) yang kini memasuki fase ketiga sebagai kerangka utama untuk memainstreamkan partisipasi perempuan dalam perdamaian dan keamanan.

Ia menambahkan bahwa meskipun RAN menyediakan kerangka kebijakan dan implementasinya sangat beragam. Namun, masih banyak yang kekurangan kapasitas dan pendanaan yang memadai.

“Beberapa daerah telah memiliki Rencana Aksi Daerah, tetapi mekanisme pemantauan dan akuntabilitas masih terbatas, serta partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang keamanan belum sepenuhnya terwujud,” ujarnya.

Debbie yang juga merupakan salah satu Presidium Nasional Jaringan WPS Indonesia, menjelaskan bahwa perempuan menghadapi risiko keamanan yang bersifat gender, baik sebagai korban maupun sebagai aktor, sehingga memerlukan program yang membedakan antara perlindungan, peran sosial, dan agensi perempuan.

Selain itu, partisipasi perempuan sering terbatas pada representasi simbolis, hambatan struktural seperti norma patriarkal dan keterbatasan sumber daya sementara isu-isu selain konflik sosial, seperti pencegahan ekstremisme kekerasan, perubahan iklim, keamanan siber, dan migrasi transnasional belum sepenuhnya diintegrasikan

Menurutnya, pengalaman Indonesia tersebut menunjukkan bahwa partisipasi perempuan yang bermakna dapat memperkuat ketahanan komunitas dan mendorong transisi yang inklusif gender.

Resilience without borders berarti membangun solidaritas lintas negara, agar perempuan dapat memimpin proses perdamaian yang adil dan berkelanjutan,” ujarnya.

Ia juga menegaskan pentingnya peran masyarakat sipil untuk memimpin inisiatif berbasis gender, mulai dari deteksi dini hingga transformasi konflik, reintegrasi sosial dan kampanye narasi damai di tingkat lokal karena pendekatan berbasis survivor dan tokoh agama perempuan terbukti efektif dalam membangun kredibilitas dan memperluas jangkauan komunitas. Kehadiran Debbie pada forum ini merepresentasikan komitmen UMJ untuk berdampak bagi masyarakat terutama perempuan.

Editor : Sofia Hasna