Pahlawan tidak hanya mereka yang turun ke jalan, atau membela kebenaran demi kemaslahatan banyak orang. Sejak zaman kemerdekaan, pahlawan identik dengan penjajahan, dan penjajahan tidak hanya berlaku untuk negara. Kenyataannya hidup juga kerap dijajah dengan beragam masalah, tetapi banyak pahlawan dalam diri sendiri yang memilih untuk menyerah sebelum menyerang.
Sejatinya jiwa-jiwa pahlawan ada dalam diri setiap manusia. Keinginan untuk berjuang meraih impian, membela kebenaran, dan memaparkan keadilan. Akan tetapi di era modern saat ini, masyarakat tampak lupa bahwa diri mereka sendiri adalah pahlawan. Ketidaktahuan ini lantas menjadikan manusia yang terbentur oleh beragam peristiwa, memilih untuk mengambil jalan pintas yaitu sebuah usaha untuk mengakhiri hidup.
Fenomena pilu tersebut kemudian bergerak cepat bagai virus yang mempengaruhi pasien. Satu berita duka langsung diikuti berita yang sama, dengan pola perbuatan yang juga serupa. Dalam waktu singkat di periode bulan Oktober, Indonesia menerima kabar duka dari dua orang mahasiswi Perguruan Tinggi di Pulau Jawa. Surat-surat yang menyertai usaha mengakhiri hidup dengan paksa kemudian meningkatkan gelombang simpati masyarakat. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian Republik Indonesia, terdapat 971 kasus membunuh diri sendiri sepanjang bulan Januari hingga Oktober 2023.
Menilik dari judul Pahlawan Untuk Diri Sendiri, Pahlawan yang dikonsepkan sebagai jiwa patriot dalam diri sendiri ternyata tidak selalu dapat melakukan perlawanan. Padahal sebagaimana negara, hidup juga perlu dipertahankan. Setiap individu harus mampu melakukan perlawanan terhadap permasalahan yang mengusik kehidupannya. Kementerian Kesehatan Indonesia menuturkan keinginan untuk mengakhiri hidup berawal dari gejala depresi. 55% penderita depresi berpikir untuk mengakhiri hidup mereka dengan cara bunuh diri.
Indonesia mengalami darurat bunuh diri. Fakta ini semakin diperkuat dengan adanya data dari UNICEF yang menjelaskan bahwa tingkat kesehatan mental di kalangan anak-anak hingga remaja mengalami peningkatan setelah adanya COVID-19. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar juga tidak ragu untuk mengakhiri hidup mereka. Menghentikan fenomena bunuh diri perlu mendapat perhatian khusus. Tidak hanya Pemerintah, masyarakat sipil juga harus turut andil mengetahui penyebab atau akan adanya indikasi untuk bunuh diri. Beberapa di bawah ini merupakan penyebab bunuh diri yang kerap terjadi.
Bullying atau penindasan menjadi faktor terbesar terjadinya bunuh diri. Perilaku senang merendahkan orang lain, dan senang melihat penderitaan orang lain seharusnya menjadi peringatan di lingkungan masyarakat. Jika dikaitkan dengan kepahlawanan, perilaku penindasan merupakan tindakan penjajah yang harus dilawan. Sebagai pemilik utama tubuh kita sendiri, kita wajib untuk melawan pelaku penindasan. Melindungi diri sendiri dari jajahan orang lain adalah salah satu tindakan kepahlawanan yang sangat penting dilakukan. Begitu juga apabila kita melihat adanya penindasan, jangan ragu untuk melapor dan memberi kesaksian, karena setiap jiwa wajib mendapat keadilan.
Permasalahan ekonomi dapat menjadi pemicu awal adanya suatu permasalahan. Keadaan ekonomi yang tidak berjalan seimbang antara pendapatan dan pengeluaran dapat menimbulkan stress. Belum lagi pengaruh gaya hidup yang tinggi dan sederet permasalahan ekonomi lainnya, membuat masyarakat mau tidak mau harus terlibat dengan hutang piutang. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki permasalahan serius terhadap kemiskinan. Kasus mengakhiri hidup karena faktor ekonomi tidak pernah reda.
Kesehatan mental menjadi perhatian publik dalam beberapa tahun terakhir. Masyarakat mulai memahami pentingnya menjaga kesehatan mental diri sendiri. Akan tetapi di beberapa kasus, masih banyak yang menganggap mudah permasalahan kesehatan mental. Indonesia merupakan negara dengan penderita Skizofrenia sebanyak 400.000 orang. Data Dinas Kesehatan ini juga diikuti dengan kenyataan bahwa sebanyak 6% penduduk Indonesia di rentang usia 15 tahun ke atas mengalami gejala depresi dan anxiety atau kecemasan. Adanya data-data tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia belum cukup untuk mengendalikan diri dari jeratan permasalahan mental.
Kurangnya kesadaran masyarakat menjadi titik utama polemik bunuh diri yang melanda Indonesia. Stigma masyarakat terkait kesehatan mental yang dianggap berhubungan dengan gangguan jiwa masih sangat tinggi. Tidak hanya itu, keterkaitan antara jiwa rohani dan agama membuat masalah penyakit mental terkesan tidak nyata. Akibatnya keinginan untuk meminta pertolongan professional seperti psikolog menjadi hal tabu yang sulit dilakukan. Padahal meminta bantuan untuk menyelamatkan diri sendiri tidak ada salahnya. Kultur ini kemudian terus berlanjut, dan orang-orang yang merasa memiliki penyakit mental memilih untuk tidak memberitahu siapapun agar nama baiknya tetap terjaga.
Terkadang manusia lupa untuk memahami diri mereka sendiri. Terlarut larut dengan kepentingan lain hingga tidak menyadari bahwa ada satu jiwa yang mampu untuk berjuang dan terus berdiri. Baik penindasan, masalah ekonomi, dan kesehatan mental semuanya saling berkaitan membentuk satu benang merah yang apabila tidak diurai maka akan menewaskan penderitanya. Menjadi pahlawan untuk diri sendiri adalah sebuah kewajiban yang mutlak. Akan tetapi menjadi pahlawan untuk diri sendiri bukan berarti dapat mengkerdilkan orang lain.
Memahami bahwa menjaga kesehatan mental adalah hal yang penting, tidak lantas membuat kita mendiagnosa sendiri kejiwaan dan batin yang sedang terjadi. Adanya suatu fenomena penyakit mental bukan berarti dijadikan trend yang lalu dianggap membanggakan. Pada dasarnya kembali lagi bahwa masyarakat harus mengendalikan dirinya sendiri. Hidup merupakan anugerah luar biasa yang harus diperjuangkan, sebagaimana ratusan tahun lalu para Nenek Moyang memperjuangkan tanah air dari cengkraman penjajah.