Putusan MK Hapus Presidential Threshold: Kemajuan Demokrasi atau Ancaman Stabilitas Politik?

Drs. Sumarno, M.Si. Pakar Politik Dosen FISIP UMJ

Awal tahun 2025 tepatnya pada 2 Januari, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengabulkan uji materi atau judicial review tentang Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang mengatur tentang presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Dikabulkannya uji materi ini bagai pecah telor. Uji materi terkait pasal ini telah dilakukan berulang kali. Sebelumnya, MK telah menerima 32 kali permohonan judicial review untuk perkara yang sama. Sebanyak 24 perkara tidak dapat diterima, enam di antaranya ditolak, sedangkan dua lainnya ditarik kembali.

Perjalanan panjang UU Pemilu memulai babak baru. Tak sedikit pihak baik partai politik maupun masyarakat sipil yang merasa lega dengan adanya uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ini.

Ada harapan untuk mengubah aturan tentang ambang batas pencalonan presiden yang berdampak pada beberapa hal. Salah satunya yaitu pembatasan hak konstitusional pemilih dalam mendapatkan pilihan alternatif.

Selain itu, aturan ini cenderung hanya dapat menghasilkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden pada setiap pemilu. Akibatnya, masyarakat rentan terhadap polarisasi dan perpecahan.

Namun, apakah dengan dihapusnya ambang batas pencalonan presiden menjadi angin segar bagi kemajuan demokrasi di Indonesia?

Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) Drs. Sumarno, M.Si., menjelaskan perkara ini dengan analisis kritis dari berbagai perspektif yaitu demokrasi, praktis, stabilitas politik, dan akademis.

Dosen yang pernah menjabat sebagai Ketua KPU DKI Jakarta (2013 – 2018) ini menerangkan, keputusan MK tersebut akan membawa konsekuensi mendalam bagi demokrasi dan sistem politik Indonesia.

“Dalam analisis kritis, keputusan ini dapat dilihat dari dua sisi utama yaitu upaya memperluas partisipasi politik versus potensi ancaman terhadap stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan,” ungkapnya.

Apabila dilihat dari perspektif demokrasi, penghapusan ambang batas pencalonan presiden adalah terobosan yang berpotensi memulihkan esensi kedaulatan rakyat. Sebelumnya syarat ambang batas 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional pada praktiknya hanya partai besar atau koalisi besar saja yang dapat mengajukan calon.

Hal itu berakibat pada eksklusifitas pemilu. Banyak calon potensial dari partai kecil dan independen tidak dapat berpartisipasi. Artinya, pilihan masyarakat pun menjadi terbatas.

“Dengan adanya keputusan MK mengabulkan judicial review ini, partai kecil dan menengah memiliki kesempatan setara untuk mencalonkan pemimpin, meningkatkan inklusivitas dan keberagaman politik, serta memperkuat legitimasi sistem politik di mata masyarakat,” kata Sumarno.

Sementara itu dari sisi praktis, penghapusan ambang batas ini menurut Sumarno akan menimbulkan masalah serius. Ketiadaan ambang batas menimbulkan potensi banjir kandidat yang berakibat pada pecahnya suara pemilih dan memperpanjang proses pemilu hingga dua putaran.

Ia menjelaskan, hal tersebut akan berimplikasi pada peningkatan biaya politik dan administrasi, serta berpotensi memperpanjang ketegangan politik.

“Semakin banyak calon, belum tentu memperbaiki kualitas demokrasi karena partisipasi yang masif tidak selalu disertai dengan kompetensi dan kapabilitas kepemimpinan yang memadai. Dengan demikian, risiko munculnya figur-figur populis tanpa program substansial juga meningkat,” tambahnya.

Dari sisi stabilitas politik, Sumarno melihat absennya ambang batas pencalonan dapat menimbulkan fragmentasi kekuatan politik. Dalam sistem multi-partai yang kompleks seperti Indonesia, munculnya banyak calon dapat memperburuk disfungsi politik pasca-pemilu, terutama dalam pembentukan koalisi pemerintahan.

“Tanpa koalisi yang solid, presiden terpilih mungkin menghadapi kesulitan dalam menjalankan agenda kebijakan yang dapat merusak efektivitas pemerintahan dan memperpanjang siklus instabilitas politik,” kata Sumarno.

Secara akademis, apabila tidak ada ambang batas, maka perlu ada mekanisme pendukung yang kuat untuk memastikan sistem tetap berjalan efektif. Misalnya dengan menambahkan aturan pada UU Pemilu yang mengatur sistem penyaringan calon.

Itu untuk memastikan yang dapat maju dalam kontestasi hanya kandidat paslon memiliki kapasitas dan rekam jejak baik. Proses pencalonan juga perlu diintegrasikan dengan mekanisme partisipasi publik yang lebih bermakna untuk memperkuat hubungan antara representasi politik dan preferensi masyarakat.

Ia berkesimpulan, penghapusan ambang batas dapat memperluas akses partisipasi politik dan memperkaya demokrasi. Namun tanpa pengelolaan yang tepat, langkah ini dapat menciptakan tantangan baru yang justru merugikan stabilitas politik dan tata kelola pemerintahan.

“Solusi terbaik adalah mengombinasikan inklusivitas dengan mekanisme seleksi yang berbasis kualitas, sehingga demokrasi Indonesia tidak hanya lebih terbuka tetapi juga lebih efektif dan berkelanjutan,” imbuh Sumarno.

 

Penulis: Dinar Meidiana

Editor: Sofia Hasna

Kata Pakar Lainnya