Kader, warga maupun simpatisan persyarikatan Muhammadiyah seharusnya tahu matan dari Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM). Sebab, kalau ideologi dalam persyarikatan tidak dikenali dan dipahami maka akan sulit untuk menjadi spirit.
Pernyataan tersebut sebagaimana disampaikan Ketua LPP AIK UMJ Dr. Saiful Bahri saat menyampaikan sambutan pada Kajian Ideologi Muhammadiyah dengan tema “Pedoman Hidup Warga Muhammadiyah (PHIWM) sebagai Spirit Muhammadiyah” pada Kamis (14/4/2022) yang dilakukan secara daring dengan narasumber Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sekaligus Ketua BPH UMJ Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed.
Saiful berharap agar kajian ideologi ini dapat terlaksana secara rutin. “Semoga bisa rutin setiap bulan atau dua bulan sekali,” harapnya.
Menurut Saiful adalah suatu keharusan bagi kader, warga Muhammadiyah atau simpatisan secara umum tahu pedoman dari persyarikatan yang perlu dijadikan pegangan.
Rutinitas kajian ideologi ini perlu terus dilaksanakan sehingga pemikiran tokoh Muhammadiyah bisa dikaji sebagai landasan knowledge dan juga sikap hidup. “Sehingga sebagai warga Muhammadiyah mendarahdaging ideologinya, ciri khas itu nampak dari perilakunya,” jelasnya lagi.
Selain itu, Saiful juga berharap agar dari pengajian ini paling tidak kader, warga dan simpatisan Muhammadiyah mengetahui matan persyarikatan sampai ke produk tarjih. “Sampai betul-betul menjadi warga Muhammadiyah an ilmin wa qonaah,” pungkasnya.
Prof. Abdul Mu’ti, M.Ed. menyampaikan bahwa PHIWM disusun sebagai bagian dari strategi dan bagian dari ikhtiar bersama untuk bagaimana sebagai seorang muslim senantiasa berpijak pada tuntunan ajaran agama Islam. “Sebagai warga persyarikatan senantiasa mematuhi dan melaksanakan apa yang menjadi ketentuan dan berbagai hal dalam berorganisasi,” jelasnya.
Lebih lanjut menurutnya perlu diperhatikan bagaimana Muhammadiyah menyebut diri sebagai organisasi. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 4 (empat) disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
“Kalau dipahami dari pasal 4 (empat) itu ada 3 (tiga) poin penting yang menjadi landasan dari konstruksi teologi dan strategis mengenai Muhammadiyah, pertama, Muhammadiyah adalah gerakan Islam (harokatul islam) yang mengandung 2 (dua) prinsip yaitu menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang aktif dan dinamis dari sisi gerakan maupun pemahaman keagamaan kedua sebagai gerakan Muhammadiyah senantiasa terus berkembang.
Dalam frasa yang sederhana Muhammadiyah itu dari Islam, sesuai dengan islam dan untuk Islam.
Kedua, gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar sebagai bagian dari ajaran agama Islam. “Dari sini sudah mulai ada ciri yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam lainnya,” jelasnya. Menurutnya, dakwah dalam pandangan Muhammadiyah adalah proses yang dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan untuk menghadirkan Islam yang rahmatan lil alamin. “Saya cenderung pada dakwah itu sebagai proses daripada hasil,” ucapnya.
Dalam pandangan Prof. Abdul Mu’ti, Muhammadiyah itu melanjutkan misi risalah yakni menghadirkan Islam sebagai agama yang membawa manusia pada keselamatan dan kesejahteraan material dan spiritual atau jasmaniah dan ruhaniah dan juga misi khilafah berkaitan dengan tugas dan kedudukan manusia sebagai khalifatullah yang bertugas untuk menciptakan kemakmuran, kejayaan dalam kehidupan umat manusia.
“Menjadi organisasi yang memberi solusi atas berbagai permasalahan dan pertanyaan, sehingga dimensi berdakwah itu sangat luas,” jelasnya lagi.
Prof. Mu’ti menekankan bahwa amar ma’ruf nahi munkar ini sering dimaknai dalam dimensi politik padahal, menurutnya, amar ma’ruf nahi munkar itu lebih kepada gerakan ilmu daripada politik.
“Muhammadiyah itu awalnya melakukan gerakan ilmu, mengajak masyarakat untuk beragama dengan ilmu dan beraktivitas dengan ilmu. Sehingga Muhammadiyah tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan dalam berdakwah. Kita tidak menghakimi tapi mendekati baik-baik,” tambahnya.
Ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaruan). “Bagi Muhammadiyah pintu ijtihad itu masih terbuka. Islam itu masih terbuka untuk kita kaji ulang,” jelasnya lagi. Menurutnya, sebagai wahyu Islam itu sudah selesai tapi pemahaman atas Quran itu terus berkembang sehingga Muhammadiyah membedakan antara wahyu dan ra’yu, membedakan Al-Quran dengan tafsir Al-Qur’an.
Prof. Mu’ti menambahkan bahwa dalam melakukan tajdid paling tidak melakukan 3 (tiga) tajdid yaitu tafhiim yakni memahami ajaran agama Islam, bagaimana memahami Al-Quran, Sunnah, Atsar dan sumber lainnya. Kemudian, tajdid dalam pemikiran yakni melahirkan gagasan barutidak hanyamasalah agama tapi juga keilmuan. Terakhir, tajdid dalam gerakan yaitu bagaimana Muhammadiyah mengembangkan amal usaha dan bagaimana amal usaha ini dikelola sebaik-baiknya.
Dalam hal PHIWM, Prof. Mu’ti menjelaskan bagaimana ajaran agama Islam itu diamalkan dalam 3 (tiga) dimensi yaitu ajaran, nilai dan dimensi praksis yang berkaitan dengan pengamalan. (KSU/MZ)