Unit Pelaksana Teknis Layanan Konseling dan Psikologi Mahasiswa (UPT LKPM) dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (SATGAS PPKPT) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menyelenggarakan Diskusi Publik secara daring bertema “Peran Dosen sebagai Role Model Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”, Kamis (12/6/25) lalu.
Baca juga: UPT LKPM dan SATGAS PPKPT UMJ Bahas Ruang Aman bagi Perempuan di Ranah Publik
Ketua UPT LKPM UMJ, Dr. Ati Kusmawati, S.Pd., S.Psi., M.Si., menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan agenda rutin Satgas PPKPT UMJ untuk mengedukasi sivitas akademika dan masyarakat terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
“Diskusi publik ini merupakan yang kelima kalinya dan akan terus diselenggarakan setiap bulan sebagai bentuk komitmen kami dalam membangun lingkungan kampus yang aman dan responsif,” ujarnya saat diwawancarai pada hari Selasa (17/6/25).
Sebagai narasumber, Dr. Izzatusolekha, M.Si., menyampaikan bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi saat ini telah didukung oleh regulasi yang jelas.
“Regulasi sudah ada, yaitu Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Sebelumnya, kita sama-sama tahu bahwa RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah lama diperjuangkan dan baru disahkan pada 2022,” jelasnya.
Izzatusolekha menambahkan, hingga pertengahan 2024 belum tersedia data terbaru, namun tercatat 1.919 kasus kekerasan seksual telah dilaporkan oleh perguruan tinggi dalam beberapa tahun terakhir.
“Biasanya data akumulatif muncul di akhir tahun. Tapi dari laporan sebelumnya, tercatat ada 1.919 korban kekerasan seksual yang dilaporkan institusi pendidikan tinggi,” tuturnya.
Izzatusolekha juga menyoroti bahwa di beberapa perguruan tinggi, pelaporan kekerasan seksual masih bersifat formalitas tanpa tindak lanjut yang serius. Menurutnya, ini menunjukkan bahwa penanganan kasus masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
“Beberapa kampus memang telah membentuk Satgas atau menyusun Peraturan Penanganan Kekerasan Seksual (PKS), tapi implementasinya masih terbatas,” ujar Izzatusolekha.
Ia menjelaskan bahwa keterbatasan ini juga dipengaruhi oleh banyaknya korban yang memilih diam. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang menarik diri dari aktivitas kampus dan mengalami penurunan dalam proses akademik.
Lebih lanjut, Izzatusolekha menekankan pentingnya norma dan nilai yang harus dijunjung oleh dosen maupun pejabat kampus.
“Harus ada nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi dosen dan pejabat kampus untuk tidak melakukan hal-hal seperti ini,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap mahasiswa sangat signifikan. Berdasarkan data, sekitar 22% mahasiswa di perguruan tinggi mengalami kekerasan seksual, baik yang terlaporkan maupun tidak.
Sebagai penutup, Izzatusolekha menekankan pentingnya peran dosen dalam menciptakan ruang aman bagi mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual. Ia menilai bahwa penanganan kasus tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada korban.
“Mahasiswa tidak seharusnya menangani sendiri. Kita perlu memberikan akses pada layanan konseling untuk membantu proses pemulihan trauma dan menciptakan rasa aman. Dosen juga harus menjadi pihak yang membuka ruang komunikasi dan menjadi tempat yang nyaman bagi mahasiswa untuk mengadu,” jelas Izzatusolekha.
Menurutnya, keberpihakan kampus terhadap korban akan memberikan dampak positif, tidak hanya pada pemulihan individu, tetapi juga pada citra institusi. Kampus yang mampu menangani kasus kekerasan seksual dengan serius akan membangun kepercayaan publik.
Kegiatan ini menghadirkan Satgas PPKPT dari berbagai perguruan tinggi swasta di bawah naungan LLDIKTI Wilayah III. Kehadiran mereka dinilai penting untuk menjalin silaturahmi, sekaligus memperdalam pemahaman terkait tugas dan fungsi Satgas PPKPT di perguruan tinggi.
Editor : Sofia Hasna