Hari ketiga pelaksanaan Pengkajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1446 H di Universitas Muhammadiyah Jakarta masuk pada materi keempat yang mengangkat tema besar Pengembangan Wasathiyah Islam Berkemajuan dalam Muhammadiyah, ditinjau dari Pengalaman Praksis. Sabtu (8/03/2025)
Pada kesempatan kali ini, narasumber yang dihadirkan yakni, Prof. Dr. Ahmad Dahlan, M.Ag., Prof. Ahmad Najib Burhani, Ph.D., Dr. Didik Suhardi, Dr. Nurul Yamin, M.Si., serta dimoderatori oleh Wakil Rektor IV UMJ, Dr. Septa Candra, M.H.
Baca juga: Abdul Mu’ti: Ummatan Wasatha, Sikap Umat yang Adil dan Moderat
Ketua Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Non Formal Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Didik Suhardi, Ph.D. menyampaikan pesan bahwa konsep Wasathiyah Islam Muhammadiyah secara praksis dari sisi pendidikan adalah sebagai gerakan dakwah untuk memberantas kebodohan.
“Berangkat dari ketika Kiayi Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dalam rangka menjawab persoalan dimana ada masalah, adanya ketidakberpihakan dari penjajah, dengan keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, hal itu menjadi latar belakang berdirinya pendidikan Muhammadiyah” ucapnya
Berbeda dengan kondisi sekarang, kata Didik, saat ini dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang luar biasa, sekolah sudah banyak yang bagus dengan fasilitas hingga pendidikan gratis, sehingga semakin banyak tumbuh lembaga pendidikan diera saat ini.
Didik juga mengatakan bahwa selama ini, pendidikan Muhammadiyah memiliki ciri khas yang menjadi pembeda dalam kurikulum, yakni mata pelajaran ISMUBA (Al Islam Kemuhammadiyah), sehingga menjadi harapan bahwa output yang dimiliki kedepan para lulusan mamput mengimplemnetasikan nilai-nilai karakter islami, berdaya saing global, SDM yang kompeten dalam memajukan sekolah/madrasah unggul, hingga mampu berkolaborasi dan menjadi inspirasi.
Saat ini, kata Didik, guru Muhammadiyah yang berprestasi yang sudah lulus menjadi PPPK akan otomatis pindah ke sekolah negeri, sehingga sekolah awal akan banyak kekurangan guru.
“Alhamdulillah dengan kehadiran Mas Mu’ti sebagai mendikdasmen, sudah ada perubahan secara signifikan, guru-guru yang dipindah negeri, insya Allah sudah ada permenPANnya, guru tersebut boleh direstribusikan kembali (restoring) ke sekolah swasta, namun kewenangan yang berhak mendistribusi itu adalah pemerintah daerah” ucapnya.
Hal yang menggembirakan lainnya adalah bahwa tidak semua sekolah muhammadiyah melayani umat muslim, kita juga melayani non muslim, seperti sekolah di Bali, NTT, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, hingga Papua
“Atas support Pimpinan Pusat dari sisi anggaran, kami sudah melakukan pelatihan hampir enam ribu kepala sekolah dengan semangat dapat merubah cara berfikir menjadi growth maindset, memajukan pendidikan” ujarnya.
Didik juga menyampaikan bahwa Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pendidikan Non Formal PP Muhammadiyah berupaya agar sekolah Muhammadiyah memiliki kurikulum khusus.
“Alhamdulillah, dalam Tanwir di Kupang, telah launching Kurikulum Satuan Pendidikan Muhammadiyah (KSPM) yang sudah terintegrasi antara Ismuba dan kurikulum nasional” tutup Didik.
Pembahasan Wasathiyah Islam dalam Pandangan Praksis dikemukakan juga Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah oleh Dr. M. Nurul Yamin, M.Si. ia mengatakan kalau gerakan praksis wasathiyah islam harus memiliki nilai-nilai yang dapat diangkat pada level yang jauh lebih tinggi sehingga menjadi inspirasi “syuhadā`a ‘alan-nāsi”
Lebih khusus, contoh praksis wasathiyah islam adalah spirit teologi dalam surah Al Maun, “Paling tidak, Yamin menyampaikan ada dua hal yang menjadi inspirasi dalam gerakan wasathiyah islam berkemajuan, bahwa ternyata Al Quran memberikan inspirasi bagaimana memulai gerakan dakwah islam, dari segi gaya bahasa komunikasi baik dalam hubungan dengan Allah dan hubungan kita sesama manusia seperti yang ada dalam kandungan surah Al Maun tersebut”
Dalam paparannya, ia menyampaikan ada enam contoh praksis sikap sosial Gerakan Wasathiyah Islam Berkemajuan (GWIB) dari mulai Transfomasi Kebudayaan, Proses Berkelanjutan, Inklusif, Kolektif, Adaptif, dan Partisipasi Masyarakat.
Menurutnya, sikap sosial harus terimplementasi dengan sikap tegas dalam pendirian, luas dalam wawasan, luwes dalam sikap, saling menghargai perbedaan pendapat, tidak ada hagemoni mayoritas, tirani minoritas hingga saling toleransi dalam menjalankan segala aktifitas beragama. Sebagai warga Muhammadiyah, Wasathiyah Islam Berkemajuan sudah dapat tercermin jika memiliki sikap tersebut.
Yamin menekankan pentingnya kolaborasi dalam membangun wasathiyah islam berkemajuan. Dari sisi internal, ada lima hal, pertama, kolaborasi perorangan/aktifis, AUM non pendidikan, Mejelis/Lembaga, Ortom, dan PTMA. Sedangkan dari sisi eksternal ada perorangan/aktifis, Swasta, BUMD, BUMN, hingga Pemerintah.
Sebagai contoh, kemajuan Gerakan Wasathiyah Islam, Yamin menggambarkan bagaimana AUM bergerak mentransformasi kebudayaan suku Kokoda Distrik Mayarmuk, Kabupaten Sorong, Papua Barat yang sebelumnya tidak memiliki tempat tinggal (nomaden), komunal, bergantung, hingga belum berorganisasi menjadi sudah memiliki tempat tinggal (tetap), memiliki kampung/desa, mandiri, kampung Muhammadiyah hingga memiliki tokoh/ketua APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) Kabupaten Sorong. “Artinya ada sebuah transformasi kebudayaan nomaden yang berkembang menjadi masyarakat yang berkemajuan hingga memiliki dana desa” ucapnya.
Editor : Sofia Hasna