Pengalaman Praksis Wasathiyah Islam disampaikan oleh Alumni Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah (IMM) yang saat ini menjabat sebagai Dirjen Saintek Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi, Prof. Ahmad Najib Burhani, Ph.D. Hal itu disampaikan saat menjadi narasumber Pengkajian Ramadan PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sabtu (8/03/2025).
Sependapat dengan Abdul Mu’ti dan Din Syamsuddin saat menjelaskan tentang kedudukan Wasathiyah Islam, Najib juga mengutip surah Al Baqarah Ayat 143. “Dalam implementasinya, kita harus memposisikan sebagai umat pertengahan, umat terbaik, umat yang adil serta umat yang berada pada jalan yang lurus, tidak ke kanan maupun ke kiri,” ungkap peneliti BRIN ini.
Baca juga: Abdul Mu’ti: Ummatan Wasatha, Sikap Umat yang Adil dan Moderat
Wasathiyah islam dan tantangan dari dalam islam itu sendiri adalah berupa fragmentasi otoritas keagamaan dan desentralisasi otoritas keagamaan, misalnya dengan kemunculan gerakan hijrah dan gerakan salafi.
Namun Najib menambahkan bahwa terdapat beberapa masalah di kalangan umat Islam yang menjadi tantangan Islam moderat, seperti otoritarianisme yang mengarah pada konservatisme.
Ia mengingatkan kepada peserta tentang segregasi, intoleransi, kebencian, al-walla wa al-barra. Jika hal tersebut terus ditanamkan dan diindoktrinasi sejak anak-anak, maka masyarakat yakin bahwa itulah yang diajarkan oleh agama. “Sebagian orang, masih terus menyebarkan dikotomi tersebut, termasuk melalui media sosial,” tambahnya.
“Wasathiyah Islam mendapat tantangan dari luar, faktor globalisasi dan menguatnya politik identitas. Di tengah berbagai arus ini, perlu ada pengarusutamaan moderasi islam, islam yang moderat, Keyakinan tentang kebenaran Al-Qur’an dan keasliannya bahwa keseluruhannya berasal dari Allah,” ujarnya.
Di Indonesia, ummatan wasaṭhan umumnya diterjemahkan sebagai ‘Islam moderat’ namun, alih-alih membandingkan komunitas ini dengan komunitas agama lain, status Islam Moderat dibandingkan dengan kelompok lain yang umumnya disebut Muslim liberal dan Muslim radikal.
“Komparasi umat islam dengan umat kristen atau yahudi misalnya, makna dari Ummatan Wasathan itu menyempit, wasathiyah islam sering kali diterjemahkan komparasi didalam internal umat islam itu sendiri, yaitu antara lain kelompok liberal dan kelompok (katakanlah) radikal” ujarnya.
Pada kesempatan ini, Ia juga mengutip definisi dari AR Fachruddin dalam paparannya yang menjelaskan bahwa salah satu ciri utama dari fundamentalisme itu adalah kepatuhannya kepada doktrin bahwa Kitab Suci itu tak mengandung kesalahan sedikitpun dan bahwa Kitab Suci itu sepenuhnya wahyu Ilahi, maka gerakan Muhammadiyah harus dianggap sebagai gerakan fundamentalis.
Najib merumuskan ada enam karakter wasathiyah islam dalam Muhammadiyah, yaitu Purifikasi dan Dinamisasi, Modernis, Islam dan Jawa, Membendung arus kristen tapi bersahabat dengan mereka, Islamic-Calvinism (Welas Asih & Keummatan), Apolitik (tapi Berpolitik) misalnya dalam pendidikan.
Baginya, wasathiyah islam dalam hal pendidikan harus bisa mengisi peradaban dan kemajuan terkait dengan STEAM (Science, Technology, Engineering, Art dan Mathematics). Wasathiyah islam dalam pendidikan harus bisa mengisi dan membangun peradaban khususnya bagi warga Muhammadiyah itu sendiri.
Lebih jauh, Peneliti BRIN ini juga menjelaskan kriteria terakhir dari kelompok fundamentalis adalah reactive, defensive, dan selective. Mereka selektif terhadap ayat-ayat-Al-Qur’an, terutama yang menguntungkan kelompoknya dan sesuai dengan ambisinya. Mereka selektif terhadap tradisi dan budaya yang diambil. Baju Arab dan pembatasan perempuan ditekankan, tapi ayat-ayat tentang kemajuan umat tidak terlalu diperhatikan.
“Terhadap kebudayaan Barat, mereka mengambil teknologinya dan menolak filosofi yang melandasinya, yaitu modernisasi dan rasionalisasi. Mereka membedakan antara hadharah (peradaban) dan madaniyah (materi peradaban),” tutupnya.
Editor : Sofia Hasna