Seminar Filsafat di Era Society 5.0

Oleh :
Kholifatul Husna
Prof. Dr. Rd Mulyadhi Kartanegara saat menyampaikan materi Studium General “Islamic Civilization in The Era of Society 5.0: Bridging The Gap Between Humanity Technology, and Theological Values” bertempat Aula FEB, Kamis (22/12).

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta (FAI UMJ) menggelar Stadium General dengan mengusung tema “Islamic Civilization in The Era of Society 5.0: Bridging The Gap Between Humanity Technology, and Theological Values” di Aula FEB UMJ (22/12). Acara ini menghadirkan Guru Besar Filsafat Islam UIN Jakarta Prof. Dr. Rd Mulyadhi Kartanegara sebagai narasumber yang membahas filsafat di era society 5.0.

Hadir pula Dekan FAI UMJ, Dr. Sopa, M.Ag. Wakil Dekan I FAI UMJ, Busahdiar, M.A., Wakil Dekan II Dra. Romlah, M.Pd.,  Wakil Dekan III FAI UMJ, Nurhadi, M.A., beserta jajarannya.

Sopa dalam sambutannya memberikan gambaran ketertinggalan Indonesia dari Jepang dalam hal society revolusi. “Ketika masyarakat Indonesia ramai-ramai mendengungkan industri era 4.0, itu masyarakat Jepang sudah lewat dan sudah mulai mewacanakan society era 5.0. Maka dari itu masyarakat Indonesia mestinya sudah harus mempersiapkan serta mengantisipasi untuk menyambut society era 5.0”, jelas Sopa.

Kendati demikian, Jepang yang sudah memulai lebih dulu mempersiapkan atau menyambut society era 5.0 sebenarnya mulai kewalahan lantaran susunan demografi terbanyak skala usia masyarakat Jepang bukan lagi usia produktif melainkan usia lanjut atau manula karena angka harapan hidup di Jepang sudah mencapai di atas 70 tahun. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Jepang, sehingga mempertimbangkan revolusi karena komposisi usia manula terbanyak dan angka kelahiran di Jepang cukup rendah.

Kemajuan teknologi yang dibuat oleh manusia seiring waktu semakin maju dan berkembang. Salah satunya adalah Society 5.0 yang digagas oleh negara Jepang. Konsep ini memungkinkan kita menggunakan ilmu pengetahuan yang berbasis modern seperti IoT, AI dan Robot untuk kebutuhan manusia dengan tujuan agar manusia dapat hidup dengan nyaman dan lebih efektif.

Lebih lanjut, Sopa menjelaskan dalam sambutannya era Society 5.0 dimana komponen utamanya adalah manusia yang mampu menciptakan nilai baru melalui perkembangan teknologi dapat meminimalkan adanya ketegangan pada manusia dan masalah ekonomi di kemudian hari. Memang rasanya sulit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan karena saat ini negara Jepang sudah membuktikannya sebagai negara dengan teknologi yang paling maju.

Perkembangan teknologi yang cepat saat ini salah satunya dipicu dengan munculnya konsep masyarakat 5.0 atau smart society yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara manusia, alam, dan teknologi. Perubahan teknologi ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, siapapun, termasuk umat Islam harus dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi menghadapi perubahan tersebut.

Maka dari itu, Nurhadi selaku moderator dalam kegiatan Studium General ini mengatakan bahwa tujuannya mengundang Mulyadhi Kartanegara  sebagai guru besar filsafat Islam sebagai narasumber agar mahasiswa FAI UMJ dan UIN Jakarta mampu memahami peradaban Islam di era society 5.0 dengan menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai kemanusiaan, teologi, dan teknologi.

Mulyadhi guru besar filsafat Islam UIN Jakarta dalam penjelasannya mengenai materi Sejarah Filsafat Barat dan Islam mengatakan bahwa menjadi seorang filsuf Islam harus memiliki kepercayaan kepada Tuhan, menalar Tuhan adalah obsesi filsafat sejak awal. Beda halnya dengan filsafat barat yang tidak mempercayai adanyan Tuhan. Hal ini membuktikan keberadaan Tuhan dengan segala argumentasi rasional yang ada adalah keinginan terbesar para filsuf dari 200 tahun yang lalu.

Para filsuf muslim mempercayai status ontologis obyek-obyek meta fisika seperti wujud sebagai wujud, Tuhan, Malaikat, akal dan jiwa, maka pengetahuan tentang obyek-obyek meta fisika ini sebagaimana adanya adalah sesuatu yang mungkin secara filosofis untuk mengetahui objek-objek ilmu sebagaimana adanya, seseorang bisa mengetahui langkah-langkah dan prosedur yang diambil oleh seorang ilmuwan untuk sampai pada pengetahuan tentang sebuah objek sebagaimana adanya.

Lebih lanjut, Mulyadhi menggambarkan syarat menjadi seorang filsuf dari negara Iran, yang pertama adalah tazkiatul nafs tugas kedua setelah mendapatkan filosofi. “Jadi filsuf itu adalah sufi, tidak akan bisa menjadi filsuf sebelum ia menjadi sufi”. terang Mulyadhi.

Tantangan menjadi seorang sufi Islam adalah harus bisa memfilsafatkan atau menjelaskannya secara fasih melalui metode burhan (memfilsafatkan pengalaman mistik (intuitif) setelah itu perlu merujuk pada Al-Qur’an dan hadist. Seorang filsuf harus memahami betul apa yang ingin dia utarakan atau sampaikan seolah-olah sedang mengasah otak jangan sampai tidak percaya akan adanya Tuhan.

Kegiatan yang berlangsung secara khidmat dengan dihadiri lebih dari 200 mahasiswa FAI UMJ dan UIN Jakarta ini diharapkan agar mahasiswa mampu memahami dari acara studium generale hari ini baik dari narasumber ataupun penyampaian dari Dekan FAI UMJ.

Ketua pelaksana seminar Fatma Nurmulya, M.Pd. menyampaikan harapan untuk mahasiswa FAI UMJ yang menjadi peserta Studium Generale agar mampu mengaktualisasikan kehidupan sosialnya demi terbentuknya karakter sesuai dengan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) serta mahasiswa harus mampu memberikan inspirasi saat terjun ditengah masyarakat.(KH/KSU)