Rektor UMJ Tegaskan Pendidikan Politik yang Sesuai Aturan

Oleh :
KSU UMJ Editor
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Ma’mun Murod, M.Si., saat menjadi narasumber pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Electoral Institute for Development Quality (EDEV), pada Selasa (07/06).

Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Ma’mun Murod, M.Si., berkesempatan menjadi narasumber pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Electoral Institute for Development Quality (EDEV), pada Selasa (07/06). Seminar nasional digelar dalam rangka peluncuran Lembaga EDEV sekaligus peluncuran buku Mengukur Kualitas Demokrasi yang ditulis oleh Dr. Warjio, Ph.D. Bertempat di Oasis Amir Hotel, Jakarta Pusat, seminar ini dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga anggota DPR. Selain Rektor UMJ, EDEV juga menghadirkan Kapolri dan penulis buku sebagai narasumber.

Kombespol. Agus Sutrisno, S.IK., M.Si., mewakili Kapolri memaparkan terkait dengan peran dan dukungan Polri dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Dalam hal ini Polri bertugas dan berupaya melindungi dan mengayomi masyarakat dengan cara melakukan pengamanan pada pemilu serentak agar berjalan lancar.

Agus mengatakan bahwa mendekati agenda pemilu, akan semakin besar potensi ancaman yang akan dihadapi. “Kami menyusun indeks potensi kerawanan, sehingga akan mendapat gambaran secara real apa ancaman yang akan timbul,” ungkap Agus.

Dalam perspektif akademisi, Dr. Ma’mun Murod, M.Si., Rektor UMJ sejak membuka pembahasan menyatakan dengan tegas terkait pendidikan politik di Indonesia. “Kita harus terbiasa berbangsa dan bernegara dengan aturan yang benar. Jangan bangsa ini diajari dengan aturan-aturan yang tidak benar,” tegas Ma’mun.

Rektor UMJ yang juga pendiri Pusat Studi Islam dan Pancasila UMJ banyak mengaitkan kualitas demokrasi dengan Pancasila. Ada banyak hal mendesak untuk diwujudkan, termasuk kehadiran nilai-nilai Pancasila dalam praktik demokrasi. “Hampir semua pandangan terkait demokrasi yang berkenaan dengan pemilu, selalu menunjukkan bahwa demokrasi itu sistem yang membuka kesempatan lebar pada masyarakat untuk memilih pemimpin secara regular,” ungkap Rektor UMJ mengawali pembahasan.

Menurutnya, demokrasi seringkali paradoks. Pada praktiknya demokrasi dikebiri bahkan dijadikan alat tunggangan oleh golongan politik tertentu. Lebih lengkap, Rektor UMJ juga memberikan beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam rangka upaya peningkatan kualitas demokrasi. Mulai dari sistem politik dan peraturan perundang-undangan yang harus senafas dengan demokrasi, pendidikan politik bagi masyarakat, upaya check and balance antara eksekutif dan legislatif, dan peningkatan kualitas pemilu. “Harus digunakan untuk membangun demokrasi yg lebih berkualitas,” ungkap Ma’mun.

Selama seminar tersebut, Ma’mun banyak mengkritik penyelenggara pemilu dan partai politik. Ia mencoba membandingkan pelaksanaan pemilihan di Indonesia dan Amerika, bahkan juga coba membandingkan dengan praktik pemilihan dalam politik Islam (ahlul halli wal aqdhi). Menurutnya, pemilihan pemimpin oleh MPR adalah bentuk pemilihan yang tepat walaupun pada praktiknya belum ideal. “Memilih pemimpin bukan urusan masyarakat biasa”, kata Ma’mun.

Ia juga menyayangkan perubahan ekstrem bentuk pemilihan di Indonesia menjadi pemilihan umum. Selain itu, Ma’mun juga mengkritik masyarakat yang diyakini kurang cerdas dalam memilih. Maka dalam konteks pemilu, ia merasa masyarakat sebagai pemilih harus diberikan pendidikan politik. “Kalau mau maju, artinya mulai dari partai politik, pelaksana pemilu, maupun masyarakat harus berubah”, ujar Ma’mun.

Berkaitan dengan hal tersebut, Dr. Warjio, Ph.D., penulis buku Mengukur Kualitas Demokrasi, mengatakan bahwa peran kampus sangat penting dalam meningkatkan kualitas demokrasi. “Kampus punya tanggung jawab dalam pendidikan politik. Secara praktis, kampus bisa memberikan contoh demokrasi yang berkualitas. Tidak hanya dalam tataran teori, tapi dalam praktik harus ditunjukkan”, ujar Warjio.

Menurutnya, kampus bisa memberikan dukungan bagi masyarakat karena kampus melahirkan insan akademis yang akan menjadi representasi masyarakat dalam sistem politik. “Kampus harus menjadi kawacandra di muka dalam proses meningkatkan kualitas demokrasi”, ungkap Warjio. (DN/KSU-Humas)