“Kami pikir tidak banyak Universitas atau lembaga akademik yang mengadakan diskusi publik seperti ini apalagi zaman pandemi dan ini kami anggap sangat penting sebagai pengetahuan masyarakat juga pengetahuan teman-teman mahasiswa,” tegas Dr. L. Saydiman Marto mengawali paparannya saat menjadi narasumber Dialog Publik Magister FISIP UMJ bekerjasama dengan Institute for Politics, Peace and Security Studies (IPPSS) yang dilaksanakan secara hybrid dan peserta offline di Hotel GranDhika Jakarta pada Rabu (02/03/2022) kemarin.
Dialog publik ini menghadirkan beberapa narasumber lain seperti Anggota DPD RI Hj. Fahira Idris, Ketua KPU RI Ilham Saputra,S.IP., dan Dosen Magister Ilmu Politik FISIP UMJ Sri Yunanto, Ph.D., serta dimoderatori oleh Direktur IPPSS Dr. Angel Damayanti, M.Sc.
Menurut Saydiman, isu-isu dan agenda nasional saat ini adalah Pemilu dan Pilkada 2024 dimana hasil pilkada 2017 dan 2018 itu akan habis di Tahun 2022. “Di bulan Mei ini sudah ada yang habis baik itu kepala daerah gubernur, bupati maupun walikota dan hasil Pilkada 2018 itu habis di tahun 2023. Nah itulah bagaimana dengan mekanisme pengisiannya,” jelasnya.
Bagi Saydiman, pemerintah saat ini dalam kapasitasnya melaksanakan undang-undang nomor 10 tahun 2016 di pasal 9 yang menyatakan bahwa kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur itu diangkat menjabat gubernur dengan pejabat gubernur yang bersumber dari JPT Madya.
Dalam hal pergantian jabatan tersebut, Kemendagri sudah melakukan mapping, mengatur pengisian dengan undang-undang yang berlaku serta regulasi dan mekanismenya.
Fahira Idris, anggota DPD RI dapil Provinsi DKI Jakarta, mengatakan bahwa bicara tentang Pemilu dan Pilkada serentak 2024 ini harus dilihat sebagai sebuah transisi dan kebijakan politik hukum nasional yang akan mengakibatkan imbas dari kebijakan tersebut. Bagi Fahira, ini berarti hampir setengah wilayah Indonesia akan dipimpin kepala daerah yang bukan dipilih langsung oleh rakyat sampai terpilih kembali kepala daerah hasil pilkada 2024.
Yang perlu mendapat perhatian dan catatan, menurut Fahira adalah beberapa hal krusial. Persoalan krusial menyangkut pergantian itu seperti kepala daerah bukan dipilih langsung oleh rakyat, masa jabatan PJ 1 tahun sampai lebih dari 2 tahun, menghadapi agenda nasional Pemilu dan Pilkada 2024, ketersediaan SDM, polemik rujukan utama aturan pengisian PJ dan tantangan yang begitu kompleks jika pandemi belum juga berakhir.
Sedangkan ketua KPU RI Ilham Saputra banyak menyoroti regulasi serta dinamika kepemiluan yang akan dihadapi KPU RI. Kompleksitas kepemiluan ini mesti dilandasi beberapa pertimbangan, seperti: tahapan yang efisien dan efektif, tahapan tidak menjadi pemicu konflik yang semakin luas, waktu yang cukup bagi partai politik untuk menyiapkan syarat pencalonan untuk Pilkada 2024, dan perlu memperhatikan hari libur kegamaan dan nasional.
Untuk itu, bagi Ilham Saputra, perlu strategi mempersiapkan tahapan tersebut. Strategi-strategi yang diperlukan antara lain: memperkuat kerjasama antar lembaga dan instansi, memperkuat penggunaan teknologi informasi dalam pemilu, menyusun tahapan pemilu dan pemilihan dengan memperhatikan implikasi, mengoptimalkan kapasitas dan manajemen SDM dan mengoptimalkan anggaran di setiap tahapan pemilu dan pemilihan.
Sedangkan Sri Yunanto lebih banyak menjelaskan soal dampak politik dan bagaimana legitimasi politik. Yunanto juga mengingatkan akan isu-isu rawan gerakan masa dan radikalisme. Di sisi lain, Yunanto juga mengajukan beberapa rekomendasi terkait kemungkinan adanya dampak politik menjelang 2024 nanti. Menurutnya, salah satu rekomendasi adalah jangan sampai ada tabrakan antara parpol, masyarakat dan pemerintah. Selain itu, penggantian juga harus memiliki legitimasi politik yang tinggi sebagaimana legitimasi politik yang digantikan. Juga, perlunya efektivitas pemerintahan dan jaminan netralitas. (KSU/MZ)