Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait rendahnya gaji guru dan dosen memicu kontroversi publik. Ucapan tersebut disampaikan dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia 2025 di Institut Teknologi Bandung (ITB), Kamis (07/08/2025).
Dalam forum tersebut, Sri Mulyani menyinggung bahwa keluhan mengenai kecilnya gaji guru dan dosen kerap disampaikan masyarakat. Menurutnya, masalah ini menjadi tantangan berat bagi keuangan negara.
“Apakah semuanya harus ditanggung pemerintah atau masyarakat juga berpartisipasi?” ujar Sri Mulyani, melansir dari Liputan6.com.
Pernyataan tersebut segera menuai kritik karena dianggap mencerminkan sikap negara yang seolah ingin melepas tanggung jawab terhadap pendidikan.
Diilansir dari kompas.com, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menilai pernyataan Sri Mulyani tidak selaras dengan amanat konstitusi. Ia mengingatkan Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak seluruh warga negara yang wajib dibiayai pemerintah.
“Guru dan dosen adalah ujung tombak mencerdaskan bangsa. Kesejahteraan mereka seharusnya dijamin negara,” ujarnya.
Satriwan menambahkan, ini bukan kali pertama Sri Mulyani mengeluarkan pernyataan serupa. Ia pernah menyinggung tunjangan guru pada 2018, serta mengusulkan perubahan mekanisme mandatory budget pendidikan pada 2024.
“Pernyataan yang berulang membuat publik khawatir, seolah pendidikan bukan prioritas,” ujarnya.
Lebih lanjut, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai ucapan Menkeu berpotensi melemahkan komitmen negara terhadap pendidikan.
“Negara tidak boleh cuci tangan. Pendidikan bukan beban, melainkan investasi terpenting,” tegasnya.
Ubaid juga menegaskan bahwa kualitas pendidikan sejatinya berawal dari terjaminnya kesejahteraan tenaga pendidik, karena mereka merupakan fondasi dalam melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul. Ia juga menilai bahwa pernyataan Sri Mulyani justru terkesan mengalihkan fokus dari persoalan utama, yakni buruknya tata kelola anggaran pendidikan yang kerap tidak tepat sasaran.
Ubaid menambahkan bahwa kerugian negara akibat praktik korupsi yang setiap tahun bisa mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah, jauh lebih besar dibanding kebutuhan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh guru dan dosen di Indonesia.
Di tengah kontroversi tersebut, pemerintah menyebut telah mengalokasikan Rp 724,3 triliun atau 20 persen dari APBN 2025 untuk pendidikan. Dana itu mencakup berbagai program, mulai dari Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah bagi 1,1 juta mahasiswa, Program Indonesia Pintar (PIP) untuk lebih dari 20 juta siswa, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi jutaan pelajar, Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) untuk hampir 200 perguruan tinggi negeri, hingga tunjangan profesi guru non-PNS.
Dilansir dari tempo.co, anggaran tersebut juga diarahkan pada digitalisasi pembelajaran, beasiswa LPDP, pembangunan sarana pendidikan, hingga program makan bergizi gratis.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto juga telah menjanjikan kenaikan gaji bagi guru ASN setara satu kali gaji pokok. Guru non-ASN yang telah bersertifikat akan menerima tambahan tunjangan Rp 2 juta per bulan mulai 2025. Total anggaran untuk peningkatan kesejahteraan guru diperkirakan mencapai Rp 81,6 triliun.
Namun, publik menilai pernyataan Sri Mulyani tetap kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang berusaha menaikkan kesejahteraan tenaga pendidik. Polemik ini menegaskan kembali bahwa pendidikan tidak bisa hanya dipandang sebagai beban anggaran, melainkan sebagai pondasi utama pembangunan bangsa.
Baca info menarik lainnya di www.umj.ac.id