Pedoman PPKPT: Komitmen Bersama Cegah Kekerasan di Perguruan Tinggi

Oleh :
Sri Mugi Rahayu
Foto bersama pada kegiatan Peluncuran Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Bagi Perguruan Tinggi (PPKPT) resmi diluncurkan oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah III di Audiotorium K.H. Ahmad Azhar Basyir Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada Selasa (15/07/2025). (Foto : KSU/Ferry)

Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Bagi Perguruan Tinggi (PPKPT) resmi diluncurkan oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah III di Audiotorium K.H. Ahmad Azhar Basyir Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada Selasa (15/07/2025). Hal ini merupakan bentuk komitmen bersama untuk mencegah adanya tindak kekerasan di Perguruan Tinggi.

Kegiatan yang diikuti oleh 247 Satgas dari berbagai Perguruan Tinggi di Wilayah III ini mendatangkan tiga narasumber ahli. Narasumber pertama diisi oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Asmaul Khusnaeny, M.H. yang membahas bab 7 dan bab 8 pedoman PPKPT tentang pelaporan dan perlindungan tindak kekerasan. Ia menekankan bahwa pelaporan menjadi gerbang pintu utama sebagai dasar kerja satgas penanganan kasus.

“Pedoman ini menjadi komitmen perguruan tinggi dalam menangani tindak kekerasan di lingkungan kampus. Dengan prinsip aksesibilitas yang mudah bagi pelapor atau korban,” ujarnya.

Asmaul mengatakan petugas Satuan Tugas (Satgas) harus siap mendengarkan pelapor, memiliki sikap empati dan tidak menyudutkan pelapor. Menurutnya satgas harus bisa menyakinkan pelapor bahwa identitasnya di rahasiakan.

Selanjutnya Tim Konsultansi Pedoman PPKPT Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo yang membahas tindak lanjut pemeriksaan. Ia menyampaikan bahwa proses pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara terburu-buru, melainkan harus melibatkan tim kerja.

“Pemeriksaan harus terdiri dari penanggung jawab, saksi pendukung, dan ahli jika dibutuhkan, seperti psikolog,” ujar Lidwina.

Narasumber terakhir diisi oleh Komisioner Komisi Nasional Perempuan Sundari Waris, M.H. yang membahas tentang perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan di lingkungan kampus. Ia menekankan komitmen ini selaras dengan tugas perlindungan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.  

“Kami mendorong kampus agar memiliki Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang kuat, tanggap, dan mampu bertindak dengan mengutamakan hak pelapor, termasuk dalam aspek pemulihan psikologis,” ujarnya.

Sundari menegaskan pentingnya kerja sama kelembagaan antara kampus dan lembaga layanan seperti psikolog, pendamping hukum dan lain lain. Menurutnya hal ini membantu pelapor, sehingga laporannya tidak berhenti hanya pada pelaporan, tetapi menyeluruh hingga pelapor benar-benar pulih.

Dalam beberapa kasus yang sudah ditangani, Komnas Perempuan juga telah menerbitkan surat rekomendasi kepada kampus atau lembaga hukum, dan melakukan tracing layanan yang diterima pelapor untuk memastikan proses pemulihan berjalan utuh.

Editor : Dian Fauzalia