Dr. Hotman Paris Hutapea, SH.,MH., menegaskan pentingnya peran advokat dalam sistem peradilan pidana khususnya pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Hal ini disampaikan saat menjadi narasumber dalam seminar nasional yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (FH UMJ) di Aula FEB UMJ, Selasa (10/06/25).
Seminar yang mengusung tema “Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia yang Berkeadilan: Kupas Tuntas Rancangan UU Hukum Acara Pidana” ini adalah kolaborasi antara FH UMJ, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
Hotman Paris mengatakan bahwa setiap subjek hukum, baik tersangka, terdakwa, maupun korban, berhak didampingi pengacara kapan pun selama proses peradilan pidana berlangsung.
“Bukan sekadar mendampingi, advokat juga berhak memberikan pandangan hukum terhadap masalah kliennya secara aktif di setiap tahapan proses hukum,” ujarnya.
Ia menyoroti bahwa hak pengacara sering kali kurang dihargai dalam praktik peradilan, terutama dalam akses terhadap Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan keterlibatan dalam praperadilan, yang seharusnya menjadi filter utama dalam mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
Hotman Paris juga mengatakan, bahwa hukum acara pidana adalah filter utama dalam sistem peradilan pidana. Salah satu instrumen penting adalah praperadilan, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap tindakan aparat penegak hukum. Ia mengingatkan bahwa keyakinan hakim dalam memutus perkara harus didasarkan pada proses yang transparan dan adil, di mana hak pengacara untuk berpartisipasi secara penuh sangat krusial.
Pada seminar ini juga menghadirkan narasumber lain yaitu, Guru Besar FH UI Prof. Dr. Topo Santoso., S.H., pakar Hukum Pidana FH UMJ Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., dan Ketua MAHUPIKI Dr. Firman Wijaya., S.H., M.H.
Selaras dengan hal itu, Firman juga menyoroti problematika pemenuhan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, saksi, pihak ketiga berkepentingan, dan kelompok rentan dalam RUU KUHAP. Ia menegaskan bahwa prinsip legalitas dan larangan berlaku surut harus dijamin sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I UUD 1945.
Ia juga mengingatkan bahwa RUU KUHAP diharapkan membawa pembaruan sistem peradilan pidana, namun dalam proses penyusunannya masih terdapat problematika terkait pemenuhan hak-hak pihak yang terlibat dalam peradilan, termasuk akses terhadap bantuan hukum secara efektif.
Topo Santoso dan Chairul Huda turut menyoroti perlunya perubahan sistem pemeriksaan dari sistem inquisatoir menjadi sistem aquisatoir yang lebih menekankan pada perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak untuk memberikan keterangan secara bebas di hadapan penyidik atau hakim, serta hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
Editor : Dian Fauzalia