UMJ Jaring Kolaborasi dengan Pusat Kajian Uyghur

Oleh :
Dinar Meidiana
Foto MoU UMJ Uyghur

Jumat (14/10), Dr. Ma’mun Murod, M.Si., Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan Abdul Hakim Idris, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Uyghur (Center for Uyghur Studies) di Ruang Rektor Lantai 2 Gedung Muhammadiyah Civilization Center UMJ (Gedung Rektorat Baru).

Ma’mun mengaku gembira menyambut kedatangan Pusat Kajian Uyghur di UMJ. Ma’mun menjelaskan adanya kerja sama tersebut dapat menjadi pintu bagi kegiatan riset yang berkaitan dengan dunia Islam. “MoU ini dapat mendukung riset dari pusat studi yang ada di UMJ, terlebih yang berkaitan dengan kajian Islam dan Pancasila. Bisa dikombinasikan untuk melakukan riset-riset yang terkait dengan Uyghur secara khusus dan juga secara menyeluruh tentang dunia Islam,” kata Ma’mun.

Dr. Ma’mun Murod, M.Si. (kiri) dan Abdul Hakim Idris (kanan) saat menandatangani MoU, di Ruang Rektor, Jumat (14/10).

Rektor UMJ menegaskan posisi kampus sebagai ruang akademik yang bebas, berhak berbicara terkait Uyghur. Posisi akademisi di UMJ memandang Uyghur adalah persoalan internasional dan berkenaan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karenanya, perbincangan mengenai Uyghur tidak harus dengan pandangan yang sama. “Kita tahu bahwa Pemerintah Indonesia termasuk yang menolak untuk kasus pelanggaran HAM Uyghur. Sesungguhnya persoalan Uyghur itu nyata, ada pelanggaran Hak Asasi Manusia,” tegas Ma’mun.

Lebih lanjut, Ma’mun menyebutkan bahwa Indonesia harus tetap pada posisi politik bebas aktif. Sikap yang tidak berpihak pada kekuatan politik manapun, melainkan berprinsip pada kebenaran. Merdeka adalah hak segala bangsa. Hal tersebut yang patut menjadi dasar dari pengambilan sikap dalam memandang persoalan Uyghur.

Selaras dengan hal itu, Abdul Hakim Idris, mengungkapkan rasa suka cita atas penandatanganan yang dilakukan. Abdul mengatakan melalui kerja sama, UMJ dan Pusat Kajian Uyghur dapat melakukan riset untuk mendapatkan fakta atas apa yang menimpa Uyghur. Kajian dan riset tersebut akan menjadi syiar untuk umat muslim seluruh dunia.

Melalui perjanjian kerja sama tersebut, selain aktivitas pengembangan akademik, terdapat nilai sosial dan dakwah. UMJ dan Pusat Kajian Uyghur mencoba membuka pintu untuk memberikan informasi berdasarkan riset dan fakta terkait kasus pelanggaran HAM yang menimpa Uyghur. Hal tersebut dijelaskan oleh Abdul bahwa selama ini Uyghur tidak mendapat dukungan karena masyarakat dunia seolah tutup mata tentang praktek pelanggaran HAM yang terjadi di Uyghur. “Almost five years we are not getting support from our brothers and sisters because they don’t know,” ungkap Abdul Hakim.

Melalui penandatanganan MoU ini, Abdul berharap dapat memberikan informasi secara langsung mengenai fakta yang terjadi melalui riset penelitian dan studi akademik. “Our struggle is big, but our faith is bigger than that”, ungkap Abdul dalam menjelaskan harapan, latar belakang, dan misi pendirian Pusat Studi Uyghur.

Pusat Kajian Uyghur merupakan organisasi non-profit yang berdiri sejak tahun 2020 dan berkantor di Washington DC. Organisasi ini merupakan kombinasi penelitian akademik dan Hak Asasi Manusia (HAM) berfokus pada studi dan aktivitas yang berkaitan dengan Uyghur. (DN/KSU)