Moderasi Islam merupakan isu yang saat ini banyak dibahas di dunia. Universitas Al-Azhar Asy-Syarief dalam hal ini menjadi agen yang mengkampanyekan moderasi Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, pada Senin (23/05), Universitas Muhammadiyah Jakarta menjalin kerja sama dengan Kedutaan Besar Mesir untuk Indonesia dan Universitas Al-Azhar Asy-Syarief dalam menyelenggarakan seminar internasional dengan tema Peran Al-Azhar Asy-Syarif dalam Mengukuhkan Moderasi Islam.
Pada kesempatan tersebut, Ketua Lembaga Pengkajian dan Penerapan Al Islam dan Kemuhammadiyahan UMJ, Dr. Saiful Bahri, Lc., MA., menjadi salah satu narasumber. Saiful mengkhususkan pembahasan moderasi Islam dalam bidang pendidikan. Moderasi Islam merupakan gagasan pemikiran yang prinsipnya adalah mengambil jalan tengah. Berbagai akademisi dan ulama menafsirkan moderasi Islam atau dalam Bahasa Arab disebut al wasathiyyah al islamiyyah. Dasar moderasi Islam dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 143.
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.
Menurut Saiful, ciri-ciri moderasi dalam agama Islam sangat banyak. Pada kesempatan tersebut, ia menjelaskan bagaimana moderasi di bidang pendidikan. “Moderasi di bidang pendidikan yang sangat luar biasa adalah dari sababunnuzul atau peristiwa yang melatar belakangi surat ‘Abasa,” ungkap Saiful saat mengawali pembahasan.
Surat ‘Abasa menceritakan peristiwa saat Rasul ditegur karena bermuka masam. “Ketika Rasulullah SAW sedang mengajarkan dan menyampaikan Islam pada para pimpinan Quraisy pada waktu itu kemudian tiba-tiba datang seorang sahabat yang merepresentasikan kaum difabel, tuna netra, namanya Abdullah bin Umi Maktum. Namun Rasul berubah wajahnya, lalu Allah SWT mengecam dengan keras, turunlah ayat ‘abasa watawalla. Ini menandakan sebuah moderasi bahwa pendidikan itu adalah hak semuanya. Orang yang sempurna secara fisik dan juga orang yang difabel,” kata Saiful.
Menurutnya, Universitas Muhammadiyah Jakarta merupakan salah satu kampus yang menerapkan prinsip moderasi Islam dalam pendidikan. Sampai saat ini, sudah ada empat fakultas yang terbuka bagi mahasiswa difabel. “Ini menunjukkan bahwa ayat Quraniyah diterapkan di UMJ,” ucap Saiful.
Selain pendidikan kaum difabel, moderasi pendidikan juga terkait dengan pendidikan kaum perempuan. “Di zaman jahiliyah, perempuan dianggap komoditi. Tetapi dengan struktur surat An-Nisa, perempuan diangkat derajatnya. Mengangkat derajat perempuan juga tidak berlebihan, sebab hari ini perempuan diangkat bahkan dieksploitasi secara berlebihan,” ujar Saiful.
Lebih lengkap, Saiful menjelaskan bahwa wasath bisa dianalogikan seperti wasit dalam pertandingan sepak bola, “maka wasath, seperti halnya wasit sepak bola. Hakim yang memberi keputusan. Dia (wasath) dinamis bergerak bersama masyarakat. Jadi, berada bersama masyarakat dalam setiap momen.”
Pendidikan inklusif sangat diperlukan, sesuai dengan ajaran agama Islam untuk memberikan hak pendidikan kepada siapapun tanpa terkecuali. Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta dalam hal ini concern pada pendidikan inklusif, pendidikan yang terbuka. Sebagai bentuk perhatian dan dukungan, kampus UMJ juga memfasilitasi mahasiswa difabel melalui komunitas Difabel Care Community (DCC). Mahasiswa difabel tetap bisa mengenyam pendidikan yang setara dan bisa mewadahi minat dan bakatnya melalui komunitas DCC. (KSU/DN)